Syair Ramadhan, Cinta dan Elegi
Dear Sobat...
Beberapa hari ini, saya cukup melankolik. Sebuah keadaan yang mampu menggerakkan jemari tangan saya untuk menuliskan bait-bait puisi. Saya masih tetap meyakini, bahwa sebuah syair memang sebuah transfer emosi. Jadi, suasana hati memasang sangat mujarab untuk membantu kita prigel mentransfer bait-bait itu kepada para pembaca.
Selamat membaca beberapa syair persembahan saya.
Syair 1
RAMADHAN
Seperti biasa, kumasuki ramadhan
Dengan tubuh penuh daki
Dan pakaian compang-camping
Bak seorang pengembara yang kelelahan
Kehausan dan kelaparan...
Seperti biasa, kumasuki ramadhan
Dengan tubuh penuh luka
Tanpa bekal memadai
Bahkan jiwa pun kering kerontang
Bak prajurit yang kalah dalam peperangan
Tapi Ya Rahman, kepada siapa lagi aku kembali, selain kepadaMu
Biarlah sujudku tunduk ke hadapanMu
Biarlah kuteguk sepuas mungkin
Oase sejuk penuh keimanan
Dan basuh segalanya dengan takwa
Kan kubenamkan tubuh letih ini
Dalam shiyam, qiyam, munajat
Berharap, usai Ramadhan, kucukup bekal tuk lanjutkan perjalanan
Hingga kelak Kau jemput aku
Menuju surgaMu
Syair 2
MEMAKNA CINTA
Jangan pernah merasa berdaya saat coba mengurai makna cinta
Karena cinta telah ada sebelum bumi ini dibentangkan
Karena cinta telah berdiri megah sebelum langit dipayungkan
Karena, cinta adalah salah satu dari sifat-Nya
(Sang Pencipta menyematkan sebuah nama agung pada diri-Nya:
>> Sang Maha Pencinta (Al-Waduud))
Lantas Sang Pencipta Mencipta ciptaan dengan cinta
Menghidupkan hidup dengan aura cinta
Menguji keimanan dengan pasang surut cinta
Membangkitkan jiwa dengan kelembutan cinta
Cinta adalah perkara renik yang sarat pernik
Ukirannya maharumit, tersamak lembut, terlukis serut
Sedaya apa manusia coba berbual
Cinta tetap gagah bak monumen sakral
Bahkan tatkala seratus milyar neuron
Dan setrilyun sinaps berpikir keras untuk mengurainya
Bahkan tatkala setiap sel berpayah memecah bertrilyun adenosin tripospat
Tuk cipta buncahan energi dahsyat tiada tara
Cinta tetap tak terdefinisikan
Cinta adalah bentangan misteri yang menakjubkan
Biar saja dia bertakhta megah sebagai istana raksasa
Dan kita cukup menatapnya bersama gerincing tasbih
Biar saja dia mengalun sebagai gelombang raksasa
Dan kita cukup merasakan aromanya bersama berpaket tahmid
Biar saja dia mempertontonkan pesonanya
Dan biarkan tubuh ini mengalir bersama beruntai takbir....
Dan, pada masanya nanti, semua cinta akan bermuara pada sebuah desah
Laa ilaaha illallaah....
Syair 3
ELEGI TIRANI
Berdiri tegak aku di sudut kotamu
Tatap riuh yang gemuruh
Lalu lalang raga nan bergelimang usang
Kucari-cari jejak pandangmu
Pada trotoar penuh berjejal gubuk ringkih
Pada jalanan dengan aspal terkelupas
Pada taman kota yang mesum dan bau pesing
Pada gedung-gedung kusam
Juga angkot-angkot reot
Serta trem kumuh penuh tubuh berpeluh
Kutelisik, kucari hingga pernik
NIHIL
Tak ada kudapat di sana...
Tak ada jejak,
Bahkan bekas tatap pun tak terlacak
Jadi, ada di mana kau selama ini?
Berdiri aku di sudut kotamu
Tak lagi tegak, namun kian limbung
Saat itulah angin bertiup, beraroma lancung
Oh, angin itu membawa langkahku
Dan aku pun berjalan, tuju sarang angin
Oh di sana... kau ada di sana, di istana angin itu
Gugusan pulau yang memukau
Terpisah seakan berada di antah berantah
Menjulang tegak bak piramid di hamparan gurun
Tak hanya jejak, sosokmu memang di sana
Tampak jelas, sejelas noktah hitam di hamparan putih
Jadi, itukah yang telah sibukanmu?
Bangunan kemewahan itu yang lupakanmu
Pada segerobak besar tugas-wajibmu
Kau terus sibuk, meski yang kau tata
Adalah batu bata dari kotoran kuda
Berdiri aku di sudut kotamu
Ah, tak lagi tegak
Tapi ambruk
6 komentar untuk "Syair Ramadhan, Cinta dan Elegi"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!