Insiyah (Sebuah Kisah Sejati)
Ia selalu
menjadi jamaah terakhir yang meninggalkan masjid samping rumahku. Tunduk,
dalam, kadang terisak. Entah apa yang terbisikkan dari bibir yang keriput itu.
Yang jelas, tentulah sebuah kalimat-kalimat mesra, yang ia senandungkan kepada
Dzat yang menyelusupkan napas kehidupan dengan begitu lembut ke dalam tubuh
ringkihnya.
Insiyah,
nama perempuan itu. Orang-orang di kampungku memanggilnya ‘Mbah Insiyah’. Terus
terang, karena aku dan keluarga termasuk orang baru di kampung ini, aku tak cukup
dekat mengenalnya. Aku bahkan tak tahu di mana rumahnya. Yang kutahu, di
saat-saat jam shalat, ia selalu datang ke masjid paling awal, dan pulang paling
akhir.
Kulitnya
yang berkeriut, anak-anak rambutnya yang memutih—yang terlihat di sela-sela
kerudungnya, sepasang matanya yang cekung, telah memperlihatkan ketuaan.
Sedangkan pakaiannya yang sangat sederhana, mukenanya yang lusuh, serta
sajadahnya yang robek di sana-sini, memperlihatkan sebuah kemiskinan—yang
tampaknya tak terlalu ia rasakan. Yah, mungkin karena mereguk madu kenikmatan
saat berkhalwat dengan Rabb-nya, sesuatu yang menjadi kebiasaan di jam-jam
shalat, telah membuat ia lupa pada kenikmatan duniawi.
Rasa
cemburu sering terbersit, dan menjadikan sebuah niat buruk berkelintar di
hatiku. Ayo, saingi Mbah Insiyah!
Masak aktivis seperti aku, kalah lama berdzikir pasca shalat.
Pernah
kelintar tak elok itu terejawantah dalam aksi nyata. Aku benar-benar terbakar
iri, dan lantas mencoba menyainginya. Usai salam, aku baca semua wirid yang
kuhapal, berdoa begitu lama, sampai aku
merasa tak ada lagi yang bisa kubaca. Suasana masjid sepi, dan aku rasa,
persaingan itu telah kumenangkan. Aku pun menoleh ke sudut masjid, tempat Mbah
Insiyah biasanya duduk berzikir. Kupikir dia telah pulang. Akan tetapi, sebuah
tamparan keras di petala imajiku terasa menghantam pipiku. Telak.
Mbah
Insiyah masih tenggelam dalam wirid. Berenang dalam lautan kenikmatan
bermunajat di hadapan-Nya.
Aku
takluk. Dan tak akan lagi mencoba bersaing dengannya.
Tak
akan bisa. Kecuali jika aku berhasil meluruskan kembali niat yang bengkok itu.
* * *
Ramadhan
tahun lalu, Mbah Insiyah tetap rajin—dan bahkan semakin rajin datang ke masjid.
Usai tarawih, ia tak pulang, namun duduk di sudut masjid. Ia menatapku dan para
ibu lainnya yang melingkari beberapa buah meja TPA yang ditata sedemikian rupa.
Kami sedang melakukan acara tadarus, yang secara rutin tergelar di setiap malam
ramadhan. Tatapan perempuan tua itu terlihat memancarkan sebuah penyesalan.
Pandangan yang berkabut.
“Tidak
ikut tadarus, Mbah?” tanyaku, dalam bahasa Jawa halus.
Mbah
Insiyah menggeleng. “Saya tidak bisa membaca Al-Qur’an, Bu …” ujarnya, dengan
sesal yang seakan bertalu-talu memukuli jiwanya.
Sebuah
desiran halus segera kuusir cepat-cepat dari benakku. Jangan merasa menang dari
Mbah Insiyah hanya karena beliau tak bisa membaca Al-Qur’an! Justru semestinya
rasa malu semakin kuat merajam hatiku. Aku yang konon seorang da’iyah, masih
kalah khusyuk dibandingkan seorang perempuan ringkih yang bahkan tak bisa
membaca Al-Qur’an.
Tak
mampu mengeja huruf-huruf Arab, tak lantas membuat Mbah Insiyah lekang dari
area penuh lantunan firman Allah itu. Ia terlihat sangat berbahagia di dalam
majelis tadarus Al-Qur’an, meskipun hanya dengan menyimak bacaan-bacaan kami.
Sesekali, ia menyungging senyum. Sesekali merenung, dan menghela napas panjang.
Demikianlah,
langit malam ramadhan menjadi saksi kehadiran perempuan tua, yang selalu datang
paling awal, shalat dengan sangat khusyuk, berwirid, dan pulang di saat masjid
sudah lengang, tanpa sesosok insan pun tertinggal.
Namun,
di malam-malam pertengah Ramadhan, sosok Mbah Insiyah mendadak gaib dari
masjid. Kucoba telusuri sosok-sosok putih berbalut mukena, mencoba menemukan
wajah keriput yang selalu bersih dan bersinar lembut itu.
Tak
ada.
Usai
shalat, begitu salam, aku kembali mencarinya di antara barisan jamaah, mungkin
beliau terlambat, dan ternyata sosoknya benar-benar tak kutemui.
Ada
rasa kehilangan, yang semakin dalam, begitu di malam-malam selanjutnya pun, sosok
itu kembali tak kutemui di masjid. Ada apa dengan Mbah Insiyah? Tak mungkin
dengan sedemikian mudah ia meninggalkan sebuah kenikmatan ukhrawi yang sekian
tahun ia reguk. Seorang abidah sejati, tak mungkin akan mampu meninggalkan
mihrab yang telah begitu lekat dengan sanubarinya.
Mengapa,
mengapa, mengapa? Pertanyaan itu terjawab ketika di suatu hari, terdengar
ketukan di pintu rumahku. Seorang perempuan muda, berjilbab lusuh berdiri di
depan pintu dengan wajah panik.
“Pak
dokter ada?” tanyanya.
“Ya,
ada, Mbak. Ada yang bisa dibantu?”
“Ibu
saya sakit. Tubuhnya lemas sekali. Pak dokter bisa memeriksa Ibu di rumah
saya?”
“Sebentar
ya, Mbak!” aku masuk ke dalam, menggamit lengan suamiku. “Mas, ada pasien.
Tetapi kondisi pasien lemah, jadi tidak bisa datang kesini. Mas bisa kan,
datang ke rumah beliau?”
“Ya,
Mi!” Jawab suamiku, yang memang lebih terbiasa memanggilku dengan sebutan Ummi.
Maksudnya, Umminya anak-anak.
Suamiku
beranjak keluar. Sejenak kudengar ia bercakap-cakap sejenak dengan perempuan
itu. Suara itu semakin lama semakin menghilang, yang berarti beliau sudah
semakin jauh meninggalkan rumah, menuju ke rumah pasien.
Beberapa
saat kemudian, suami telah kembali. Ia memanggilku. “Dik, mau menjenguk Mbah
Insiyah, tidak?”
Ada
yang berdesir di dadaku mendengar nama itu disebut.
“Beliau
sakit?” tanyaku.
“Iya,
betul. Yang sakit itu tadi Mbah Insiyah. Dan yang datang kemari itu anak
beliau.”
Mbah
Insiyah sakit? Pantas, aku tak melihat sosoknya hadir di masjid.
“Sakit
apa?”
“Gula.
Dan ia juga punya luka. Penderita sakit gula, jika terkena luka, biasanya sulit
sembuhnya.”
Ada
sesuatu yang terasa dengan cepat menjalar di pembuluh darahku, dan naik hingga
ubun-ubun. “Ayo, kita jenguk, Mas!” ajakku, semangat.
* * *
Seperti
tak percaya ketika sepasang mataku berbenturan pada rumah tempat Mbah Insiyah
bernaung. Sebuah gubuk dengan ukuran sekitar tiga kali lima meter. Berdinding
anyaman bambu yang jarang-jarang, sehingga menyisakan sekian banyak rongga.
Lantai hanya tanah yang dikeraskan. Sementara, dinding dan atap tak menyatu,
sehingga jika hujan lebat bercampur angin mengguyur bumi—yang saat itu sangat
sering terjadi—bisa dipastikan tempias deras memasuki ruangan. Belum udara
malam nan menggigilkan sekujur tubuh. Ya, Allah … dalam kondisi rumah seperti
itu, Mbah Insiyah yang renta terbaring sakit?
Ruangan
terbagi menjadi tiga. Di ruang paling depan, berukuran sekitar satu kali dua
meter, Mbah Insiyah tergeletak di atas dipan reot yang hanya dilapisi tikar
rombeng. Tak ada selimut, kecuali selembar kain tipis nan kumal. Bau pesing
khas ompol balita terasa begitu kuat. Mungkin anak perempuan Mbah Insiyah belum
sempat mencuci kain itu, atau mungkin hanya itu satu-satunya kain yang mereka
miliki, yang bisa mengirimkan sedikit kehangatan di tubuh renta itu.
Mataku
berkaca-kaca. Terlebih, Mbah Insiyah tak sendiri tinggal disana. Ia numpang di rumah anak perempuannya, yang
hidup dengan suami serta empat orang anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
Rumah sesempit itu, ditempati oleh tujuh
orang!
Betapa sumpeknya. Terbayang rumahku, yang meskipun tidak mewah, cukup lapang
dan melegakan. Bukankah salah satu kenikmatan seorang hamba Allah adalah,
ketika ia dianugerahi sebuah tempat tinggal nan lapang?
Aku
begitu terbata-bata, memaki diri sendiri yang selama ini seperti acuh dengan
keadaan itu. Bagaimana mungkin selama ini aku bisa tidur enak, makan
berkecukupan—meski tentu tak bermewah-mewahan, sementara tak sampai berjarak limaratus
meter dari rumahku, Mbah Insiyah dan keluarganya hidup jauh di bawah garis
kemiskinan?
Tergesa
aku pulang, mencari beberapa lembar selimut tebal, bantal, serta sembako. Aku antar
barang-barang sekedarnya itu dengan rasa bersalah yang tak juga mampu pupus.
Apalah arti sedikit bantuan ini untuk penderitaan keluarga beliau yang begitu akut?
Karena
sakitnya sudah terlalu parah, akhirnya, Mbah Insiyah dirawat di rumah sakit.
Alhamdulillah, tetangga di sekitar kami memiliki perhatian yang cukup bagus.
Ramai-ramai mereka menguruskan jamkesmas, sehingga biaya perawatan Mbah Insiyah
bisa seratus persen digratiskan. Walhasil, nyaris sepanjang Ramadhan tahun itu,
aku kehilangan sosok beliau, yang selalu menyejukkan masjid dengan wirid-wirid
panjangnya. Dengan tatapan sejuknya saat ia mencoba menyimak bacaan tadarus
kami.
* * *
Menjelang
lebaran, Mbah Insiyah keluar dari rumah sakit. Aku mengucapkan puji syukur.
Semoga beliau benar-benar sembuh—meski
ini agak sulit, mengingat penyakit beliau ada gula—kembali sehat dan shalat
di masjid. Aku sungguh merindukkan sosoknya saat khusyuk bertaqarub ilallah. Beliau menginspirasikan sebuah ketaatan seorang abidah
yang mulia. Memotivasiku untuk segera menanggalkan segala sesuatu yang bersifat
duniawi, dan fokus bergelut pada nilai-nilai transedental. Yakinlah, untuk perempuan semuda aku, ini sesuatu yang sulit.
Ia
memang hanya seorang perempuan tua miskin, yang bahkan tak bisa membaca
Al-Qur’an. Tetapi bukankah keikhlasan itu bak minyak wangi? Meskipun
ditutup-tutupi, ia akan menguar, melewati segala celah sempit, dan menjadikan
sekitarnya dipenuhi keharuman sejati.
Sayang,
harapan kami ternyata tinggal harapan. Kami semua mencoba menyayangi Mbah
Insiyah, namun Allah yang memiliki segala bentuk kasih sayang, lebih menyayangi
beliau.
Sore
itu, anak perempuan Mbah Insiyah kembali datang ke rumah. Terbata-bata, ia
melaporkan kepada suami saya, bahwa ibunya sudah dua hari ini tak mau menyantap
makanan apapun. Sang ibu terbaring dengan tubuh lemas, mata terpejam, dan
bahkan tak mampu mengangkat sepasang tangannya.
Aku
dan suami mengikuti langkah tergesa-gesa anak perempuan Mbah Insiyah. Ya, di
atas dipan reot itu, kulihat sosok itu tergeletak dengan wajah pucat lesi.
Tubuhnya terasa dingin. Namun, paras itu, Ya Allah… begitu bersih.
“Kadar
gulanya sangat tinggi,” ujar suamiku. “Beliau harus dirawat di rumah sakit!”
Mendengar
ucapan suamiku, mendadak Mbah Insiyah membuka mata, lalu menggeleng pelan. Ia
tak mau dibawa ke rumah sakit.
“Kalau
begitu, saya beri obat saja, ya? Tapi obatnya diminum, ya Mbah?” ujar suami.
Mbah
Insiyah tidak menjawab. Hanya saja, sebuah senyum indah tersungging di bibirnya
yang keriput dan lesi.
Aku
tak menyangka, itu adalah saat terakhir aku bertemu dengannya. Paginya, sebuah
kabar duka kuterima. Mbah Insiyah, telah meninggal dunia.
Ada
yang terasa dingin di dadaku. Sangat dingin …
* * *
Cerita
tentang tentang Mbah Insiyah ternyata belum khatam. Terus berlanjut, sampai
beberapa bulan sesudah kematiannya yang hanya beberapa hari usai lebaran. Saat
suara embikan kambing dan lenguhan sapi yang hendak dijadikan hewan kurban
memenuhi halaman masjid, kembali sebuah kisah unik berkelintar di memoriku.
“Pak
Ahmad, ini ada dana yang dititipkan oleh almarhum Mbah Insiyah, senilai satu
ekor kambing,” ujar Pak Jamin, pengurus takmir masjid. Ahmad adalah nama
suamiku, yang juga pengurus takmir masjid.
“Maksud
Pak Jamin?”
“Sebelum
meninggal, Mbah Insiyah menitipkan uang ini kepada saya. Katanya, beliau ingin
ikut qurban satu ekor kambing. Beliau menitipkan uang ini kepada saya, karena
takut beliau keburu dipanggil Allah ….”
Sepasang
mataku sungguh terasa panas. Ada cairan merembes, ingin menjebol bendungan air
mata. Inikah tanda-tanda khusnul khatimah?
Dipermudah untuk beramal shalih, meskipun dalam balutan kemiskinan yang begitu
parah …
Semoga
Allah merahmatimu, Mbah Insiyah …. Dan semoga aku bisa mengikuti jejak
langkahmu yang begitu fasih menebar kebaikan di dunia ini.
6 komentar untuk "Insiyah (Sebuah Kisah Sejati)"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!