Widget HTML #1

Kepemimpinan Satria Piningit, Konsep Leadership Berbasis Kearifan Jawa


Satria Piningit itu apa sih? Ketika saya memutuskan untuk menulis Tesis Psikologi dengan tema ini, banyak teman-teman saya yang bertanya-tanya. Bukan hanya bertanya-tanya dalam artian bingung atau tak mengerti, tetapi juga bertanya-tanya yang benar-benar "mempertanyakan", bahkan juga menertawakan. Konsep basi! Begitu gurauan mereka. Beberapa yang lain mengkritik dengan tajam, bukankah itu konsep yang sangat mistis dan kurang related dengan kehidupan masyarakat modern saat ini? Malah ada juga berkomentar, kukira kamu religius dan cukup "fundamentalis"  ... kok mau-maunya meneliti sesuatu yang berhubungan dengan ramal-meramal?

Tidak, mereka tidak sedang menjatuhkan mental saya. Saya tahu persis betapa sayangnya teman-teman itu kepada saya. Mereka hanya sedang mencoba menguji, sejauh mana ide yang saya ungkapkan itu bisa saya pertanggungjawabkan secara ilmiah. Justru pertanyaan tersebut membuat saya semakin bersemangat untuk meneliti lebih lanjut, sebenarnya, seperti apakah konsep Satria Piningit itu? Benarkah konsep tersebut sudah basi, tidak sesuai dengan kondisi saat ini, dan bahkan merupakan sebuah ramalan yang beraura mistis?

Bagi teman-teman yang bukan dari Jawa, barangkali tidak terlalu memahami kegelisahan saya. Tetapi, jika Sobat berasal dari Jawa dan masih memegang teguh akar budaya Jawa, wacana Satria Piningit ini bukan sesuatu yang asing. Dalam berbagai kontestasi kepemimpinan termasuk kepemimpinan nasional, wacana ini selalu mengemuka. Dalam tradisi Jawa, Satria Piningit sangat populer, dan bagi sebagian orang yang memegang teguh "kejawaannya", konsep Satria Piningit benar-benar menjadi salah satu prinsip yang dipakai untuk mencari calon pemimpin. Dan Sobat tahu, betapa isu Jawa non Jawa sangat memegang peranan penting dalam suksesi kepemimpinan nasional kita.

Tunggu, tunggu! Saya tidak Jawa Sentris, meski saya 100% orang Jawa. Saya sendiri tidak mewajibkan diri sendiri untuk memilih orang Jawa sebagai pemimpin saya. Jika ada orang Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, atau bahkan Papua yang saya anggap kapabel untuk menjadi pemimpin, it's okay, tentu saya tidak akan ragu memilihnya. Beberapa figur pemimpin yang saya favoritkan, sebagian juga bukan orang Jawa, misal Buya Hamka, B.J. Habibi, atau Bung Hatta. 

Namun, pada kenyataannya, "Jawa adalah kunci!" I hate to say it, but it's reality!

Jumlah penduduk Jawa yang sangat besar merupakan lumbung suara bagi para Capres-Cawapres yang hendak bertarung dalam Pemilihan RI 1 dan RI 2 di negeri kita. Itu tidak bisa dihindarkan lagi. Inilah sebabnya para Capres-Cawapres kita berjuang "mati-matian" untuk bisa memenangkan simpati orang Jawa. Untuk meraih simpati orang Jawa inilah, konsep Satria Piningit sering dipakai oleh para kandidat. Ada para calon pemimpin yang mencoba mem-branding diri sebagai Satria Piningit yang mendapat "wahyu keprabon" dari langit. Apakah benar mereka adalah Satria Piningit? Sebenarnya, Satria Piningit itu siapa, seperti apa? 

Zaman dahulu, Pangeran Diponegoro sangat dipercaya merupakan Satria Piningit yang diturunkan sebagai Ratu Adil bagi rakyat Jawa. Kemudian, HOS Tjokroaminoto juga, termasuk Bung Karno. Namun, tokoh Westerling yang superkejam juga mem-branding diri sebagai Ratu Adil, bahkan membentuk Angkatan Perang Ratu Adil. Nah, lho....

Satria Piningit, Darimana Asal-Usulnya?

Orang Jawa memiliki konsep kepemimpinan berbasis kearifan lokal Jawa yang disebut sebagai Kepemimpinan Satria Piningit. Satria Piningit menurut cerita-cerita yang beredar di masyarakat Jawa, merupakan sosok pemimpin yang lahir pada era keterpurukan, era krisis multidimensi, yang disebut sebagai Kalabendu, lalu mendapatkan wahyu atau legitimasi, sehingga mampu memimpin perubahan dan kemudian bertakhta sebagai Ratu Adil, atau raja/penguasa yang adil. Ratu Adil akan mengubah Kalabendu menjadi masa keemasan, atau yang disebut sebagai Kalasuba.

Banyak yang berpendapat bahwa konten Ratu Adil merupakan bagian dari ramalan Jayabaya, Raja Kediri yang berkuasa 1135-1159 M. Raja Jayabaya dianggap sebagai raja yang cakap, adil, dan bijaksana, yang mampu memimpin Kediri menuju zaman keemasan. Orang Jawa memandang Jayabaya sebagai sosok yang tak hanya arif bijaksana, namun juga 'weruh sakdurunge winarah' alias tahu sesuatu yang belum terjadi. Jayabaya banyak meramalkan kondisi Jawa masa yang akan datang, bukan hanya setahun dua tahun, bahkan berabad-abad atau malah seribu tahun kemudian. Salah satu ramalan beliau, bahwa di Pulau Jawa akan kedatangan sosok pemimpin yang merupakan Ratu Adil, yang awalnya merupakan Satria Piningit.

Uniknya, literatur tentang Ratu Adil dan Satria Piningit, ternyata malah tidak ditemukan pada teks-teks era Kediri. Eh, memangnya zaman Kediri sudah ada karya tulis? Ada, dong. Bahkan zaman tersebut ada sosok intelektual yang sangat ternama, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kedua pujangga ini menulis beberapa kitab, di antaranya Bharatayudha. Menurut sebagian kalangan, jika memang ramalan itu berasal dari Jayabaya, mestinya konten itu ada di tulisan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Walaupun tidak harus demikian juga, sih.

Alih-alih ditemukan di era tersebut, hampir seluruh teks tentang Ratu Adil dan Satria Piningit, ternyata ditemukan di Era Mataram. Padahal Kesultanan Mataram berdiri pada abad 16, tepatnya tahun 1586, atau sekitar 400an tahun setelah era Kediri. Jadi, gimana dong?

Mau dari era Kediri atau era Mataram, nyatanya ramalan Jayabaya tentang Ratu Adil itu sangat populer, dan semakin populer setelah seorang Pujangga Surakarta bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita kembali mengangkat konsep Satria Piningit - Ratu Adil dalam tulisan-tulisannya. Kalau ingin membaca secara detail asal-usul Satria Piningit Ratu Adil, silakan baca jurnal yang saya tulis bersama dosen pembimbing saya, yang sekaligus Kaprodi Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan juga sahabat saya tercinta, Ibu Dr. Eny Purwandari, M.Si, yang terbit di Jurnal El-Harakah (Sinta 2) ini: Satria Piningit: The Concept of Leadership Based on Javanese Local Wisdom

Makna Satria

Kata Satria ini merujuk pada kelas sosial yang terdiri dari para raja, panglima perang, prajurit, pamong praja, dan punggawa kerajaan. Menurut cerita teman yang pernah kuliah di STPDN (IPDN), asrama para mahasiswa atau di IPDN sering disebut sebagai Praja, disebut sebagai Ksatrian. Lulusan IPDN saat ini merupakan para Purna Praja yang menjabat sebagai pamongpraja atau pegawai-pegawai pemerintah seperti Camat, bahkan juga Bupati. Konsep yang dipakai IPDN cocok dengan konsep Satria di masa lalu.

Di era Hindu, Satria atau Ksatria, merupakan kasta kedua setelah Brahmana. Di era Demak (Islam), sistem kasta dihapus. Inilah yang membuat banyak orang Jawa saat itu berduyun-duyun masuk Islam. Dalam waktu hanya sekitar 50 tahun, Jawa berubah wajah, dari Hindu-Budha menjadi Muslim, dengan cara damai. Namun, istilah Satria/Ksatria tentu tidak hilang. Satria tetap dijadikan sebuah istilah yang merujuk pada profil-profil tertentu. 

Konsep satria lebih detail dikisahkan oleh Walisongo yang mengadaptasi Kisah Mahabharata dan Ramayana dalam cerita wayang. Penyebaran Islam saat itu, salah satu sarananya memang menggunakan wayang. Di cerita-cerita wayang, kita juga mengenal sosok para Satria, yang disimbolkan dengan Pandawa Lima. Lawan dari Satria adalah Raksesa. Dalam konsep wayang, menurut salah seorang narsum saya dalam penelitian tentang Kepemimpinan Satria Piningit (KSP), Pak Imam Sutardjo, dosen Sastra Daerah UNS sekaligus seorang dalang dan praktisi Budaya Jawa, satria merupakan tokoh pembela kebenaran dan keadilan, sementara Raksesa adalah sosok angkara murka yang berbuat sewenang-wenang. Melalui wayang, Walisanga mendidik masyarakat untuk meniru karakter para Satria yang penuh keluhuran budi, sekaligus pemberani dan bersedia terdepan dalam memerangi perilaku-perilaku yang jahat dari para raksesa.

Definisi dan Aspek-Aspek Kepemimpinan Satria Piningit

Satria Piningit secara bahasa berarti adalah satria yang dipingit, atau "disembunyikan". Definisi dan aspek Satria Piningit saya peroleh setelah melakukan penelitian kualiatatif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap sejumlah 5 praktisi dan budayawan yang menekuni Budaya Jawa. Saya juga melakukan studi pustaka dengan menelaah beberapa literatur klasik Jawa, yaitu Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, Serat Tripama dan Serat Kalathida. 

Melalui serangkaian proses dalam metode kualitatif, saya mendapatkan definisi Satria Piningit sebagai berikut: individu dengan karakter kepemimpinan yang kuat, awalnya tidak dikenal karena tidak mau menonjolkan diri, namun selalu menempa diri sehingga berhasil memiliki kapasitas dan kapabilitas yang unggul, baik dari segi spiritualitas dan religiusitas, fisik, pemikiran, kepribadian, dan pola kepemimpinan, sehingga mampu memimpin perubahan dan melakukan transformasi secara sistemik dari kondisi tidak ideal (kalabendu), menjadi lebih baik (kalasuba).

Satria Piningit tak selalu menjadi Ratu Adil, atau pucuk pimpinan sebuah negara, tetapi juga bisa ditemui dalam level yang lebih rendah, misal menteri, gubernur, bupati, camat, bahkan juga pemimpin-pemimpin lembaga bisnis. Jadi, Satria Piningit ini sebenarnya merupakan sebuah konsep kepemimpinan yang digali dari kearifan lokal Jawa. Satria Piningit identik dengan sosok pemimpin, dan KSP merupakan pola kepemimpinan yang lebih mengarah pada pola kepemimpinan transformasional; menekankan pada kharisma, keteladanan, moralitas, dan kuatnya visi dan misi. 

Selain pola kepemimpinan transformatif, kita mengenal juga pola kepemimpinan transaksional atau manajerial, yang lebih mengedepankan punnishment dan reward, seperangkat aturan-aturan atau SOP, dan tak terlalu menekankan moralitas serta kharisma pemimpin. 

KSP dilihat dari ciri-cirinya, lebih dekat pada pola kepemimpinan transformasional, meski sebenarnya tetap mengadopsi keteraturan ala pemimpin manajerial.

Bagaimana aspek-aspek KSP? Berdasarkan studi kualitatif yang saya lakukan, terdapat 7 aspek, yaitu keahlian, kesamaptaan, keperwiraan, pembawa perubahan, kecendikiawanan, kepribadian luhur, dan religiusitas. Saat ini, jurnal saya tentang definisi dan aspek-aspek KSP masih dalam proses review di sebuah jurnal internasional, demikian juga jurnal tentang EFA dan CFA dari alat ukur Kepemimpinan Satria Piningit, doakan tembus ya? 

Setidaknya, sekarang kita sudah memiliki gambaran kan? Misal, si A ingin mencalonkan diri jadi pemimpin, lalu dia mengklaim sebagai Satria Piningit yang akan membawa pada kejayaan. Dalam perspektif Jawa, apakah benar si A memiliki 7 aspek tersebut?

Selanjutnya, dalam tesis saya, aspek-aspek tersebut saya kembangkan menjadi alat ukur dengan 62 aitem. Aitem-aitem itu, dengan bimbingan Dr Eny Purwandari, sudah kami ujicobakan ke 485 responden, serta dilakukan validasi dengan EFA dan CFA. Bagaimana hasilnya? Sabaaaar ... tunggu publikasi resminya, yaaa? Hehe. 

Alhamdulillah tesis tersebut telah lulus ujian pada 17 Mei 2023 kemarin, dan mengantarkan saya meraih gelar Magister Psikologi. InsyaAllah format buku sedang saya tulis bersama pembimbing saya, Dr. Eny Purwandari, M.Si. Doakan lancar ya, proses penulisan dan penerbitan buku tersebut.

Posting Komentar untuk "Kepemimpinan Satria Piningit, Konsep Leadership Berbasis Kearifan Jawa"