Quo Vadis, Para Remaja?
(Sumber foto: www.tempo.co.id)
Sejarah sungguh telah mencatat dengan benderang, betapa dahsyat kiprah generasi muda dalam membangun sebuah peradaban. Dalam sejarah Kenabian misalnya, para nabi yang mulia, kebanyakan mulai mendapatkan status kenabian yang agung pada usia yang muda. Nabi Isa misalnya, diangkat menjadi nabi pada usia 30 tahun, sedangkan Nabi Muhammad SAW pada usia 25 tahun. Sementara, di sejarah perjuangan bangsa kita, kiprah generasi muda pun menduduki peran utama. Bung Karno, pemimpin pergerakan nasional Indonesia juga memulai aktif memperjuangkan nasib bangsa ketika masih berusia belasan tahun dan bersekolah di Hoogere Burger School (HBS), semacam SMP dan SMA yang digabung jadi satu dengan masa pendidikan 5 tahun. Demikian juga, Bung Hatta mendirikan Perhimpunan Indonesia yang memiliki andil besar dalam pergerakan nasional ketika masih menjadi mahasiswa di Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda.
Sayangnya, di zaman yang serbacanggih seperti sekarang ini, torehan-torehan yang tercatat dari kiprah para remaja justru banyak negatifnya. Meskipun ada segelintir nama yang mampu membuat berbagai kalangan menarik napas lega, tetapi segelintir remaja berprestasi itu dengan serta merta tertutup kebaikannya oleh berbagai kasus yang memalukan: free sex, tawuran, pelacuran di kalangan remaja, fenomena nge-gank, hingga narkoba.
Masih belum terlupakan, betapa gemparnya bangsa ini tatkala Komnas Perlindungan Anak merilis hasil surveynya yang mencengangkan sekitar beberapa bulan yang lalu, bahwa 62,7% siswa SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Sementara, menurut Yayasan Intan Maharani, sebuah LSM yang aktif melakukan pendampingan pecandu narkoba, tahun 2009, sekitar 3,6 juta pelajar Indonesia adalah pecandu narkoba. Data tersebut tentu akan menjadi deretan angka-angka yang mengerikan jika kita terus mencantumkan berbagai bentuk kenakalan remaja dari tahun ke tahun.
Sementara, di Surakarta sendiri, keadaan pun tak jauh berbeda. Menurut penelitian dari Departemen Pendidikan (Depdik) LPR Kriya Mandiri tahun 2009, Sebanyak 65% dari 352 pelajar di Kota Solo mengaku pernah melakukan kissing saat pacaran. Sementara sisanya, sebanyak 31% mengaku sudah melakukan petting dan 4% sudah berhubungan badan. Sedangkan berdasarkan penelitian dari Taufik, M.Si, dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, terungkap 22,7 persen siswa dan 3,9 persen siswi SMU di Surakarta telah melakukan hubungan seks sebelum menikah. Tak hanya itu, ternyata terungkap pula bahwa 100 persen subyek laki-laki dan 76 persen subyek perempuan dari total 1.250 orang terdiri dari 611 laki- laki dan 639 perempuan, pernah menggunakan media pornografi (Solopos, 12 Mei 2009).
Dari aduan masyarakat seperti yang tercantum di koran-koran lokal Surakarta, juga sering dikeluhkan kelakuan para remaja di kota Solo yang sering memanfaatkan taman-taman kota untuk melakukan tindakan-tindakan yang kurang terpuji. Selain itu, disinyalir, Solo merupakan kota yang menempati urutan pertama peredaran narkoba di Jawa Tengah (Tribun Jogja - Kamis, 17 Februari 2011).
Angka-angka tersebut tampaknya mengerikan. Padahal, jika diselusur, bisa jadi yang terjadi di lapangan jauh lebih dahsyat lagi. Sebuah pertanyaan terlontar di tengah gelombang kegelisahan, "Quo vadis, Para Remaja?" (Catatan kecil Afifah Afra)
3 komentar untuk "Quo Vadis, Para Remaja?"
Terimakasih atas koreksinya ya?!
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!