Widget HTML #1

Indahnya Bertawakal



Pada Allah hendaknya berserah diri tiap orang yang beriman.”
(QS. Ali Imran: 122 dan QS. Al-Maidah: 11).

Kesulitan Hidup Adalah Sunatullah
Kesulitan hidup, bagi manusia adalah sebuah ketentuan Allah. Ia akan ada seiring dengan kehidupan manusia itu sendiri. Tak akan ada satu orang pun yang bisa luput dari kesulitan. 
Allah berfirman, “Laqad khalaqnal insaana fii kabad,” artinya, “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah (kesulitan).” (QS Al-Balad: 4).

Kesulitan itu, bagi orang-orang beriman adalah sebuah ujian, di mana dengan ujian tersebut, maka akan terlihat bahwa orang tersebut benar-benar beriman ataukah tidak.
Allah berfirman, “Ahasibannaasu an-yutrakuu an-yaquuluu aamannaa wahum laa yuftanuun.” Artinya, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabuut: 2).

Dengan demikian, sudah sangat jelas, bahwa ujian berupa kesulitan hidup, adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari pada setiap manusia. Kesulitan tersebut, akan membuat seseorang meningkat kualitasnya. Jika setiap seseorang berhasil menyelesaikan sebuah kesulitan yang kecil, maka Allah akan memberikan kesulitan dengan tingkat yang lebih. Persis seperti seseorang yang bersekolah mulai dari jenjang TK, SD hingga sarjana—bahkan pasca sarjana, yang tingkat ujiannya tentu tidak akan sama.

Makna Tawakal
Sikap seorang mukmin ketika menghadapi ujian adalah bertawakal. Secara bahasa, tawakal berasal dari kata wakalah yang artinya mewakilkan, atau menyerahkan diri. Sedangkan secara istilah, tawakal berarti: berserah dirinya seorang hamba kepada Allah dalam setiap urusan. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, bahwa kalimat yang diucapkan oleh Ibrahim AS ketika dilempar ke dalam api oleh Namrudz, serta yang diucapkan Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi agar takut kepada orang kafir adalah: “Hazbunallaahu wa ni’mal wakiil”, Allahlah yang mencukupi kami dan sebaik-baik tempat kami berserah diri (tawakkal).

Perlu ditegaskan, bahwa tawakal haruslah dilakukan setelah ikhtiar, sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah, “Ikatlah tali ontamu dan bertawakallah.” Karena, Allah tidak akan serta merta menurunkan pertolongan begitu saja dari langit. Bahkan ketika membentuk sebuah karakter pun, membutuhkan proses. Misalnya, ketika kita memohon kepada Allah agar Dia memberikan kita sifat sabar. Maka, ‘Jawaban Allah’ atas doa kita tersebut barangkali adalah anak kita yang selalu saja rewel minta perhatian, objek dakwah yang selalu saja minta dimanja ... dan seterusnya. Allah telah memberi sarana kepada kita untuk bersabar. Jika dengan berbagai keadaan krusial tadi kita ternyata mampu bersabar, berarti doa kita memang terkabul.

Aktivitas nyata, memang begitu tegas digariskan dalam Islam. Dari penciptaan manusia, anatomi tubuh kita saja telah disketsa untuk banyak bekerja. Kita punya dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga. Sedangkan mulut kita hanya satu. Artinya, kita harus sangat lebih banyak bekerja, mendengar, melihat daripada sekadar berbicara. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, begitu banyak kita dapatkan perintah-perintah untuk beraktivitas. Pasca menunaikan shalat Jum’at misalnya, kita diperintahkan untuk bertebaran mencari karunia Allah di atas bumi. 

“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah: 10).

Kita tidak dianjurkan untuk mengurung diri di masjid, berdzikir dan berdoa, namun BERAKTIVITAS. Alias BERIKHTIAR. Begitulah jawaban Musa a.s. ketika Bani Israil memintanya fasilitas yang lebih. “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Maidah: 21).
Musa a.s. meminta mereka berikhtiar untuk menyerbu Palestina, baru setelah itu mereka bertawakal kepada Allah. Akan tetapi, apa jawaban kaum Musa? 
Mereka berkata: "Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja." (QS. Al-Maidah: 24).

Betapa pengecut jawaban kaum Nabi Musa, yakni Bani Israil alias Yahudi yang selanjutnya akan mendapat laknat dari Allah SWT.
Betapa pentingnya berikhtiar secara optimal, difirmankan Allah SWT,
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’du: 11).

Kewajiban manusia adalah berikhtiar dan berdoa. Kemudian ketika ikhtiar itu telah purna, telah terjalankan dengan optimal, barulah kita bertawakal. Tawakal ini adalah implementasi pengakuan kita akan eksistensi Allah Yang Maha Berkehendak. Bahwa segala sesuatu yang tersketsa di muka bumi ini, bukanlah buah dari kecemerlangan ikhtiar kita akan tetapi karena semata-mata Izin-Nya. 

Tawakal akan membebaskan kita dari belitan stres jika ikhtiar yang kita angap maksimal, ternyata membentur batu karang. Tawakal juga akan melahirkan evaluasi yang mendalam, apakah ikhtiar kita benar-benar sebuah itqonul amal, sebuah ahsanul amal. Maka, insya Allah kita akan terhindar dari sikap takabur, justru sebaliknya, akan menjadi pribadi yang senantiasa rendah hati serta senantiasa melakukan perbaikan.

Wallahu a’lam bish-shawwab.



Posting Komentar untuk "Indahnya Bertawakal"