Novel Mei Hwa: Pengamen Jalanan, Huru-Hara Mei 98 dan Si Maniak Sejarah
Di Balik Layar Penulisan Novel "Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman"
Pengamen Jalanan
Pada suatu hari yang panas di tahun 2002, di bawah terik matahari, saya mencoba berlindung di tempat yang cukup teduh di pinggir jalan. Di bawah sebatang pohon rindang yang tumbuh di trotoar dekat perempatan lampu merah Panggung, Jebres, Solo. Saya berteduh sembari bercakap-cakap dengan beberapa kawan pengamen yang sedang menunggu jatah antre mengamen. Sembari duduk-duduk, mereka asyik memainkan peralatan mereka yang sederhana, mulai dari kecrek—alat musik yang dibuat dari rangkaian tutup botol minuman, hingga gitar kecil. Di Solo, gitar kecil itu disebut kencrung. Kalau di rumah saya, namanya cuk. Ayah saya yang seorang seniman, memiliki peralatan orkes keroncong yang lengkap, mulai dari bass betot, cello, biola, gitar hingga cuk. Di keluarga saya, hampir semua memiliki kemampuan memainkan salah satu atau lebih alat-alat tersebut. Saya sendiri, pernah belajar menggitar, tetapi tak sampai mahir, karena saya lebih suka menulis dan bermain teather.
Kembali ke cerita para pengamen itu ya…. Anda heran mengapa saya akrab sekali dengan mereka? Ya, pada tahun 2002, saat itu saya masih lajang, saya dan beberapa teman mendirikan organisasi pengamen, yakni KAPAS—Keluarga Pengamen Surakarta. Saat itu saya ditunjuk untuk mengurusi bidang keperempuanan KAPAS. Karena pada perkembangannya permasalah para perempuan pengamen itu menjadi kian kompleks, ditambah banyak para perempuan serta anak-anak jalanan non pengamen bergabung, akhirnya divisi keperempuanan KAPAS berubah menjadi Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (LPPAP Seroja), yang terpisah dengan organisasi induknya.
Yah, itulah asal muasal saya bersentuhan dengan para pengamen, menyatu dalam hidup mereka dan mencoba memainkan peranan dengan melakukan upaya-upaya pemberdayaan mereka untuk bisa hidup secara lebih manusiawi. Haiyah, bahasanya khas aktivis LSM banget! :-D
Nah, saat tengah bercakap-cakap dengan para pengamen itulah, saya melihat sesosok tubuh ringkih yang berjalan ke arahku dengan terpincang-pincang. “Sinten nami panjenengan, Mbah?” tanya saya sembari tersenyum ramah. Siapa nama Anda, Mbah.
“Murong, Mbah Murong!” jawab perempuan tua itu. Dia tak tersenyum, bahkan wajahnya selalu terlihat sedih. Tetapi, dia tampak ingin dekat dengan saya dan teman-teman. Mungkin dia butuh pertolongan.
Suatu hari nanti, saya tahu bahwa dia disebut Mbah Murong, karena memang berasal dari dusun Murong, sebuah dusun di Sragen. Perempuan itu tinggal di sebuah gubuk dekat Stasiun Jebres, serta mencari nafkah dari mengamen di Lampu Merah Panggung. Hingga kini, saya tak tahu nama asli perempuan tua itu. Dan sekarang, saya tak tahu lagi di mana perempuan tua itu berada.
“Mbak Yeni, ini kaki saya kok sakit tak sembuh-sembuh, ya?” Dengan bahasa Jawa halus, dia menunjuk ke kakinya. “Jika dibuat berjalan, sakit sekali.” Keningnya berkerut. Terlihat kesakitan. Saya memperhatikan kakinya yang terlihat bengkak kehitaman.
“Lha, apa nanti sore saya antar periksa ke dokter,” ujarku. Mbah tua itu mengangguk, tampak terlihat senang mendengar tawaran saya. Singkat kata, sorenya saya pun mengantar Mbah Murong ke dokter langganan saya. Dia diperiksa, mendapat obat.
Selesai?
Tidak!
Ada sesuatu yang belum selesai, karena mendadak saya terkenang-kenang dengan sosok perempuan tua itu. Terkenang dengan wajahnya yang sedih. Saya merasa, perempuan itu adalah pemantik dari sebuah ide novel yang telah saya rancang sejak tahun 2001. Jika saya telah menumpuk kayu bakar, maka Mbah Murong adalah korek api yang memicu percikan api.
Maka, sebuah kisah lantas jalin menjalin dan berkelindan di kepala saya. Ruang imajinasi saya membentuk sebuah mapping yang rumit, acak, namun saling terkait. Sebuah konsep cerita yang utuh sudah saya dapatkan. Tetapi, alih-alih mengeksekusi ide tersebut menjadi sebuah novel, saya justru sibuk menulis novel lain. Akan tetapi, di novel yang saat itu saya tulis, "Jangan Panggil Aku Josephine”, saya mengisahkan seorang pelaku yang sedang menulis sebuah novel berjudul “Revolusi Murong”. Konsep cerita itu secara global saya cantumkan di novel JPAJ.
Baru setelah JPAJ selesai saya tulis, pelan-pelan saya mencoba menguraikan jejalin ide Revolusi Murong itu menjadi sebuah novel. Saya pun mulai mengetik di komputer Pentium 1 milik saya saat itu.
Mei 1998
Tak ada kisah itu tanpa pematik kisah yang lebih dahsyat lagi. Peristiwa Mei 1998!
Malam itu, di sebuh hari di pertengahan bulan Mei 1998, saya yang saat itu masih mahasiswa semester dua, bersama beberapa teman berkumpul di rumah indekos Mbak Wawid, salah seorang senior saya di kampus. Kami berdoa bersama, dipimpin oleh Mbak Tanti Yosipha (namanya mirip seorang artis film, tapi bukan beliau kok). Kami menangis. Lalu merenung lama, sampai kantuk menyerang, dan kami tertidur. Tengah malam, mbak Tanti kembali membangunkan kami, dan kami shalat malam berjamaah.
Berita yang kami dengar di sore hari, membuat kami merasa harus kian dekat dengan-Nya. Panser-panser siap diturunkan oleh Rezim Suharto untuk membendung demonstran mahasiswa yang hendak turun ke jalan secara besar-besaran. Tetapi kami, para mahasiswa, merasa harus tetap turun ke jalan. Apapun yang terjadi, perjuangan harus tetap berlanjut.
Sekali lagi, kami berdoa dan menangis. Kami akan turun ke jalan esok hari, dan siap dengan segala resiko.
Akan tetapi dini hari, jelang subuh, kami mendapat kabar bahwa demonstrasi besar-besaran dibatalkan. Pak Amin Rais menyeru para mahasiswa untuk tidak turun ke jalan. Ketua KAMMI pusat, saat itu Bang Fahri Hamzah, juga meminta agar para mahasiswa tak turun ke jalan, karena kondisi sangat berbahaya.
Dan benar, kami dikagetkan dengan berbagai informasi yang membuat bulu kuduk meremang. Semarang memang tak terlalu bergolak. Tetapi Jakarta hangus. Yogya dan Medan bergejolak. Dan Solo—kota leluhur saya, porak poranda. Ya, ayah saya memang asli Solo, keluarga besar dari pihak ayah juga tinggal di Solo. Maka, nyaris beku tubuh saya saat mendengar kabar Kartasura, Jalan Slamet Riyadi, dan jalan-jalan utama lainnya hancur dibakar massa.
Ketika tahun 2001 saya lulus kuliah dan memutuskan untuk tinggal di kota leluhur, saya masih menemukan kota itu dalam keadaan bopeng. Sisa-sisa kebakaran masih terlihat di berbagai titik. Sehingga, memang sangat wajar jika Pak Jokowi yang berhasil mengubah kota Solo menjadi secantik sekarang, disebut-sebut sebagai walikota berprestasi tinggi.
Kerusuhan 1998, harus saya abadikan dalam sebuah karya!
Si Maniak Sejarah
Jika ada yang iseng menanyakan, pelajaran apa yang paling saya sukai? Jawab saya: sejarah. Well, banyak yang bilang saya multitalent hehe. Nilai matematika saya selalu sembilan, ilmu pengetahuan alam, ilmu bahasa, bahkan seni juga nilainya selalu di atas lumayan. Tetapi, sejak kecil, saya memiliki ketertarikan secara natural tanpa stimulus apapun kepada pelajaran sejarah. Saya bahkan hapal beberapa gelar raja secara lengkap, misalnya gelar raja Airlangga: Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Ananta Wikrama Tungga Dewa, sejak saya masih kelas 3 SD!
Maka, buku-buku sejarah saya koleksi, saya baca, saya analisis, saya koleksi, dan saya tempatkan di lemari khusus. Novel yang saya tulis pertama kali, Bulan Mati di Javasche Oranje, bergenre fiksi sejarah. Selanjutnya, meski saya juga menulis teenlit, atau juga novel-novel populer lain, saya tetap mengkhususkan diri menulis novel bergenre sejarah.
Dari Katastrofa Cinta, Hingga Mei Hwa
Ketiga unsur itu akhirnya lekat, dan meskipun pelan, novel itu pun jadilah! Tahun 2008, novel Katastrofa Cinta pun diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House. Beberapa tahun kemudian, karena berbagai hal, hak cetak novel tersebut pun akhirnya kembali kepada saya. Sengaja tidak saya tawarkan ke penerbit lain, karena saya menginginkan agar novel itu saya revisi kembali. Saya merasa ada alur yang terlalu cepat, serta sumbatan-sumbatan yang harus dilancarkan, dan berbagai fakta sejarah yang harus disempurnakan.
Maka, terbitlah sekarang ini: Mei Hwa. Inilah cuplikan sinopsisnya:
“Dia korban perkosaan,” bisikan lelaki berjas putih itu menyakitiku.
Korban perkosaan. Aku mengerang. Meradang. Seakan ingin memapas sosok-sosok beringas yang semalam itu menghempaskan aku kepada jurang kenistaan.
“Kasihan dia,” ujar lelaki itu lagi, samar-samar kutangkap, meski gumpalan salju itu menghalangi seluruh organ tubuhku untuk bekerja normal seperti sediakala.
“Kenapa?” tanya seorang wanita, juga berpakaian serbaputih.
“Rumahnya dibakar. Tokonya dijarah. Ayahnya stress, masuk rumah sakit jiwa. Dan ibunya bunuh diri, tak kuat menahan kesedihan.”
……………
Huru-hara 1998 tak sekadar telah menimbulkan perubahan besar di negeri ini. Sebongkah luka yang dalam pun menyeruak di hati para pelakunya. Mei Hwa, gadis keturunan Tiong Hoa adalah salah satunya. Dalam ketertatihan, Mei Hwa berusaha menemukan kembali kehidupannya. Beruntung, pada keterpurukannya, dia bertemu dengan Sekar Ayu, perempuan pelintas zaman yang juga telah terbanting-banting sekian lamanya akibat silih bergantinya penguasa, mulai dari Hindia Belanda, Jepang, hingga peristiwa G30S PKI. Sekar Ayu yang telah makan asam garam kehidupan, mencoba menyemaikan semangat pada hati Mei Hwa nan rapuh.
Dalam rencah badai kehidupan, berbagai kisah indah terlantun: persahabatan, ketulusan, pengorbanan dan juga cinta.
Pemesanan dengan bertanda-tangan, hub wa.me/6287835388493. Harga Rp 55.000.
19 komentar untuk "Novel Mei Hwa: Pengamen Jalanan, Huru-Hara Mei 98 dan Si Maniak Sejarah"
Fakultas apa, mbak Frida? Angkatan 94 ya?
Untuk ikut jejak, ayolah mulai meniti langkah :-)
salam
Nur TERBIT
www.nurterbit.com
www.nurterbit.blogspot.com
www.kompasiana.com/daeng2011
twitter: @Nur_TERBIT
FB: Bang Nur
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!