Cinta Dan Benci Sewajarnya

Pagi ini, sembari mencecap kopi susu yang harumnya menggelitik rongga olfaktori (ehm, saya tidak merokok... juga tidak bertatto ^_^, tapi insya Allah rajin bekerja dan tak korupsi—malah nombok sana-sini hihi), saya teringat pada sebuah hadist yang sudah lama dikaji, tapi terasa begitu relevan akhir-akhir ini.

Hadist tentang benci dan cinta. Pasti teman-teman juga sudah hapal di luar kepala. “Cintailah kekasihmu sewajarnya, karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi seorang yang engkau benci. Dan bencilah orang yang engkau benci sewajarnya saja karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi kekasihmu.” (H.R. Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani).


Kekasih, berarti seseorang (atau sesuatu) yang dicintai. Tabiat dari manusia memang ekstrim. Kecenderungannya bisa ke kanan, atau ke kiri. Dalam bahasa agama, kita mengenal istilah ifrath (lebay, berlebihan), atau tafrith (abai, mengingkari). Ya, berlebih-lebihan atau mengabaikan selalu menjadi pilihan yang sama-sama menyesatkan. 

Terkadang, pilihan itu dipicu oleh kondisi. Misal, nih… saat kita sedang puasa, hari pun panas luar biasa, maka ketika waktu berbuka tiba, dengan ‘bernafsu’ kita pasti akan memilih menenggak segelas air es. Padahal, air hangat lebih bagus untuk tubuh kita. Kebalikannya, ketika kita sedang sangat kedinginan. Yang terbetik di benak kita adalah sesuatu yang panas. Saya lahir dan besar di daerah pegunungan. Saat SMP, saya suka main-main ke rumah teman saya yang lebih tinggi lagi posisi rumahnya di banding rumah saya. Menyeruput teh panas dari air yang baru mendidih, terasa begitu nikmatnya. Pulang-pulang, saya merasakan bibir dan mulut saya ‘jontor’ karena melepuh.

Nah! Seperti itu juga dalam masalah cinta dan benci. Ada yang saking cintanya, lalu memuja, menabikan, bahkan menuhankan. Itu terjadi karena saat kita mencintai seseorang (sesuatu), kita akan cenderung terbuai oleh kelebihan-kelebihannya. Sedangkan jika kita benci, maka kita akan cenderung terfokus pada kekurangan-kekurangan dan mengingkari segala kebaikan yang dimiliki sosok yang kita benci. Kita akan menggunakan segala cara untuk mengekspresikan kebencian kita.

Masalahnya, cinta dan benci itu tak menetap permanen di labirin hati. Apalagi, cinta dan benci kepada manusia. Pada prinsipnya, semua orang diciptakan dengan positif dan negatif. Jika kita terus-menerus mempelototi kebaikannya, lama-lama kebaikan itu akan habis, dan akhirnya dia akan melihat keburukannya. Demikian pula, jika kita terus-menerus menguliti keburukannya, lama-lama keburukan itu akan sirna, dan tinggallah kita yang tertegun-tegun karena yang kita lihat selanjutnya adalah kebaikan-kebaikan.

Kalau sudah begitu, malu, kan? 

Karena itu, Rasulullah menekankan kata SEWAJARNYA. Ya, sewajarnya saja saat kita berinteraksi dengan manusia. Jangan ‘gumunan’, jangan kagetan, jangan terlalu lugu, jangan terlalu apriori… dan seterusnya, lanjutin sendiri ya.

Karena itu pula, dalam masalah hak dan kewajiban, kita tidak boleh menjadikan benci dan cinta sebagai ukuran. Allah SWT, dalam Al-Quran berfirman, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah: 8).

Salah satu cara berbuat adil, khususnya dalam masalah pemberitaan (termasuk citizen journalism lewat status-status kita di medsos), adalah cover both sides. Sudahkah kita berimbang dalam membuat opini? Janganlah ‘kecintaan’ kepada Prabowo membuat kita memeti-es-kan semua kebaikan Jokowi. Janganlah ‘kecintaan’ kepada Jokowi membuat semua kebaikan Prabowo seakan uap yang hilang tanpa bekas. Prabowo dan Jokowi sama-sama makhluk Tuhan dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Yah, jadi... begitulah. Mari kita nikmati kehidupan dengan sewajarnya. Seruput kopi lagi....

__________

2 komentar untuk "Cinta Dan Benci Sewajarnya"

Comment Author Avatar
Well said, mbak... Kereeen bangeets... Sikap yang sama juga harus kita tunjukkan pd siapapun ya. Termasuk bu Susi yang lagi happening banget belakangan ini, di media mainstream maupun medsos. Saya share tulisan opini saya ttg bu Susi yang dimuat di Jawa Pos bolehkah??
http://bukanbocahbiasa.wordpress.com/2014/10/29/yayy-opini-tentang-susi-dan-tuhan-sembilan-senti-dimuat-di-jawa-pos/#comment-2676
Comment Author Avatar
Iyalah... artikel ini berlaku untuk siapapun, termasuk kepada Bu Susi. Selagi masih manusia, sy yakin selalu ada positif-negatifnya

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!