Please, Jangan Ada “Hoax” Di Antara Kita
Joseph Goebbels (foto: Alchetron)
Salah satu penyebab keberhasilan Hitler
menjadi penguasa Jerman adalah kedahsyatan propagandanya. Kita bisa melihat, bagaimana antusiasme jutaan anak-anak muda saat mengikui apel besar yang diselenggarakan oleh pendiri Nazi tersebut. Siapa sosok di balik kedashyatan propaganda tersebut?
Dia adalah Paul Joseph Goebbels, seorang
propagandis berbasis akademisi, pengikut setia Hitler yang berkonsentrasi penuh dalam masalah propaganda. Peran lelaki itu sangat kuat. Saking sentralnya peran Goebbels, tatkala
berkuasa, Hitler memberinya jabatan strategis: menteri propaganda.
Satu teori
Goebbels adalah argentum ad nausem alias big lie (kebohongan
besar). Prinsip teori ini sebenarnya sangat sederhana: sejuta kali keburukan disebut
sebagai kebaikan, maka dia akan menjadi kebaikan. Berita bohong yang disebarkan
melalui media seluas-luasnya, akan menjadi “berita yang diterima kebenarannya.”
Mungkin karena terinspirasi dengan teori
tersebut, akhir-akhir ini, berita-berita hoax begitu banyak berseliweran
di sekitar kita. Hoax, secara bahasa berarti lelucon, bualan atau tipuan,
secara istilah berarti “deliberate trickery intended to gain an advantage”
(tipuan yang disengaja untuk memperoleh keuntungan tertentu). Salah satu tujuan
dari pembuat berita hoax adalah mengubah persepsi objek hoax tentang
sesuatu atau seseorang dengan berita sesat tersebut.
Menurut Chen et all (2014), hoax
mampu mempengaruhi banyak orang dengan menodai suatu citra dan kredibilitas.
Sedangkan Petkovic et all (2005) menyebutkan bahwa pembuat hoax
memiliki keinginan agar dengan informasi palsu itu, pembaca berita hoax mengambil
tindakan sesuai dengan isi hoax.
Selain menyesatkan, hoax juga
bisa menimbulkan suasana psikologis yang mencekam denga isi berita yang sangat
mengerikan. Jadi, motivasi si pembuat hoax bermacam-macam. Ada yang
sekadar membuat lelucon semacam “april mop”, merusak citra pesaing, propaganda,
teror agar masyarakat hidup dalam nuansa ketakutan, hingga motivasi mencari
keuntungan, misal agar situsnya dapat banyak pengunjung dan meraih keuntungan
dari iklan.
Sebagai seorang muslim, sebenarnya kita
telah diajari untuk sensitif terhadap hoax, misal dengan mekanisme tabayyun
langsung kepada pihak yang bersangkutan. Atau juga dua mekanisme yang dipakai
dalam menilai sebuah hadist: sanad dan matan. Sanad adalah
jalur periwayatan, bisa kita cek dengan cara yang mudah, misal dengan browsing
di internet. Jika situs-situs penyebarnya adalah situs abal-abal, kita perlu waspada. Adapun matan adalah
konten, logiskah info tersebut? Dengan cara-cara seperti itu, setidaknya kita
bisa melihat sebuah berita itu hoax atau bukan.
Ada bahasa yang "khas" digunakan para hoaxer. Di antaranya adalah kata-kata bombastis yang sering digunakan, mulai dari judul. Kata-kata semacam: Heboh, Luar Biasa, Emejing, Dashyat dan sejenisnya, sering sekali digunakan oleh para hoaxer. Berita-berita yang dimuat pun cenderung mengerikan, penuh teror, emosi, ujaran kebencian dan sebagainya.
Mari menjadi pribadi yang lebih teliti,
supaya tidak ada “hoax” di antara kita.
8 komentar untuk "Please, Jangan Ada “Hoax” Di Antara Kita"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!