Widget HTML #1

Oh Tuhan, Jangan Jadikan Kami Sekadar Buih Di Lautan!



Dear pembaca, sudah lama ya, saya nggak memposting tulisan di blog ini. Apakah ada yang kangen? Duh, ge-er nih, dikangenin pembaca. Tetapi, siapa tahu ada yang sudah lama jadi pembaca setia blog ini, dan setia menunggu update posting saya.

Entah, mau bilang sibuk, kok rasanya sok banget, ya. Mau bilang tidak sibuk, nyatanya memang ada banyak gawean yang harus dikerjakan. Dan maafkan jika akhirnya blog ini terbengkalai. Tuh, mulai ada banyak sarang laba-laba bergelantungan di sana-sini. Alarm dari rumah virtual ini sudah berdering-dering memanggil, minta dirapikan, minta disegarkan. Minta ditambahi postingan.

Oke baik... saya meluncuuur! Tapi, mau cerita apa, ya? Tuh, kan, kalau lama tidak nge-blog, jadinya gagap. Baiklah, saya mau curhat saja, boleh kan?

Jujur, beberapa waktu terakhir ini, hati saya dipenuhi dengan berbagai jenis emosi yang campur baur, teraduk-aduk, bikin ruang dalam dada ini gonjang-ganjing. Antara sedih, marah, kecewa, gundah, miris, gamang... dan sebagainya, dan sebagainya. 

Kenapa kakak, kok gundah? Banyak faktor, deh. Yang jelas, bukan karena sedang putus cinta, haha. Emangnya, elo!

Pertama, jelas karena faktor pandemi yang tak juga mereda, bahkan makin hari makin tak terkendali. Reuters dengan pesimis mengatakan, bahwa Indonesia merupakan negara dengan "endless first wave". Agak nyinyir ya, Reuters ini. Tapi, nyatanya hingga sekarang, grafik penderita Covid-19 di Indonesia memang terus saja meningkat. Teman-teman saya pun mulai berjatuhan. Bahkan, saya pernah sempat kontak erat dengan penderita COvid-19 dan harus isolasi mandiri.

Saat ini, Indonesia sudah menduduki posisi ke-19 negara dengan kasus Covid-19 terbanyak, yaitu 412,784 kasus dan total meninggal 13,943 jiwa. Cek SUMBER.  Sementara, total kasus di dunia telah 46,823,515 kasus, dan total meninggal 1,205,321. Ngerinya, di saat negara-negara lain sudah mengalami penurunan kasus, Indonesia masih saja naik. Tak jelas, kapan peak-nya, alih-alih mikir grafik turun dan segera mereda.

Nah, yang kedua nih, bete banget! Di tengah pandemi yang masih mencengkeram, berbagai macam problematika lain juga terlontar, bak lumpur Lapind* yang menyembur dari perut bumi. Begitu sekat terbuka, lumpur panas itu keluar tak terbendung, menenggelamkan semua yang dilewati. Saat ini, memang tak ada lumpur panas dalam artian sebenarnya. Namun, hawa panas yang dihasilkan, sama-sama membakar.  

Permasalahan ketidakadilan yang begitu kasat mata, kezaliman yang dipertontonkan demikian vulgar, kemaksiatan yang anehnya dibela dengan begitu menyolok, persatuan yang dikoyak moyak oleh fanatisme, kebencian yang begitu dalam mengakar, tiap hari berseliweran, memicu frustasi begitu dalam.

Mengikuti kondisi perpolitikan di tanah air, juga di dunia, bikin hati sering merasa dongkol dan jengkel. Alih-alih memberikan keadilan, malah undang-undang yang jauh dari asas keadilan diketok. Sementara, lembaga KPK yang mestinya bisa menjadi harapan bagi rakyat, instansi yang paling dipercaya rakyat, malah dilemahkan.

Di luar negeri, kondisi pun makin nggak keruan. Bukannnya mendukung perjuangan Palestina, beberapa negara Islam justru melakukan pengkhianatan dengan membina hubungan baik (mereka sebut normalisasi) dengan penjajah Zionis, Israel. Sebut saja UEA dan Bahrain. Sebagaimana dilansir dari Republika (2/10/2020), bantuan dunia Arab ke Palestina pun menurun drastis dari US $ 267 juta dolar pada 2019, menjadi hanya US$ 38 juta dolar, atau turun 85%. Ini kan CRAZY! Alasan bahwa mereka kecewa karena Palestina menolak ide deal of century yang ditawarkan presiden AS Donald Trump, tidak bisa diterima akal sehat. Bagi rakyat Palestina, deal of century adalah modus "membeli Palestina".

Apa dan bagaimana sih, deal of century itu? Kapan-kapan ya, saya jelaskan.

Faktor ketiga, yang bikin saya bete banget, apa lagi jika bukan soal agama yang sering sekali dihina dina, dijadikan bahan olok-olok, serta berbagai upaya desakralisasi nilai-nilai religius yang dilakukan oleh kalangan yang sok-sokan "open minded". Ngaku open minded, tapi begitu fanatik dengan ide-ide yang dimiliki dan senang menguliti ide orang lain dengan semena-mena. Ngaku toleran, tapi sangat intoleran terhadap kalangan lain yang dia maki sebagai intoleran. Wah, gimana ya maksudnya? Ya mirip anak kecil yang memarahi orang lain agar tidak suka marah-marah. Pokoknya gitu deh...

Baru-baru ini, di Perancis, meletus insiden yang mengundang kemarahan kaum Muslimin internasional. Kronologinya, begini. Awalnya, Kantor Berita Charlie Hebdo menerbitkan karikatur Nabi Muhammad SAW. Seorang guru bernama Samuel Paty pun menunjukkan kartun tersebut kepada muridnya dengan alasan kebebasan bicara. Respon yang diterima sungguh tak terduga. Kepala Paty dipenggal oleh muridnya. 

Publik Perancis bereaksi keras. Presiden Emanuel Macron tetap bersikeras menyatakan bahwa dia tidak akan melarang kartun Nabi Muhammad SAW karena itu merupakan kebebasan berekspresi. Bahkan Macron menyebutkan bahwa Islam adalah teroris. Dalam pidatonya Macron bersumpah bahwa Prancis "tidak akan menghentikan kartun (karikatur)" dan menyebut sang guru dibunuh "karena Islamis menginginkan masa depan kita".

Respon pembunuhan Paty memang lebay, dan sangat tidak Islami. Saya sendiri mengecam hal tersebut. Tetapi, jelas, terang benderang, pemicunya adalah penerbitan karikatur Nabi Muhammad SAW! Bagi umat Islam, ini penghinaan luar biasa. Digambar dengan baik-baik saja terlarang keras hukumnya, apalagi dibikin karikatur.

Blunder Macron ini telah mengundang kemarahan. Seruan boikot terhadap produk-produk Perancis digaungkan dengan sangat kencang. Bahkan Presiden Jokowi secara resmi, mewakili bangsa Indonesia, pun ikut mengecam Macron.

Terus terang, saya sangat terharu dengan kekompakan kaum Muslimin di seluruh dunia ini. Memang sih, masih ada sebagian kaum muslimin yang lunak-lunak saja menghadapi penghinaan ini. Mereka menyerukan agar kita memaafkan saja sikap orang-orang Perancis tersebut, bersabar menghadapi penghinaan itu.

Hm... kalau kita dihina dan kita sabar, tentu saja. Tapi, yang dihina adalah Rasulullah SAW, yang setiap shalat kita sebut dalam syahadat kita. Saya jadi teringat pada bunyi hadist ini.

Rasulullah SAW bersabda, “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745).

Ya Allah, semoga kita semua bukan sekadar buih di lautan!

* * *

Jadi, intinya, saya merasa tertekan, karena sedemikian banyaknya problematika umat, sementara saya merasa tidak, atau belum, melakukan apa-apa untuk mengatasi problem tersebut. Seandainya kita bukan part of problem, bahkan kemudian memposisikan diri (setidaknya berusaha) menjadi part of solution, seberapa besar solusi yang diberikan? 

Apakah sekadar seperti kisah burung pipit kecil yang bolak-balik mengambil air dengan paruh mungilnya, untuk mencoba membantu memadamkan api besar yang digunakan Namrud laknatullah untuk membakar Ibrahim a.s.? Berapa besar sih, paruh seekor burung pipit? 

Atau, jangan-jangan, apa yang selama ini kita lakukan, hanya sekadar mengejar fatamorgana. Seperti Bunda Hajar yang berlari-lari antara bukit Shofa dan Marwa untuk mencari air, yang ternyata hanya pantulan langit oleh udara panas. Bayangkan, betapa lelahnya Bunda Hajar, berlarian 7 kali Shofa Marwa, sementara bayi Ismail a.s. menangis karena kehausan dan ASI sudah tak keluar saking kering kerontang keadaan. 

Saat ini, Shofa Marwa dipisahkan oleh lorong dengan lantai marmer dan AC yang dingin. Kita tak perlu mendaki puncak saat melakukan sa'i. Meski begitu, jarak yang ditempuh untuk sa'i masih lumayan, kurang lebih 3,5 sampai 4 km, sehingga setidaknya kita bisa merasakan--meski sangat sedikit--kesulitan Bunda Hajar saat itu. Terbayang kan saat itu? Padang pasir tanpa perlindungan, medan liar serta bukit yang terjal, di tengah terik mentari membakar di siang bolong. Sudah susah payah bergerak, ternyata hanya sesuatu yang sifatnya fatamorgana, alias tidak nyata.

Duh...

Bisa juga, selama ini kita hanya sekadar 'melipir' dari kenyataan. Diam seribu basa, tanpa suara. Katanya sih, diam itu emas. Bahkan, diam kadang menyelamatkan. Tetapi, apakah diam bisa membuat sebuah masalah selesai? Bukankah diam itu, meski dengan berdoa, adalah selemah-lemah iman?

Kondisi semacam ini memicu perasaan tertekan bukan? 

Kata seorang guru saya dahulu, rasa tertekan muncul ketika ada jarak yang terlalu lebar antara harapan dan kenyataan. Cara mengatasinya, salah satunya berusahalah agar harapan mendekati kenyataan, dengan cara berjuang! 

Permasalahannya, kita harus berjuang dengan cara seperti apa? Seperti pipit mungil yang mencoba memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim? Seperti Bunda Hajar yang berlarian mengejar fatamorgana? Atau berdoa: wa asyghilidz dzolimin bidz dzolimin wa akhrijna min bainihim salimin 
dan sibukkanlah orang-orang zalim dengan orang zalim lainnya. Selamatkanlah kami dari kejahatan mereka.

Ketiganya tentu tidak bertentangan dengan syariat. Ketiganya menunjukkan keseriusan kita dalam berjuang. Artinya, dalam keadaan selemah apapun, kita tetap berjuang, tetap bergerak, meski dalam keterbatasan.

Kita mungkin burung pipit kecil yang susah payah memadamkan api dengan paruh kecil kita. Tetapi, Allah SWT-lah yang akan memadamkan api itu dengan kekuatan-Nya. Dan dengan izin-Nya, Nabi Ibrahim tetap segar bugar meski dibakar Namrud.

Kita mungkin seperti Bunda Hajar, yang berlarian kesana kemari mencari air. Tetapi, buah keseriusan Bunda Hajar terwujud, ketika memancar Telaga Zamzam dari arah entakan kaki Nabi Ismail.

Dan semoga dengan sholawat asyghil yang kita lantunkan. Allah SWT akan menjadikan kekuatan-kekuatan besar yang memusuhi-Nya itu saling berbenturan satu sama lain.

Namun, jika boleh memilih, kami ingin menjadi barisan tentara Rasulullah di bawah Panglima Khalid bin Al Walid, yang menyusun strategi dengan terencana, terprogram, serta kekuatan penuh. Atau menjadi tentara Sholahuddin Al-Ayyubi saat membebaskan Al-Aqsha. Juga barisan Al-Fatih saat menembus benteng Konstatinopel.

Yang jelas, ya Rabb... jangan jadikan kami sekadar buih di lautan.




Posting Komentar untuk "Oh Tuhan, Jangan Jadikan Kami Sekadar Buih Di Lautan! "