Proses Kreatif De Hoop Eiland, Novel Terbaru Afifah Afra
Akhirnya, novel ke-4 Tetralogi De Winst berhasil saya selesaikan. Judulnya De Hoop Eiland, dari bahasa belanda yang artinya Pulau Harapan. Sebelumnya, saya pernah ingin memberikan judul Rendezvous In Digoel, bahkan sempat bertahun-tahun menyimpan file naskah di komputer dengan nama file RID. Akan tetapi karena kurang relevan, saya ubah di akhir-akhir kepenulisan novel ini. Selain biar lebih klop dengan buku-buku sebelumnnya yang memakai huruf awal D, memang judul De Hoop Eiland menurut saya lebih pas ketimbang Rendezvous In Digoel.
Saat ini, naskah novel De Hoop Eiland masih dalam proses produksi. Kemarin, editor novel ini, Ayu Wulan, mengatakan bahwa naskah sudah proses layout. Saya agak kaget, karena tebal novel ini mencapai 808 halaman. Padahal itu sudah dibikin lebih rapat spasi dan ukuran hurufnya agak dikecilin sedikit (dibanding ukuran font yang lazim dipakai di tata letak novel Indiva Media Kreasi lainnya). Kalau dengan ukuran reguler, tebalnya sekitar 900 halaman.
Saya memang berpesan kepada setter untuk mencoba mengakali sedikit. “Kalau ketebalan, khawatir penjilidannya kurang kuat, dan harga tentu lebih mahal. Bisa nggak, diakali sedikit, tapi tetap nyaman dibaca.”
Setelah otak-atik, akhirnya naskah bisa lebih “tipis” sekitar 100an halaman. Lumayan berhemat, hehe. Ketika saya kontak ke bagian percetakan, no problem katanya kalau 808 halaman. Jilid bisa kuat, insyaAllah.
Oke deh, 808 halaman. Sudah mentok! Kalau dikurangi lagi, nanti novel tidak akan nyaman dibaca. Bocoran harga berapa? Belum fix, tapi kurang lebih akan dipatok sekitar Rp 160.000,- saya kira itu termasuk sangat murah untuk novel setebal itu, hehe. Tapi, semoga nanti tetap ada diskon untuk pembaca setia.
Campur aduk perasaan hati saya. Jujurly! Hehe, maafkan ya kalau saya pakai istilah ‘slank’: jujurly. Biar kekinian, meski saya tahu, mungkin para pakar bahasa tidak akan suka.
Mengapa campur aduk? Ada beberapa hal. Pertama, penulisan novel ini saya mulai sejak 2012 atau 2013. Sekarang sudah 2021, jadi sekitar 8-9 tahun. Ini memecahkan rekor Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman yang saya tulis sekitar 7 tahun. Kok begitu lama, sih?
Kalau sekadar dihitung dari kecepatan menulis, tentu itu lambat sekali. Saya sering menulis hingga 10-20 halaman atau lebih dalam sehari. Tetapi, masalahnya kan tidak cuma itu. Ada banyak kendala, misal riset yang agak berat. Napas yang kadang ngos-ngosan, karena menulis begitu panjang. Tapi, yang paling banyak sih sepertinya kemalasan, hehe. Jujurly!
Akhir-akhir ini, saya menganut pendapat, bahwa menulis harus senyaman mungkin, semengalir mungkin, seasyik mungkin. Lha, efeknya, malah saya jadi sering tidak tune in, alias menunggu waktu dan kesempatan yang benar-benar pas untuk menulis. Padahal, pengalaman flow saat menulis, sebenarnya tidak terlalu tergantung pada suasana. Keasyikan menulis pada saya, banyak terjadi bahkan ketika saya menulis sebuah tulisan yang berawal dari kondisi ‘memaksa diri memulai’.
Soal pengalaman flow atau FLOW EXPERIENCE kapan-kapan saya coba tuliskan tersendiri ya, sebab ini merupakan hal yang sangat penting dalam psikologi kreativitas. Kalau teman-teman sering mendengar istilah psikologi positif yang dicetuskan tokoh-tokoh semacam Martin E. Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi, tentu akan sangat akrab dengan istilah FLOW Experience ini. Sebelum membaca teori mereka, tanpa saya tahu istilahnya, ternyata saya pernah beberapa kali mengalami hal itu. Dan ini merupakan kata kunci penting dalam proses berkarya saya.
Kembali ke topik di atas!
Kesadaran ini membuat saya berjuang untuk memaksa diri. Tanggal 1 April, saya diajak suami keluar kota. Beliau rapat, saya mengurung diri di kamar hotel. Saat itu, saya bertekad membuka kembali draft tulisan yang saat itu sudah mencapai hampir 200an halaman. Pokoknya harus selesai! Dan ternyata benar, setelah mencoba membaca ulang dari awal, saya bisa merasakan keasyikan menulis, dan dalam waktu dua hari, 1-2 april, saya menambah sekitar 50 halaman.
Suami saya sampai terkesan dan akhirnya memberikan 'feed back' yang sangat manis: "ayo asal mau produktif gitu, saya siap ajak kamu jalan-jalan."
Asyeeek!
Setelah itu, saya benar-benar mampu ‘tersedot’ masuk ke dalam karakter para tokoh dan seting yang saya bangun. Pelan-pelan, saya berhasil menambahkan halaman, hingga final, mencapai sekitar 490-an halaman ukuran A4 (setelah dilayout dengan ukuran standard 14 x 20, tebalnya jadi 808 halaman). Bulan Agustus, naskah final alhamdulillah. Kok lama? Sebab, saya selalu membaca berulang-ulang, mencari kesalahan, memperbaiki typo dan sebagainya, sampai saya benar-benar merasa puas dengan naskah ini.
Kedua, mengapa perasaan saya campur aduk, karena tetralogi De Winst ternyata mendapatkan sambutan yang cukup bagus dari pembaca. Novel pertama, De Winst terbit tahun 2008. De Liefde tahun 2010 dan Da Conspiracao tahun 2012. Setelah itu, saya sangat sering ditanyai, “Kapan buku keempat terbit?” Ternyata bukan hanya saya, admin penerbit Indiva Media Kreasi juga sering ditanya. Jujurly (wkkk, lagi-lagi pakai istilah ini), saya merasa sangat bersalah.
Maka, kelegaan yang saya rasakan saat berhasil menyelesaikan naskah ini, jauh melebihi naskah-naskah yang lain. Terlebih, ketebalan naskah ini adalah rekor bagi saya, haha. Da Conspiracao, buku ketiga tetralogi ini, tebalnya 620 halaman, saat itu terasa begitu ngos-ngosan juga. Ternyata, De Hoop Eiland, bisa melebihi hampir dua puluh lima persennya. Ya, meski tahun ini saya baru hendak menelurkan satu buku saja, tetapi kan tebalnya hampir sama dengan 4 buku umumnya, hehe. Eh, masih ada satu sih, draft naskah non fiksi yang sedang saya finalkan, semoga masih mengejar terbit tahun ini pula, meski agak tidak terlalu optimis, mengingat ini sudah bulan November.
Gambaran Isi
Mengapa novel De Hoop Eiland begitu tebal? Sebab, ada 4 bagian yang menyatu jadi satu kesatuan plot pada novel ini. Bagian pertama, episode Sekar. Saya menceritakan bagaimana perjuangan Sekar menghadapi kesulitan di tanah asing, Jerman. Pada buku kedua, De Liefde, saya menceritakan bagaimana Sekar diculik para pemuda NAZI dan terdampar di Jerman yang saat itu mulai dikuasai oleh Hitler.
Bagian kedua, episode Everdine, saya ambil setting Maldives. Selain Everdine, saya kembali ‘menghidupkan’ sosok Yudhistira yang berhasil menyelamatkan Everdine saat peristiwa pemberontakan di kapal De Zeven Provincien (baca buku De Liefde). Setelah terapung-apung di perairan, lalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya Everdine justru terdampar di Maladewa, atau Maldives, sebuah negara kepulauan di perairan Samudera Hindia, selatan India.
Bagian ketiga, menceritakan Rangga yang dibuang di pedalaman Papua, alias Boven Digoel. Ini mungkin bagian terseru, karena menceritakan banyak fakta-fakta sejarah dalam bungkus fiksi. Bagaimana Rangga berinteraksi tak hanya dengan sesama tahanan politik, tetapi juga warga asli yang masih primitif.
Nah, di bagian keempat, mereka bertemu di sebuah pulau: De Hoop Eiland. Pulau apakah ini? Dan mengapa bisa bertemu?
Spoiler ya, kalau saya bocorkan di sini. Haha….
Sebaiknya, ditunggu saja ya terbitnya buku ini. Meski 'setebal bantal', saya jamin tidak membosankan. Selamat membaca!
18 komentar untuk "Proses Kreatif De Hoop Eiland, Novel Terbaru Afifah Afra"
Visit Us
Lama lho bikin buku bertahun2 gtu. Mana ini setting luar negeri terus ada nilai sejarah lagi. Yakin deh, alasan para pembaca menunggu karena mereka tak sabar akhir dari novel ini hahha.
Mbak afra berarti berhasil membuat pembaca teraduk sisi emosionalnya
Sekali lagi, jujurly, hehehe aku salut mbak. Layak mbak jika karya nya ditunggu2 selalu
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!