Widget HTML #1

3 Tipe Cendekiawan Di Zaman Nabi Muhammad SAW

Gambar: Islamic Wall Art Store

Kaum intelektual, atau golongan cendekiawan, adalah golongan yang ada di setiap kaum apapun. Bahkan, suku-suku terpencil di Papua pun, sejak dahulu memiliki sosok 'big man', atau figur-figur karismatik yang memiliki wibawa dan pengaruh karena kekuatan yang dimilikinya. Dalam novel De Hoop Eiland saya menceritakan sosok Tomkot Krey yang berada di pedalaman hutan Boven Digul. Tomkot adalah jenis bigman yang saat itu menjadi leader informal. Selain Tomkot, di Suku Muyu atau Kati yang terletak di Boven Digul, ada pula sosok Kayepak. Bedanya, kalau Tomkot dihormati karena kepandaian dan kebijaksanaannya, Kayepak menjadi sosok kuat karena kekayaan dan kesaktian atau kekuatan fisiknya.

Baca: Boven Digoel, Tomkot, dan Kayepak: Serpihan Proses Kreatif Penulisan Novel De Hoop Eiland

Tomkot adalah contoh kalangan intelektual di Suku Muyu saat itu. Kalangan intelektual dalam sebuah kaum memang biasanya dihormati karena memiliki tingkat kecerdasan dan ilmu yang lebih tinggi dibandingkan kaumnya. Mereka mungkin saja bukan pemimpin resmi, walaupun pada beberapa kondisi, para cendekiawan tersebut juga menjadi leader di masyarakatnya. Tetapi, meskipun bukan pemimpin. mereka selalu menjadi rujukan masyarakat. Setiap ada persoalan yang membutuhkan jawaban, biasanya mereka akan bertanya kepada para cendekiawan tersebut.

Para Cendekiawan di Zaman Nabi

Bagaimana kondisi kaum intelektual di zaman Nabi Muhammad SAW? Mekah pada periode Nabi, sebenarnya bukan kota yang tidak memiliki peradaban. Disebut sebagai jahiliyah bukan karena bodoh, tetapi karena tersesat dari nilai-nilai Ilahiyah. Seperti yang kita ketahui dalam Sirah Nabawiyah, masyarakat Arab pada saat itu memiliki tradisi paganisme, alias penyembah berhala. Ada beberapa berhala yang terkenal, seperti Latta, Uzza, Manat, dan Hubal.

Pada masa Nabi, setidaknya terdapat 3 tipe kaum intelektual, yaitu kaum cendekiawan yang lurus atau hanif serta menerima ajaran Islam; kaum cendekiawan yang obyektif namun tidak mau beriman kepada Allah SWT dan menerima agama yang dibawa Rasulullah SAW; dan kaum yang menentang habis-habisan agama yang dibawa Rasulullah SAW.

Abu Bakar Ash-Shidiq

Tipe pertama, yakni cendekiawan yang lurus dan beriman, contoh yang paling gamblang adalah Abu Bakar ash-Shidiq. Abu Bakar ash-Shidiq memiliki nama asli Abdullah bin Abu Quhafah. Beliau lahir di Mekah pada tahun 573 dan wafat pada tahun 634 di Madinah. Beliau lebih muda 2 tahun dari Rasulullah SAW yang lahir pada tahun 571. Uniknya, beliau juga wafat 2 tahun setelah wafatnya Nabi SAW pada 632. Abu Bakar yang memiliki usia sebaya dengan Rasulullah, merupakan sahabat terdekat Rasulullah SAW. Kisah-kisah persahabatan beliau dengan Rasulullah sudah banyak dituliskan oleh para ulama. Kisah-kisah yang indah dan sangat menyentuh sisi emosi kita, bukan?

Sejak muda, Abu Bakar dikenal sebagai sosok terpelajar. Beliau adalah salah satu sosok cendekiawan di Mekah yang menjadi rujukan orang-orang di sana. Abu Bakar bisa membaca dan menulis dengan baik, serta menyukai syair-syair. Dengan menggunakan akal pikirannya, Abu Bakar mencari kebenaran, bertanya kepada orang-orang yang pandai. Karena itu, meskipun saat itu wahyu belum turun dan Muhammad SAW belum menjadi rasul, Abu Bakar tidak ikut menyembah berhala-berhala di Ka'bah. Menurut Khalid Muhammad Khalid, Abu Bakar muda yang dikenal bernama Atiq, berguru pada orang-orang hanif pada masa itu, seperti Qus bin Saidah al-Iyyadi, Zaid bin Amr bin Nufail, dan Waraqah bin Naufal.

Karena pencarian akan kebenaran yang dilakukan sejak muda itulah, maka Abu Bakar sangat mudah menerima dakwah Rasulullah SAW. Beliau selalu membenarkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah, sehingga digelari sebagai Ash-Shidiq. Abu Bakar melakukan sebuah proses validasi terhadap ajaran yang disampaikan Rasulullah, karena ternyata cocok dengan apa yang dia pelajari dan pikirkan sebelumnya. Bahkan peristiwa yang dianggap "absurd" sekalipun, semacam Isra' Mi'raj, Abu Bakar tetap membenarkan dan memberikan trust yang kuat kepada Rasulullah SAW.

Apa efek dari berimannya Abu Bakar Ash-Shidiq? Jelas, beliau mendapatkan teror luar biasa, siksaan dan berbagai macam perlakuan jahat dari kaumnya. Meskipun memiliki kedudukan sangat mulia dan terpandang, setelah masuk Islam, Abu Bakar tak luput dari makar. Dikisahkah bahwa Abu Bakar pernah dipukuli salah seorang "jagoan" Mekah bernama 'Utbah bin Rabi'ah hingga kondisinya kritis. Hal tersebut memicu kemarahan kabilahnya, Bani Ta'im, sehingga mereka bersumpah, bahwa jika Abu Bakar meninggal, maka mereka akan membalas dendam kepada 'Utbah. Meksipun Bani Ta'im belum menerima islam, karena fanatisme kesukuan, mereka pun melindungi Abu Bakar.

Al-Walid bin Al-Mughirah

Tipe kedua, tipe cendekiawan yang obyektif, namun akhirnya menolak kebenaran, dikarenakan takut kehilangan pengaruh, jabatan, Contoh tipe ini adalah Al Walid bin Al-Mughirah. Figur ini sering disebut dalam Al-Quran.

Adapun Bukan hanya cendekiawan, Al Walid adalah sosok pemimpin yang sangat disegani di suku Quraisy. Beliau berasal dari Bani Makhzum,  yang memang memiliki tugas terkait dengan soal peperangan. Anaknya, Khalid bin Al-Walid, adalah seorang panglima perang hebat, yang setelah masuk Islam berjasa besar mengantar pasukan kaum muslimin mendapatkan kemenangan demi kemenangan. Al Walid lahir tahun 527 dan meninggal tahun 622. Selain cerdas dan kuat, Al-Walid juga sangat kaya dan berpengaruh. Saat Ka'bah dihancurkan, Al-Walid mempelopori renovasi Ka'bah. Pada saat itulah terjadi perselisihan, siapa yang akan meletakkan Hajar Aswad? Kemudian, muncullah Muhammad yang disepakati semua kaum untuk mengangkat Hajar Aswad tersebut. Namun, dengan sangat bijaksana, Muhammad meminta semua perwakilan kabilah mengangkat Hajar Aswad tersebut bersama-sama dengan menggunakan kain. Kemudian, Muhammad mengambil Hajar Aswad dari kain tersebut dan meletakkan ke tempatnya. 

Peristiwa tersebut ternyata membekas di benak Al-Walid bin Al-Mughirah. Ketika Al-Quran turun, sejatinya pakar hukum dan cendekiawan besar Mekah itu tidak menolaknya. Bahkan, ketika suatu hari Al-Walid mendengar Nabi membaca surat Ghafir, Al-Walid terkesima dan memberikan pujian. "Demi Tuhan, ucapannya bukanlah ucapan manusia maupun para jin”, begitu katanya kepada Abu Jahal. Abu Jahal dan orang-orang Suku Quraisy pun sangat marah mendengar hal tersebut, dan mendesak Al-Walid untuk menyatakan ketidaksukaannya kepada Al-Quran. 

Akan tetapi, Al-Walid yang merasa takut kehilangan pengaruh dan kedudukan, memutuskan untuk memusuhi Nabi. Meski mengagumi, Al-Walid memilih ingkar terhadap Al-Quran. Bahkan, Al-Walid juga memprotes, mengapa Al-Quran tidak diturunkan kepadanya saja? Jika Al-Quran itu benar, maka Al-Walid merasa lebih berhak menerima dibanding Muhammad SAW.

Abu Jahal
Siapa tak kenal Abu Jahal, si bapak kebodohan? Meskipun digelari sebagai Bapak Kebodohan, sebenarnya di Mekah, Abu Jahal justru memiliki julukan yang sebaliknya, yakni Abu Al-Hakam, atau Bapak Kebijaksanaan. 

Nama aslinya adalah Amr bin Hisyam, lahir pada tahun 570, jadi hampir sebaya dengan Nabi Muhammad SAW ataupun Abu Bakar. Abu Jahal meninggal tahun 624 atau tahun 2 Hijriyah saat perang Badar. Abu Jahal dikenal sangat cerdas dan bijaksana, dan memiliki posisi penting di Darun Nadwah, yakni semacam parlemennya Suku Quraisy. Begitu besarnya pengaruh Abu Jahal, sampai-sampai Rasulullah pernah berdoa agar Allah menurunkan hidayah kepada salah satu dari dua orang bernama dengan huruf yang mirip: Amr bin Hisyam atau Umar bin Khattab. Ternyata, yang dikabulkan adalah keislaman Umar bin Khattab.

Abu Jahal sangat membenci Nabi SAW dan selalu menggunakan pengaruhnya untuk menghasut kaum Quraisy agar memusuhi kaum Muslimin. Padahal, Abu Jahal sebenarnya masih kerabat dari Nabi Muhammad SAW.

Logika Bukan Segalanya
Jika agama hanya perkara logika, tentu ketiganya akan tunduk pada agama. Ketiganya memiliki logika yang baik, cerdas dan bijaksana. Akan tetapi, dalam menentukan sikap, seseorang akan dipengaruhi oleh banyak hal, misal: senioritas, iming-iming harta benda dan kedudukan tinggi, strata sosial ... dan yang terpenting adalah hidayah dari Allah SWT.

Karena itulah, saat ini kita bisa melihat betapa banyak cendekiawan yang lurus seperti Abu Bakar, obyektif namun takut kehilangan jabatan seperti Al-Walid, dan berapa banyak yang tertutupi dari kebenaran hakiki seperti Abu Jahal?

Semoga kita semua bisa menjadi sosok yang senantiasa dibimbing oleh Allah SWT dan tegak dalam kebenaran, apapun risikonya.

Posting Komentar untuk "3 Tipe Cendekiawan Di Zaman Nabi Muhammad SAW"