Boven Digoel, Tomkot, dan Kayepak: Serpihan Proses Kreatif Penulisan Novel De Hoop Eiland
Sudah membaca novel De Hoop Eiland? Di dalam novel setebal 696 halaman ini, saya mencoba mengeksplorasi beberapa tempat sebagai setting cerita, salah satunya adalah Boven Digoel. De Hoop Eiland adalah kelanjutan dari novel Da Conspiracao. Pada novel ketiga tetralogi De Winst tersebut, Rangga Puruhita dikisahkan dipindahkan dari lokasi pembuangan di Ende menuju Boven Digoel. Jangan tanyakan, kok dari Ende ke Boven Digoel, bukan ke Bengkulu? Jawabnya jelas, ini kisah fiksi tentang seorang Raden Mas Rangga Puruhita, bukan kisah Bung Karno, hehe.
Sepertinya, hampir seluruh orang Indonesia, khususnya yang pernah belajar sejarah, pernah tahu, setidaknya pernah mendengar nama Boven Digoel. Ya, Boven Digoel adalah sebuah lokasi yang terletak di Papua, tepatnya di Provinsi Papua Selatan. Lho, kok ada provinsi Papua Selatan? Nah, baru tahu juga ya, kalau ada provinsi baru di Papua? Hehe.
Papua Selatan baru dibentuk tahun 2022 berdasarkan UU no 14 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan. Provinsi ini memiliki 4 kabupaten, yaitu Merauke, Boven Digoel, Mappi dan Asmat. Boven Digoel yang berada di novel De Hoop Eiland, adalah Boven Digoel yang masih merupakan rimba raya di tengah Papua, berjarak sekitar 400an km dari kota Merauke. Boven Digoel beribukota di Tanah Merah. Kamp pengasingan di Tanah Merah, Boven Digoel, merupakan sebuah penjara terbuka dengan luas sekitar 10 ribu hektar, berlokasi di tepi Sungai Digoel yang dipenuhi dengan buaya-buaya, dan sisi lainnya adalah hutan belantara.
Adalah seorang Kapten L. Th. Becking, seorang perwira Belanda yang dipuja-puja pemerintah kolonial Belanda karena berhasil memadamkan perlawanan aktivis PKI pada tahun 1926. Bukannya mendapat promosi jabatan di tempat yang strategis, sang kapten malah ditugaskan di tempat yang saat itu begitu menyeramkan, sehingga misi kapten Becking itu nyaris menyerupai sebuah 'mission: impossible.' Kapten Becking diminta membuka hutan belantara tersebut menjadi sebuah lokasi pengasingan untuk anggota-anggota PKI yang memberontak pada tahun 1926 dan 1927. Sebagai informasi, pemberontakan PKI terjadi 2 kali, yakni di Jawa Barat dan Sumatera Barat.
Dengan 120 tentara dan 60 pekerja, Kapten Becking pun berangkat berlayar menuju Papua, menyusuri Sungai Digoel, dan membabat hutan Papua yang masih sangat lebat dan dihuni tak hanya oleh fauna berbahaya, tetapi juga manusia pengayau, dari kata dasar 'kayau' artinya membunuh orang untuk diambil kepalanya. Tanah Merah pun akhirnya menjadi penjara raksasa yang menampung para eks anggota PKI yang ingin dibuat stres dengan lokasi yang sangat jauh dari peradaban itu. Pada perjalanannya, Digoel tak hanya ditinggali para tahanan dari anasir PKI, tetapi juga para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dari organisasi non PKI. Bung Hatta dan Sutan Syahrir adalah 2 tokoh non PKI yang pernah merasakan duka lara menjadi tahanan di kamp Tanah Merah.
Meskipun awalnya berbentuk kamp, lama-lama para tahanan yang menetap di Boven Digoel mulai membuat rumah sendiri, sehingga terbentuk perkampungan yang menurut literatur cukup rapi dan teratur. Sebagian tahanan memang diizinkan untuk membawa keluarga, banyak pula anak-anak, sehingga akhirnya berdiri berbagai sekolah, baik yang disediakan oleh pemerintah Hindia Belanda, maupun sekolah swasta yang didirikan oleh para tahanan sendiri.
Interaksi sosial kemasyarakatan di Tanah Merah semakin kompleks, setelah batas antara kamp dengan penduduk asli dibuka. Para tahanan, atau lazim disebut sebagai interniran, kemudian bebas bersosialisasi dengan penduduk asli. Penduduk asli, yang disebut sebagai "orang kayakaya", banyak bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah para tahanan. Mungkin Sobat heran, bagaimana dan darimana para tahanan itu membayar mereka? Perlu diketahui, bahwa para tahanan tersebut mendapatkan semacam living cost dari pemerintah Hindia Belanda. Beberapa interniran ada yang menolak jatah hidup itu, dan memilih bekerja mandiri, ada yang menjadi guru, pegawai di pemerintahan dan sebagainya. Bung Hatta, memilih menulis artikel dan mengirim ke koran-koran, dan hidup dari honor tulisannya tersebut.
Eh, ada koran masuk Digul? Itulah kehebatan Bangsa Belanda, di satu sisi kita memang harus acung jempol pada profesionalitas para bule tersebut. Dua minggu sekali, kapal Belanda, namanya Albatros, datang ke Digul, membawa berbagai macam kebutuhan baik untuk para tentara dan pegawai pemerintahan, para misionaris geraja, maupun para tahanan dan keluarganya. Kebutuhan itu tak hanya kebutuhan primer, tetapi hal-hal sekunder bahkan tersier, seperti koran, media, bahkan juga surat-surat. Sutan Syahrir bahkan berhasil berkorespondensi dengan istrinya di Belanda, padahal beliau sedang menjalani masa internir di Boven Digoel.
Interaksi sosialisasi antar warga dengan penduduk asli makin marak, ketika para aktivis misionaris gereja banyak melakukan aktivitas "dakwah" kepada suku-suku terasing, sehingga lama-lama penduduk asli pun mulai mengenal peradaban yang lebih 'modern'. Salah satu suku yang bisa bekerjasama dengan pendatang adalah Suku Muyu atau Suku Kati. Dalam novel De Hoop Eiland, saya menceritakan bahwa Rangga Puruhita dan teman satu rumahnya, dokter Sucitro, atas jasa seorang motorist (sopir perahu motor) yang bekerja pada pemerintah Hindia Belanda, berhasil menembus belantara dan menjalin interaksi dengan seorang Tomkot yang telah memeluk agama kristen. Tomkot dari klan Krey itu bersama Rangga mendirikan sebuah sekolah sederhana, di mana Rangga dan dokter yang dipanggilnya sebagai Mas Citro, pelan-pelan mendidik para pemuda aslil Suku Muyu dalam sekolah rakyat yang mereka dirikan bersama sang Tomkot.
Apa sih Tomkot itu? Apakah semacam kepala suku? Ternyata bukan juga. Sistem pranata sosial di Boven Digoel saat itu masih sangat sederhana. Jika saya bandingkan dengan Kepemimpinan Satria Piningit yang sedang saya teliti dan saya susun alat ukurnya, pola kepemimpinan di sana tentu masih jauh dari kerumitan. Namun begitu, ada yang menarik dari sistem kepemimpinan di Suku Muyu (Kati) yang berlokasi di kabupaten Boven Digoel tersebut. Di sana, sistem kepemimpinan bersifat achievement. Orang-orang yang memang secara alamiah memiliki bakat kepemimpinan, otomatis akan menjadi pemimpin. Mereka adalah semacam 'bigman' atau manusia karismatik yang dengan karismanya bisa memberikan pengaruh kepada orang-orang di sekitarnya. Dalam teori leadership, kita mengenal apa itu pemimpin karismatik, yakni pemimpin yang mendapatkan otoritas karena karisma yang dimilikinya.
Menurut Max Weber, terdapat 3 jenis otoritas, yaitu otoritas tradisional, otoritas karismatik, dan otoritas legal rasional. Pemimpin dengan otoritas tradisional mendapatkan pengakuan sebagai pemimpin karena tradisi, misal seorang putra mahkota yang mendapatkan warisan takhta dari orang tuanya. Pemimpin legal-rasional mendapatkan pengakuan karena ada legitimasi formal, misal SK, promosi, atau terpilih menjadi pemimpin karena Pemilu yang memiliki legalitas kuat. Sedangkan pemimpin karismatik, seperti dijelaskan di atas, memiliki pengaruh yang muncul secara alamiah. Mereka adalah para 'real bigman'.
Saya termasuk orang yang cenderung setuju dengan aliran kontingensi, yakni bahwa seorang pemimpin itu bersifat situasional, atau berdasarkan kebutuhan. Organisasi yang modern, tertata, kuat dan rapi, mungkin cocok dipimpin seorang yang demokratis, organisasi yang masih lemah, kurang inisiatif dan terdiri dari anggota-anggota yang masih butuh bimbingan, barangkali lebih cocok dengan pemimpin yang otoriter. Sementara, di Papua masa itu, yang pranata sosialnya masih sangat sederhana, para bigman muncul karena kebutuhan masyarakat saat itu.
Para bigman ini mendapatkan otoritas karena memiliki karisma yang memancar kuat, sehingga muncul perasaan segan di hati orang lain, dan otomatis mengikutinya. Sebenarnya, dalam kehidupan sehari-hari, pola ini pun biasa terjadi, bukan? Misalnya, di sebuah kelompok informal, sosok yang karismatik biasanya akan dianggap sebagai pemimpin, meski tak ada legal formal yang menyertai. Bahkan, meskipun ada pemimpin yang memiliki otoritas legal, seringkali dia akan kalah pengaruh dibandingkan para bigman yang memiliki karisma lebih kuat, sehingga akhirnya muncullah sosok pemimpin-pemimpin informal. Saat ini, meski ada leader formal, tak jarang tumbuh leader-leader informal yang secara pengaruh justru lebih besar daripada leader formal. Atau, bisa jadi leader formal itu sebenarnya disetir oleh leader-leader informal, langsung atau tidak langsung.
Ada dua jenis bigman di Suku Muyu, pertama tomkot. Ini tipe bigman yang sederhana, tidak menguasai ilmu gaib, tetapi pintar, berpengaruh dan penuh karisma. Kedua, kayepak, ini bigman yang kaya-raya, dan menguasai ilmu ghaib. Siapa paling berpengaruh? Keduanya berpengaruh, tetapi kemunculan sosok Tomkot ini menjadi bukti bahwa uang dan harta itu bukan segalanya. Demikian juga ilmu ghaib. Seorang Tomkot yang arif bijaksana, memiliki kecendekiawanan, ternyata juga memberikan pengaruh besar, bahkan di sebuah masyarakat terisolir seperti Boven Digoel di tahun 1930-an.
Ya, mereka masih suku terbelakang. Tetapi, mekanisme kepemimpinan seperti itu, khususnya posisi Tomkot, sangat layak dicermati. Sebab, yang akan terpilih benar-benar yang berkualitas dan bisa memimpin. Tak ada manipulasi dalam mekanisme pemilihan pemimpin seperti money politics, tidak ada pamer kekuatan yang menimbulkan ketakutan, tak ada pencitraan, dan sebagainya.
2 komentar untuk "Boven Digoel, Tomkot, dan Kayepak: Serpihan Proses Kreatif Penulisan Novel De Hoop Eiland"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!