Widget HTML #1

Kisah Marie Antoinette, Ratu Jelita Yang Mati Oleh Guillotine

Marie Antoinette

Banyak orang ingin menjadi ratu. Tetapi, justru karena menjadi ratu itulah, perempuan ini menanggung derita. Marie Antoinette adalah Ratu Perancis terakhir, sebelum Perancis berubah menjadi negara demokrasi, ditandai dengan Revolusi Perancis yang berhasil menggulingkan aristokrasi di negeri yang dikenal sebagai pusat mode di Planet Bumi itu.

Ya, lengkap sudah penderitaan perempuan cantik bernama Marie Antoinette itu.  Pengadilan Perancis memutuskan bahwa sang Ratu Perancis itu bersalah, dan harus dijatuhi hukuman mati. Sang Ratu yang dijuluki "Madame Déficit", karena keborosannya telah membuat Perancis mengalami krisis keuangan, akhirnya dihukum oleh rakyat. Hukumannya bukan sekadar penjara, tetapi kematian.

Sebagaimana dilansir dari history.com (16/10/2013), pada suatu pagi di tanggal 16 oktober 1793, seorang algojo bernama Henri Sanson membuka sel penjara Sang Ratu, lalu membawa perempuan cantik berusia 37 tahun itu memasuki tempat di mana sebuah pisau guillotine yang siap memenggal lehernya. Perempuan yang pernah membuat iri banyak gadis-gadis bangsawan itu pun menemui ajal.

Peristiwa itu benar-benar terjadi. Puteri asal Austria yang pernah menjadi istri orang yang sangat berkuasa di Perancis itu, tumbang dengan kepala terpenggal, disaksikan kerumunan orang yang bersorak gembira dan berteriak "Vive la nation!"

Anda mungkin bertanya-tanya, apa dosa Sang Ratu, sehingga algojo harus mengakhiri nyawanya?
Sejumlah dakwaan dijatuhkan kepada Marie. Di antaranya menggelar pesta seks, menggelandang kekayaan milik kerajaan Perancis ke luar negeri, yakni Austria bersama selingkuhannya, Count Axel von Fersen; menjadi otak pembantaian di Swiss, dan juga melaukan incest terhadap Louis Charles, anaknya sendiri—sebuah dakwaan yang dibantah habis-habisan oleh Marie. Sang Ratu juga dituduh menjadi otak rencana pembunuhan Duke of Orleans.

Marie Antoniette memang dikenal sebagai musuh besar Revolusi Perancis. Marie lahir pada 2 November 1755. Bukan kaleng-kaleng darah birunya, karena dia merupakan anak dari Kaisar Austria, Franci I dengan Ratu Maria Theresa. 

Publik Perancis memiliki memori buruk tentang Sang Ratu, di antaranya, dia dikenal sebagai ratu yang senang berfoya-foya. Sebagai istri Louis XVI, raja Perancis, Marie dikenal sangat senang berjudi, berpesta dan mengoleksi benda-benda mahal. Ketika Perancis mengalami paceklik karena gagal panen, sang Ratu justru membangun istana megah di Versailles, bernama Hameau de la Reine.

Istana Hameau de la Reine (Foto: https://en.chateauversailles.fr/)

Revolusi Perancis dengan idenya liberté, égalité, fraternité, berhasil mendapatkan dukungan rakyat Perancis. Pada tanggal 14 Juli 1789, rakyat menyerbut Penjara Bastille (peristiwa ini diperingati sebagai Le quatorze juillet atau Bastille Day), untuk membebaskan para tahanan politik yang dianggap menentang kerajaan. Peristiwa itu merupakan penanda dimulainya Revolusi Perancis. Kaum revolusioner terus melakukan perlawanan sampai akhirnya berhasil mendirikan sebuah negara dengan pemerintahan konstitusional.

Pemerintah baru memutuskan untuk mengakhiri monarki dengan setegas-tegasnya. Raja Perancis terakhir, Louis XVI diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati. Setelah Louis dipenggal pada 21 Januari 1793, sang istri menyusul sekitar 10 bulan kemudian, tepatnya 16 oktober 1793. Revolusi Perancis dengan jargon  liberté, égalité, fraternité berhasil dengan gilang gemilang, karena telah membawa negeri itu meninggalkan monarki yang telah berkuasa berabad-abad sebelumnya.

Tanggal 22 September 1792 menjadi hari terbentuknya Republik Prancis. Akan tetapi, pada tahun 1799, Napoleon Bonaparte sempat berkuasa dan mengubah sistem republik ke bentuk kekaisaran, meski kemudian digulingkan pada tahun 1815 Napoleon dikalahkan dalam Pertempuran Waterloo. Perancis mengalami perubahan bentuk negara berganti-ganti di abad akhir abad 18 hingga pertengahan abad 19, yakni republik pertama (1992), kekaisaran pertama (1799, Napoleon Bonaparte), monarki konstitusional (1830), republik kedua (1848), kekaisaran kedua (1852), dan republik ketiga (1870, yang berlangsung hingga sekarang).

Setelah 250 Tahun Kemudian...

Menariknya, sebagaimana dilansir dari theguardian.com (1/7/2006), setelah 250 tahun kemudian, rakyat Perancis justru dikabarkan "jatuh cinta" kepada Marie Antoinette. Pascal Seebag misalnya, seorang pengusaha, sebagaimana dikabarkan Guardian, menyebutkan, "When I was at school she was just 'that wicked queen', but now she's a misunderstood celebrity." Dia pun menyebutkan bahwa dia sangat terobsesi dengan Marie Antoinette.

Memang begitulah dinamika kehidupan. Apa-apa yang dipandang sebagai sesuatu yang jahat, bisa jadi akan mereda di kemudian hari. Mungkin, jika kita melakukan penelitian mendalam tentang kondisi psikologi orang-orang zaman dahulu, kita akan mendapatkan sebuah wawasan yang membuat kita jadi berpikir lebih bijaksana. 

Sejarah dan Psikologi merupakan dua bidang ilmu yang sangat berkaitan. Psikologi mempelajari perilaku dan proses mental, sejarah mempelajari peristiwa-peristiwa besar di masa lalu. Mempelajari sejarah menggunakan perspektif psikologi, sangat penting untuk proses rekonsiliasi sosial, agar kita bisa lebih memaafkan apa yang telah terjadi pada masa silam, dan move on pada kondisi sekarang. Dendam-dendam masa lalu tak perlu lagi menjadi sebuah kendala bagi manusia saat ini untuk tidak bergaul dengan manusia lain hanya karena nenek moyangnya saling bermusuhan.

Anda setuju?

Posting Komentar untuk "Kisah Marie Antoinette, Ratu Jelita Yang Mati Oleh Guillotine"