Widget HTML #1

Melukis Cinta di Bumi Aceh 5: Unmaha, Lem Bakrie, UIN Ar-Raniry dan Antropolog Kanada

Bersama Kaprodi Arsitektur UIN Ar-Raniry dan pengurus FLP Aceh

Hari Rabu, 22 Mei 2024 barangkali merupakan salah satu agenda terpadat kami. Iya, hari-hari kami sebelum ini juga lumayan padat, tetapi Rabu ini amat sangat padat. Hari ini, kami telah terjadwal setidaknya di 3 tempat, dan agendanya semuanya cukup resmi. Pagi hingga dzuhur kami diminta mengisi kuliah tamu di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, berlanjut mengisi seminar sekaligus kuliah tamu di Jurusan Arsitektur, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry—ini merupakan kerjasama dengan FLP Wilayah Aceh. Malamnya, kami akan bertemu Dr. Alfi Rahman dari Pusat Riset Ilmu Sosial dan Budaya (PRISB) Universitas Syiah Kuala (USK).

Dalam kondisi seperti itu, saya cukup dicemaskan dengan kondisi suami saya, Mas Ahmad yang sempat ngedrop. Alkisah, ketika berangkat menuju Pidie Selasa kemarin, begitu sampai di kamp Mina Raya, wajah Mas Ahmad pucat pasi. Beliau pun diantar Pak Budhi ke masjid terdekat. Di sana, Mas Ahmad muntah-muntah hebat. Barangkali beliau salah makan, karena Senin malam, saat makan di sebuah restoran, beliau mencurigai ada makanan yang tidak fresh terlihat dari rasanya yang agak kurang meyakinkan. 

Karena itu, kami sepakat agar beliau sementara berada di hotel saja dulu, tidak menemani aktivitas kami. Ternyata Pak Budhi juga memutuskan untuk tetap di hotel. Tapi, siangnya nanti, kami ternyata bertemu di salah Warung Lem Bakrie, satu restoran yang sangat terkenal di Banda Aceh. Ternyata beliau-beliau ini tak tahan terus di hotel, dan dengan mobil sewaan, mereka berdua justru telah menjelajah beberapa objek penting di Aceh yang tak sempat saya datangi.

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Aceh
Bu Eny memberikan kuliah umum untuk mahasiswa Psikologi Unmaha

Sekitar jam delapan lebih, Bu Nur Hasmalawati dari Fakultas Psikologi Unmuha telah menjemput kami dengan mobil kampus. Kami pun meluncur menuju kampus Unmuha. Kampus ini memiliki beberapa Fakultas, yaitu Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Agama Islam, Fakultas Psikologi, dan tentu saja, Fakultas Psikologi. Selain itu, ada juga Program Pascasarjana, meliputi S2 Magister Kesehatan Masyarakat, Magister Manajemen, dan Magister Rekayasa Sipil. Akreditasi kampus ini lumayan juga, yaitu Baik Sekali. Bagi kamu yang tinggal di Aceh dan sekitarnya, boleh deh mencoba menjajal kampus ini. Eh, malah promosi. Tapi, boleh juga kan?

Di kampus ini, kami memberikan kuliah tamu dengan tema kepenulisan ilmiah. Bu Eny menjadi pembicara pertama, dengan memaparkan tips dan trik bagaimana menulis jurnal ilmiah dan menembus jurnal yang terakreditasi. Saya, karena basik saya memang penulis populer, mencoba memaparkan bagaimana tips membumikan karya-karya ilmiah agar bisa dipahami oleh orang awam. Saya mencoba mengutip satu syair WS Rendra, "Apalah artinya berpikir, jika terpisah dan masalah kehidupan." Menurut saya, seorang cendekiawan tidak seharusnya duduk di atas menara gading, dan membiarkan masyarakat kebingungan mencari rujukan. Saya sepakat dengan Franz Magnis Suseno, bahwa semakin tinggi kadar intelektualitas seseorang, mestinnya harus semakin mampu menerjemahkan kondisi-kondisi sosial-kultural di masyarakat dalam dimensi cita-cita dan pemikiran. Artinya, kehadiran seorang cendekiawan harus bisa dirasakan masyarakat umum melalui karya-karya dengan bahasa yang lebih mudah dipahami orang kebanyakan. Setuju?

Warung Lem Bakrie

Tidak lengkap perjalanan ke Banda Aceh kalau tidak mengunjungi Warung Lem Bakrie, kata orang-orang. Kami merasa sangat beruntung, karena Pak Barmawi, dekan Fakultas Psikologi Unmuha, ternyata justru membawa kami makan siang di Warung Lem Bakrie. Warung ini sangat ramai dan merupakan destinasi kuliner favorit di Banda Aceh. Kuliner khas di sini adalah daging kambing, daging panggang, ayam gule, kari kambing (kuah beulangong), ayam tangkap, dan sebagainya.

Sayang beribu sayang, justru mulai beranjak siang, perut saya giliran yang error. Saat berada di Unmuha, di tengah acara saya berkali-kali lari ke kamar mandi karena diare. Mulut terasa pahit, dan lambung mual. Wah, jangan-jangan saya menyusul Mas Ahmad. Walhasil, aneka hidangan Lem Bakrie yang pastinya sangat lezat, terasa hambar di mulut saya. Aduh, sedikit menyesal ya. Semoga suatu saat bisa kembali mengunjungi warung legendaris ini untuk menikmati kelezatan hidangannya.

Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba dua pria itu muncul menghampiri kami. Siapa lagi jika bukan para suami kami? Ternyata mereka sejak tadi sudah berada di sana dan menikmati dengan asyik kuliner di sana. Mas Ahmad sudah terlihat segar bugar. Wah, beliau ternyata sudah sembuh. Tetapi, setelah kami selesai makan, Mas Ahmad dan Pak Budhi memilih untuk berpisah untuk menjelajahi tempat lain, alih-alih ikut kami ke kampus UIN Ar-Raniry. 

UIN Ar-Raniry
Selepas dari Warung Lem Bakri, kami meluncur ke kompleks Universitas Islam Negeri Ar-Raniry yang terletak di kawasan Jalan Syeikh Abdul Rauf Darussalam Banda Aceh. Nama Ar-Raniry ini diambil dari ulama besar sekaligus penulis terkenal yang hidup beberapa abad silam, yakni Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Beliau adalah penasihat resmi Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah, suami dari Sultanah Safiatuddin, puteri dari Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahan mereka berdua, Kesultanan Aceh melanjutkan masa keemasan yang dimulai sejak Sultan Iskandar Muda.


Lokasi UIN tak terlalu jauh dari Unmuha. Atau, mengutip kata Aini, di Banda Aceh, semua lokasi memang tak ada yang “jauh” alias relatif terjangkau. Karena minim kemacetan, dan jalan-jalan pun relatif mulus, sehingga perjalanan menjadi cukup lancar.

Kami shalat dhuhur di Masjid UIN Ar-Raniry, yang ternyata masih dalam kondisi direnovasi. Usai shalat, agak tergesa kami memasuki lokasi ruang seminar, karena ternyata sudah agak terlambat. Panitia sempat mengontak kami berkali-kali, khawatir dengan keterlambatan kami. Begitu kami datang, acara langsung dimulai, dipimpin MC sekaligus moderator, Cut Intan.

Ada sambutan dari Wakil Dekan I Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry, Dr. Yusran, M.Pd, yang membuat saya cukup terkesima. Pertama soal bahwa Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak pernah terjajah. Kedua, bahwa Aceh merupakan “daerah modal” bagi terbentuknya NKRI, karena banyaknya sumbangan untuk RI di masa-masa awal kemerdekaan RI. Sayangnya, daerah modal ini sekarang “kehabisan modal.” Pernyataan ini mengingatkan kembali percakapan hari Senin kemarin dengan teman-teman pegiat FLP Aceh di History Café.

Kuliah umum kerja sama Prodi Arsitektur UIN Ar-Raniry dengan FLP Wilayah Aceh dan Fakultas Psikologi UMS itu bertajuk "Menjadi Mahasiswa Bahagia, Ubah Tantangan Jadi Peluang." Bu Eny memaparkan sebuah fakta unik, bahwa menulis adalah sebuah terapi. Menulis bisa digunakan sebagai salah satu cara manajemen stres, untuk mengubah tantangan menjadi peluang. Bu Eny sudah memiliki beberapa riset tentang terapi menulis. Tesis S2 beliau bertemakan pengaruh menulis pengalaman emosional pada remaja yang mengalami rehabilitasi adiksi Napza.

Pemberian kenang-kenangan dari Fakultas Psikologi UMS ke FLP Aceh

Saya sendiri, kembali mencoba menguatkan diri dan teman-teman, bahwa menulis merupakan sebuah aktivitas mulia yang merupakan bagian dari visi Rabbaniyyah. Sebab, manusia diberikan tugas berat oleh Allah SWT sebagai khalifatu fil ardhi. Sebagai sarana melaksanakan tugas itu, Allah SWT memberikan ilmu tentang mengelola alam semesta kepada Nabi Adam a.s. yang diberikan secara langsung. Sementara, kepada anak turunan Adam, termasuk kita, ilmu diberikan dengan cara Iqro bismirabbika. Apa yang kita baca? Sebuah tulisan. Tak ada iqro tanpa tulisan. Itulah sebenarnya esensi paling mendasar dari literasi dalam perspektif Islam.

Usai acara seminar di UIN Ar-Raniry, Pak Budhi dan mas Ahmad telah menjemput kami. Tetapi, ternyata Rahmat dan kawan-kawan dari FLP Aceh bermaksud mengajak kami ngopi-ngopi. Tujuan kami adalah Hoco Coffee.

Hoco Coffee

Berbeda dengan warung-warung kopi lainnya di Aceh yang konsepnya agak tradisional, Hoco Coffee di Lhambuk Banda Aceh berkonsep modern. Bangunannya mirip kafe-kafe modern khas anak muda. Menunya pun banyak yang western. Tetapi, kelezatan kopinya tak kalah dengan warung kopi lainnya di Aceh. Kopi Aceh memang benar-benar mantap. Selama beberapa hari di Aceh, saya belajar membedakan rasa kopi Sanger, kopi Ulee Kareng, juga kopi Gayo yang mungkin paling dikenal sampai keluar Aceh.

Di Hoco, konsep kami adalah ngobrol santai bersama Rahmat Aulia, Saiful Hadi, Mbak Linda, Mula, Aini dan kawan-kawan FLP Aceh lainnya. Di tengah acara, hadir juga Ferhat Muchtar, salah seorang senior FLP Aceh. Obrolan kami mengalir dengan asyik dan hangat sampai tak terasa waktu bergulir mendekati maghrib dan kami harus berpisah. Besok pagi, kami akan pergi ke Sabang sampai Jumat. Rasanya berat berpisah dengan teman-teman FLP Aceh ini.

Antropolog Kanada
Bersama Louis, Dr. Alfi Rahman dan Kak Cut Januarita

Sampai di Hotel Ayani, waktu sudah memasuki saat maghrib. Lho, kok hotel Ayani? Jadi begini ceritanya. Saat pertama kali memesan hotel Al-Hambra, kami hanya booking 2 hari, karena berencana extend saja jika ternyata tempatnya nyaman. Namun, saat hendak extend, ternyata full booked. Akhirnya kami memesan Hotel Ayani untuk hari ketiga dan keempat, hari kelima memesan kamar di Weh Ocean Resort di Sabang, dan hari terakhir kembali ke Parkside Al Hambra.

Sampai hotel, diare saya semakin menjadi-jadi. Bolak-balik ke kamar mandi. Perut seperti diperas dan diremas-remas. Ditambah rasa mual. Meski sudah diberi obat, rasanya belum juga membaik. Saya sampai tak sempat membuka WA, dan baru diberitahu Bu Eny bahwa Kak Cut Januarita jadi menemui kami malam ini bersama suaminya, Dr. Alfi Rahman. Mereka juga membawa teman mereka dari Kanada, Louis. Kak Cut saat itu sedang dalam keadaan sakit juga. Beliau habis kecelakaan sebulan yang lalu. Tangannya dan bahunya masih terpasang beberapa pen. Jalannya pun masih kesulitan. Dalam kondisi itu, beliau berusaha menemui kami. Apalah arti sakit diare saya ini?

Akhirnya, bakda shalat Isya kami berangkat ke Tower Coffee di samping Hotel Al Hambra, tempat kami menginap hari pertama dan kedua. Tak disangka, di sana ada menu-menu kesukaan saya seperti pisang rebus, kacang rebus dan wedang jahe, yang sangat membantu memulihkan diare saya. Keramahan Kak Cut juga membuat rasa sakit itu seakan lenyap. Terlebih, saat itu hadir Louis, antropolog muda dari Kanada yang sedang melakukan riset di Indonesia selama beberapa bulan.
Louis, meski bule totok, ternyata sangat lancar berbahasa Indonesia. Dan, salah satu yang membuat Bu Eny merasa suprais, ternyata Louis meneliti pula tentang narkoba. Cocok deh dengan beliau. Saya biarkan mereka berbincang-bincang tentang riset mereka, sementara saya asyik diskusi dengan Kak Cut soal literasi di Aceh, khususnya FLP Aceh.

Hari keempat kami lewati dengan bahagia, meskipun lelahnya lumayan juga. Menjelang pukul 10 malam, kami berpamitan untuk kembali ke hotel kami.

Besok kami akan melancong ke Sabang! Ikuti terus ya, tulisan tentang Ekspedisi Aceh ini.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 6.

Posting Komentar untuk "Melukis Cinta di Bumi Aceh 5: Unmaha, Lem Bakrie, UIN Ar-Raniry dan Antropolog Kanada"