Ruang VVIP 1

Sebuah Cerpen Afifah Afra

Ketika ia diseret menghadapku, tak ada selirat gagap pun tersirat. Meski nasibnya kini ibarat sumbu petasan yang dirambati api. Tinggal menunggu saat-saat singkat untuk meledak menjadi serpihan tiada makna.
Selembar surat pemecatan, sebentar lagi akan menamatkan riwayatnya. Jika karena itu surat ijin praktik pun dicabut, rotasi bumi baginya benar-benar telah purna.
Kutatap ia seksama. Lelaki muda, dengan netra bulat seperti bola. Wajah seputih santan, dan bersih selaik kain yang dibentang dari pencucian.
“Anda tahu, apa kesalahan Anda?”
“Tidak,” jawabnya, setenang hamparan telaga. “Bahkan sampai detik ini pun, saya tak mampu meraba, apa sebenarnya salah saya.”
“Semua telah sebenderang langit siang. Anda melanggar aturan.”
“Boleh saya tahu, aturan mana yang saya langgar?”
“Ruang itu, VVIP. Sedangkan pasienmu, kelas tiga. Anda akan membangkrutkan rumah sakit jika segala gembel dimasukkan ke ruang itu.”
 “Saya telah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan,” ujarnya lirih, namun tegas. “Ini keadaan darurat. Dua puluh orang tertimbun longsor. Sebelas orang meninggal, sembilan luka-luka. Bangsal dijejali pasien. Hanya ada satu kamar kosong, VVIP 1. Ruang yang cukup luas untuk menampung sembilan pasien....”
“Tetapi kau tahu, VVIP 1 itu bukan untuk pasien kelas gembel!” suaraku meninggi. Emosiku membajak otak.
“Tak mungkin saya mendirikan tenda darurat jika masih ada ruang yang bisa dimanfaatkan.”
“Anda tahu, berapat tarif VVIP 1 sehari? Tak hanya kamar, perawatan dan obat-obatan yang dipakai pun kelas VVIP 1. Itu tidak akan terjangkau oleh pasien dari keluarga miskin!”
“Akan ada yang menanggung biaya perawatan mereka.”
“Pemerintah, maksudmu?” ejekku. “Tahukah kau, klaim kita atas pasien Askeskin tahun lalu saya belum dibayar. Kaupikir, menjalankan operasional rumah sakit tak butuh biaya? Lebih dari itu, Dokter Yusuf, kau tentunya tahu bahwa VVIP 1 sudah diboking sejak dua bulan silam.”
 “Ya, desas-desus itu, siapa yang tak tahu. Bupati yang memboking kamar itu, bukan? Saya tak tahu, apa alasan Bupati memboking kamar itu. Akan tetapi, saya melihat kamar itu selalu kosong.”
“Meski kosong, beliau tetap membayar tarif kamar dengan tertib.”
“Ini aturan aneh. Di mana-mana, kamar rumah sakit itu untuk merawat pasien. Bukan vila yang bisa digunakan istirahat sewaktu-waktu.”
“Kau banyak mulut, Dokter...! Dan, kau telah melanggar aturan. Atas kesalahanmu itu, kau dipecat!”
“Jika karena membela idealisme lantas saya dipecat, tentu pemecatan ini membanggakan! Pemecatan ini tak akan membuat saya hancur. Justru Anda, Dokter Prahasta... Anda yang akan hancur! Mungkin bukan karier atau materi. Namun, hati nurani Anda!”
Lelaki itu berdiri, tegak. Tatapannya bak sepasang mata tombak.
“Dan, ini membuat saya sungguh merasa kecewa. Saya telah kehilangan sosok idealis yang selama ini saya kagumi. Karena itu, tak perlu lagi kusimpan buku ini di tas saya!”
Ia meletakkan sebuah buku kecil bersampul plastik yang kusam dan renta di atas meja. Lalu ia berbalik, melangkah, sangat gagah.
Seperginya, mataku terpicing ke arah buku kecil itu. Selirat desir menyusup relung. Aku mengenal buku itu. Oleh karenanya, desir itu membadai, terhempas semburan adrenalin, gemparkan jejaring nadiku. Aku terjajar. Punggungku membentur sandaran singgasana empukku.
Tanpa menyentuh buku itu pun, sungguh aku telah mengerti, apa tulisan yang berderet menggoresi lembaran itu. Sibakan-sibakan halaman itu berkelindan dalam benakku. Menjadi sebuah gerakan slow motion, namun berkekuatan penuh, yang pelan-pelan meremukkan segala kekokohanku.
Halaman 32 ...

“Dia sudah mau mati!” teriakku, “Profesor harus menanganinya!”
“Maaf, saya ada rapat penting... menkes akan berkunjung, jadi...”
“Jadi, rapat lebih Anda dahulukan daripada menolong pasien  yang tengah sekarat?”
“Bukankah ia hanya seorang gelandangan?”
Bugh! Tinju itu bersarang di dagu Profesor.
Rumah sakit ribut. Sosok itu, ko-as yang baru berusia 23 tahun, diskors, nyaris di-DO jika saja nasib mujur tidak sedang menyambangi. Karena, justru yang membela agar ia tak di-DO, adalah profesor itu sendiri.
“Saya senang dengan semangat mudamu, Nak!” puji profesor itu, yang bahkan memberi nilai A untuk stase interna. “Orang-orang sepertimulah yang akan menjaga kemurnian visi kita.”

Meski sosok itu telah pergi, ada yang tertinggal di ruangan ini. Sepasang tatapan setajam bayonet, yang sepertinya ia lekatkan di buku kusam itu. Jantungku seakan tengah dicacah-cacah oleh tatapan itu. Lantas, aku terlontar dari alam nyata, dan serasa dihempaskan ke dalam sebuah tabung besi. Di bawah tabung itu, letupan-letupan nyala api melepaskan bahang nan bergelinjang. Aku melepuh seperti daging panggang.
Liar tak terkendali, jemari dalam layar imajiku terus bergerak. Halaman selanjutnya tersibak ...

Aku disumpah sebagai dokter dalam usia 24 tahun. Beberapa bulan kemudian, aku ditempatkan di sebuah rumah sakit daerah yang terpencil. Bulan pertama penempatan, lagi-lagi aku membuat keributan. Aku menggebrak meja direktur dan memakinya sebagai borjuis tak berperasaan. Pasalnya memang cukup kompleks. Di saat wabah malaria menyerang daerah tersebut, selama 2 minggu direktur berlibur ke Bali bersama seluruh keluarganya.
Aku adalah seorang dokter. Tak ada yang kubela selain kode etik seorang dokter. Apapun yang terjadi, aku akan terus idealis!

Kepada suara telepon yang berdering keras, rasa terimakasihku terlempar. Dering itu dengan sukses membuyarkan petala imajinasi yang sejenak membekapku dan menjerujiku dalam ‘dunia lain.’ Meski begitu, saat meraih gagang telepon, tanganku gemetar, seperti pengidap tremor.
“Pak Bupati memutuskan untuk opname, Dok! Ia barusan ditetapkan jadi tersangka korupsi oleh KPK. Dan, seperti skenario kita sebelumnya, dia akan dirawat di rumah sakit, dan divonis dengan penyakit itu ...”
Gigil dalam tubuhku semakin beringas. Skenario senilai lima milyar rupiah ini terasa begitu busuk.
Tarikan sangat kuat, yang seakan-akan dilakukan oleh tangan-tangan gaib, memaksa tatapanku untuk mengarah kepada buku tipis di atas meja itu. MEMOAR SEORANG DOKTER. Judul itu seperti api yang membakar gencar. Dan tulisan sang penulis, seperti dilingkupi gas busuk yang menyesakkan dadaku. Prahasta Karmaputera, nama penulis buku itu. Aku sendiri.
“Bagaimana dengan sembilan pasien korban bencana itu?” tanya Buntoro, stafku yang tengah meneleponku.
Keringat dingin mengucur saat tak sadar kuremas gagang telepon.“Biarkan sembilan pasien itu tetap di ruang itu. Kita tak akan melindungi seorang koruptor.”
Tuhan, betapa ingin kuucapkan kalimat itu.
“Dok?”
“Bangun tenda darurat. Pindahkan pasien miskin itu kesana. Siapkan VVIP 1 untuk Bupati.” Ya Tuhan, aku begitu benci dengan kalimat yang meluncur dari bibirku sendiri.
“Baik, dok!”
Kuletakkan gagang telepon.
Namun, tarikan itu kembali kurasakan begitu kuat. Sepasang tangan gaib itu bergerak ke arahku. Mencengkeram. Menjambak. Membanting-banting. Menampar. Meninju, menghantam....
Aargggh! Rasa-rasanya aku telah menjadi gila!

23 komentar untuk "Ruang VVIP 1"

Comment Author Avatar
Waw, saya suka pilihan katanya yang kuat (y)
Comment Author Avatar
Alhamdulillah... makasih ya sudah berkunjung :-)
Comment Author Avatar
subhanalloh karakternya muncul di percakapan para tokoh ya mbk..
Comment Author Avatar
Karena cerpen ini tuntutannya sangat padat, jadi karakter memang diselipkan di dialog
Comment Author Avatar
Ini seolah menjadi lembaran 'kitab' untukku belajar menulis, karena memang selama ini aku belajar menulis dari banyak membaca.
Alhamdulillah aku berkesempatan pula kenal dan belajar teorinya dari sang penulis

Semoga aku ngga seperti santri yg tersesat karena belajar kitab tanpa ustadz ^_^

Terima kasih,Mbak...
Comment Author Avatar
Lepas dari itu, untuk menjadi seorang penulis, memang kita harus banyak menulis, menulis dan menulis. Berteori sesaat2 saja :-)
Comment Author Avatar
Au gak patek paham. Tp apil lah intinya ttg idialisme dokter. Idenya simple ya.
Comment Author Avatar
Saya suka dengan cerpen dan novel karya mbak. Menggugah idealisme. Ingat ungkapanmu dulu; "menjaga agar idealisme tetap semarak adalah aksi terindah". Eh benar kan kalimatnya?
Comment Author Avatar
Mari saling menguatkan dan saling menyemangati...
Ini Savia bukan?
Comment Author Avatar
Bgus banget.... Cerpen ini secara tak sengaja memperlihatkan kepada kita bagaimana seharusnya menjadi seorg dokter
Comment Author Avatar
mbk afraaaa,,,itu nama panggilan saya, saya dari dulu ngefens sama mbk afraa, dari kelas 2 SMP lho,hehe,,sekarang saya sudah kuliah di jurusan sejarah semester 7,,
kereeen abis ini cerpen, saya sampai d bawa merinding lho,,sukses mk afra, semoga saya bisa ikuti jejak mbk afra,,amiiin :)
Comment Author Avatar
Kereeeennnnn.... 5 jempol untuk mbk yeni....
Kapan ya, bisa buat karya kayak mbk yeni.... :D
Comment Author Avatar
Kereeeennnnn mbk afra..... 5 jempol deh buat mbk afra.
Kapan ya.. bisa punya karnya kayak mbk.... :D
Comment Author Avatar
Kerennnnn.... 5 jempol deh buat mbk yeni.
kapan ya, bisa punya karya kayak mbk yeni... :D
Comment Author Avatar
duhh.. keren bangeett... kapan ya bisa bikin cerpen sebagus ini...
Comment Author Avatar
Ini ditulis sbelum kejadian tiang listrik itu kan ya? Kok bisa2nya mirip gini kejadiannya, hehe
Comment Author Avatar
Jauuuh banget sebelum kejadian tersebut hehe

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!