Widget HTML #1

NUN: Pada Sebuah Cermin, Behind The Scene


Mungkin Nun memang diciptakan sebagai sebatang "pena" yang ditakdirkan menuliskan kehidupan. Kehidupan dirinya yang pahit. Di rumah petak sempit di pemukiman liar bantaran sungai, Nun mulai menuliskan makna sebuah perjuangan. Dia yatim sejak kecil. Ketika lulus SMP dg nilai ujian cemerlang, Nun harus menerima kenyataan bahwa ibunya yang menjadi pemulung tak sanggup membiayai sekolahnya, bahkan menuntut Nun untuk membantu membiayai hidup mereka bersama kedua adiknya. Nun akhirnya mengais nafkah sebagai pemain ketoprak di sebuah grup ketoprak berusia 80 tahun yang sudah nyaris gulung tikar. Grup Ketoprak Chandra Poernama, namanya. Grup itu pernah berjaya dan meraih masa keemasan, namun perubahan kultur masyarakat yang lebih menyukai hiburan semacam sinetron, telah membuat ketoprak tak lagi menjadi tayangan yang dinantikan. Walhasil, grup itu pun nyaris mati suri. Hanya sisa-sisa penggemar, yakni orang-orang tua yang kian ringkih, yang masih menyempatkan untuk menikmati hiburan yang sebenarnya berkelas itu.

Meski hanya ditonton beberapa gelintir penonton, Nun selalu total berakting, meladeni lawan mainnya, Wiratno Sri Kameswara yang 15 tahun lebih tua. Wiratno, lelaki yang matang dan dewasa, bintang panggung yang dipuja-puja, namun ternyata juga memiliki kisah hidup yang getir, antara lain ditinggal istrinya pergi menjadi TKW di tanah Arab. Wiratno yang sering membius penonton dalam akting sebagai kesatria Jawa yang tampan, bijak perkasa, memang mampu menampilkan karisma dalam keseharian. Tetapi, itu bukan berarti kemiskinan hilang darinya. Meski berbalut kepapaan, aura ksatria Wiratno tak luruh. Dia tetap seorang pahlawan di alam nyata bagi Nun. Berkali-kali, pertolongan pemuda itu telah membuat Nun terlepas dari kesulitan. Cinta sejati pun pernah terlantun dari jiwa Nun kepada Wiratno. Sayang, lelaki itu merasa terlalu tua untuk memperdulikan remaja yang baru beranjak mekar seperti Nun.

Tak dinyana, di gedung ketoprak yang nyaris ambruk itu, Nun bertemu dengan Naya. Pemuda intelek, putra seorang pengusaha terkaya di kotanya, fotografer dan jurnalis andal, yang jatuh cinta padanya. Naya yang elegan, berhati lembut dan mencintai budaya, sangat berminat meliput grup ketoprak yang sangat bersejarah itu. Sepulang dari studi di Australia, Naya mendapati Tribun Bengawan, koran milik ayahnya, sebagai salah satu perusahaan yang akan dijual karena terus menerus merugi. Naya pun menerima tantangan ayahnya untuk membangkitkan koran itu dari ancaman kebangkrutan.

Salah satu langkah yang ditempuh Naya adalah menjadikan Tribun Bengawan sebagai koran dengan berita yang diolah dari depth interview. Dan budaya menjadi salah satu incaran Naya dalam membangun kekhasan Tribun Bengawan sebagai koran lokal di kota Solo. Tak heran, jika akhirnya Naya banyak bersentuhan dengan pegiat budaya di kota itu. 

Akan tetapi, perjumpaan pertama Naya dengan Nun ternyata telah menimbulkan kesan yang sangat mendalam di hati pemuda itu. Perjumpaan itu, ibarat dia menemukan sebuah buku dengan sampul dan judul yang memikat. Bukannya menutup dan meninggalkan buku tersebut, Naya justru ingin menyibak lembar demi lembar dan membacanya hingga tamat.

Dan akhirnya, dari pertemuan pertama, Naya pun seperti tersedot dalam labirin tak bertepi. Dia pun akhirnya memasuki pusaran kehidupan Nun dan lingkungannya di pemukiman liar bantaran Kali Anyar dekat Terminal Tirtonadi, dengan berbagai dinamika kehidupan sosial masyarakat miskin pinggiran. Mereka mengeja bersama narasi Ibunda Nun yang merasa bahwa hidupnya telah sama sekali hancur, narasi seorang pelacur jalanan bernama Petty, hingga lelaki yang mengaku sebagai "Ustadz" Jagad Prabangsa yang membuka jasa menikahkan pasangan-pasangan secara siri. Awalnya, Naya hanya menganggap semua itu sebagai fenomena sosial masyarakat pinggiran. Namun, alangkah kagetnya ketika suatu saat dia memergoki seorang lelaki terhormat berstrata sosial tinggi ternyata mendatangi Ustadz Jagad yang membuka praktik di depan rumah Nun untuk dinikahkan secara siri dengan selingkuhannya. Padahal, Naya tahu pasti, bahwa lelaki itu memiliki istri yang jelita, berpendidikan tinggi, dan kehidupan sosial yang mapan dan harmonis.

Naya semakin tenggelam dalam kubangan rasa yang tak menentu. Ingar bingar dalam jiwanya semakin gemuruh, karena akhirnya Naya menyadari bahwa dia jatuh cinta kepada Nun. Dan dia nekad untuk mengejar Nun. Sayangnya, selama ini ternyata Naya merasa hanya menjadi bayangan maya dari ibundanya. Sang ibu, perempuan mempesona yang selalu anggun itu, bukan perempuan bawel yang terang-terangan melarang dia berhubungan dengan gadis semacam Nun. Sang ibu sangat terdidik, berderajat luhur, tak pernah berkata selain kata-kata indah bernilai sastra tinggi. Tetapi, justru dengan kelembutan sang bunda, Naya tahu bahwa hubungan mereka tidak direstui.

Realitas kehidupan kemudian seolah-olah berbalik memusuhi hidup Nun. Bukan saja karena kisah kasihnya yang tak menentu, namun juga karena permasalahan demi permasalahan yang sangat pelik menderanya bertubi-tubi. Mulai dari masalah pribadi, hingga niat Denmas Daruno, pemilik grup ketoprak Chandra Purnama yang ingin membubarkan grup itu dan menjual gedungnya untuk dijadikan mall karena merasa kecewa akibat gagal terpilih sebagai calon wakil walikota.

Di depan cermin tua retak peninggalan seorang Nyonya Belanda yang gila karena senang bercakap-cakap dengan sosok mayanya, Nun mengadukan segala perih kehidupannya. Apakah Nun pun akhirnya akan menjadi gila sebagaimana Nyonya Belanda itu?

KOTA SOLO, BANTARAN KALI DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PINGGIRAN

Novel ini, bisa dikatakan, salah satu novel yang saya garap dengan serius, lebih serius dari novel-novel lainnya. Selain serius dalam riset, emosi saya juga "bermain" di sini. Saya mencoba menyelami jiwa Naya, Nun dan Wiratno, berempati terhadap kehidupan mereka. Sering saya ikut meneteskan air mata saat mencoba mendalami karakter Nun, gundah-gulana saat menyelami jiwa Naya, dan merasa anggun-gagah-perkasa saat mencoba membayangkan sosok Wiratno.

Meskipun setting novel ini adalah kota Solo, kota yang menjadi tempat tinggal saya, bukan berarti tak ada susah payah dalam merangkai kisah ini. Lokasi Bantaran Kali Anyar, telah saya jelajahi sejak masih berupa permukiman kumuh berjejal-jejal di depan Terminal Tirtonadi, awal tahun 2000-an. Setelah Pemerintah Kota menggusur permukiman tersebut, menggantinya dengan taman, dan merelokasi para penduduk liar (serta memberinya KTP) di sebuah lokasi di seberang kali, saya juga terus 'menguntit' dinamika masyarakat tersebut. Jadi, bisa dikatakan saya menuntut diri sendiri untuk rinci mengamati keadaan.

Pelacur bernama Petty, "Ustadz gadungan" bernama Jagad Prabangsa, memang nama-nama fiktif. Tetapi, secara realitas, sosok-sosok mereka memang ada. Jadi bisa dikatakan, novel ini memang sebuah cermin kehidupan, meski karena kisah ini memang sebuah novel, saya membuat banyak dramatisasi.

MACAPAT SEBAGAI KONSTRUK

Jika pada novel novel "Akik dan Penghimpun Senja" saya menggunakan istilah-istilah yang sering dikenal dalam ekosistem karst (termasuk jenis-jenis batu) sebagai nama bab, di novel ini saya menggunakan tembang Macapat sebagai nama bab. Akan tetapi, jika di AdPS penanda bab itu sekadar susunan alpabetis, di novel ini, tembang-tembang Macapat itu adalah sebuah konstruk atas lantunan kisah Nun, Naya dan Wiratno, tiga tokoh utama dalam novel ini. 

Tembang Macapat ada 11 jenis, yaitu Mijil (keluar—melambangkan lahirnya seseorang dari perut sang ibu), Sinom (asma enom, atau masa muda),  Maskumambang (mas (emas) yang kumambang, yakni masa menjelang dewasa), Asmaradhana (asmara dan dana, masa-masa jatuh cinta), Dhandhanggula (manisnya kehidupan), Kinanthi (bergandengan, bisa juga harapan), Gambuh (keharmonisan), Pangkur (ngepangke pikir, masa-masa ketika pikiran mulai bercabang-cabang/ruwet), Durma (mundur dari kesenangan duniawi), Pocung (dibungkus kain putih/kafan) dan Megatruh (megat ruh, proses terpisahnya ruh dengan jiwa). 

Urutan ke-11 lagu itu merupakan proses perjalanan manusia dari lahir hingga meninggal, tetapi ada juga yang menyebutkan proses manusia dalam mencari Tuhannya. Sebagian besar versi menyebutkan proses perjalanan manusia itu dimulai dari Mijil, ada pula yang dimulai dari Maskumambang (masa ruh mulai ditiupkan ke janin manusia). Adapun akhirnya, ada versi yang menyebutkan Pocung (saat dibungkus kafan), ada yang Pocung ditempatkan sebelum Megatruh, namun menurut Dr. Damarjati Supajar, tiga fase terakhir adalah Pocung, Megatruh dan ditutup dengan Kinanthi, yang artinya harapan akan mendapatkan balasan atas apa yang diperbuatnya di dunia.

Dalam novel ini, 11 jenis tembang Macapat saya gunakan sebagai salah satu penanda alur cerita, meski tidak bisa semua dimaknai secara denotatif. Ada yang hanya merupakan simbol dari kelit-kelindan alur yang dibangun tokoh-tokoh novel ini. Adapun versi yang saya ambil adalah milik Dr Damarjati Supajar, karena menurut hemat saya, kehidupan manusia memang tidak berakhir pada Megatruh atau Pocong.

ISLAM, JAWA DAN DAKWAH WALISONGO

Dari konstruksi cerita tersebut, sekilas terlihat bahwa filosofi Jawa sangat kuat. Namun, jika Anda perhatikan, sebenarnya lewat cerita tersebut, saya ingin mengangkat sebuah fakta bahwa Jawa dan Islam sejatinya tidak bisa dipisahkan. Ruh Jawa adalah Islam. Terlebih Jawa masa kini, di mana pengaruh Mataram Islam sangat kuat. Usai Majapahit tumbang, kerajaan yang berkembang di Jawa, adalah kerajaan-kerajaan Islam. Walisongo, dengan cara yang sangat mempesona, melakukan sebuah proses Islamisasi yang berjalan dengan sangat cepat, lembut dan massif. Hanya dalam hitungan sekitar setengah Abad, masyarakat Jawa berubah keyakinan menjadi muslim.

Dalam novel ini, kita akan banyak mendapati ulasan yang berkaitan dengan hal tersebut. Saya berharap agar para pendakwah yang membaca novel ini kemudian menyadari, bahwa dakwah yang dikembangkan melalui budaya, ternyata sangat efektif dan efisien dalam mengubah tatanan sebuah peradaban.

DATA BUKU

Pengarang: Afifah Afra
ISBN: 978-602-0822-09-8
Penerbit: Republika
Terbit: Jakarta, 2015 
Halaman: xiv+370 Halaman
Harga: Rp. 67000,-
Dimensi: 13.5 X 20.5 Cm
Cover: Soft Cover

_________________________________________________________
Paket Hemat Rp 140.000 dapat tiga novel, bebas ongkir Jawa (harga asli Rp 177.000)
1. Nun, Pada Sebuah Cermin. Novel, Terbitan Republika.
2. Akik dan Penghimpun Senja. Novel, Terbitan Indiva Media Kreasi.
3. Mei Hwa & Sang Pelintas Zaman
Silakan kontak Angga (0878-3538-8493)

INFO LENGKAP KARYA AFIFAH AFRA
Pemesanan Online klik SINI atau SMS/WA: 0878.3538.8493

Mau belanja buku-buku Afifah Afra, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Sinta Yudisia dan sebagainya dengan harga diskon? Yuk berkunjung ke TOKO BUKU AFRA.

2 komentar untuk "NUN: Pada Sebuah Cermin, Behind The Scene"

Comment Author Avatar
Wah, minat sekali dg novel ini...
Gimana cara pesennya? Di Gramedia ada kan?
Comment Author Avatar
Di Gramedia sudah ada, Vera...

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!