Mistik dan Klenik Dalam Jagad Politik
Beberapa waktu yang lalu, saat menjelang Pemilu, di media sosial cukup ramai didiskusikan perihal seorang Caleg yang
melakukan ritual berendam di sungai dengan alasan agar para pemilih tak bingung
dan langsung menjatuhkan pilihan kepadanya. Di sebuah sungai di daerah Ngawi, memang banyak para calon pemimpin melakukan semacam ritual kungkum, konon mereka mencari "wahyu" kepemimpinan yang diharapkan turun kepada mereka. Keyakinan semacam itu, mungkin berawal dengan konsep Satria Pinandita Sinisihan Wahyu yang dipahami sebatas pemahaman mereka.
Masyarakat Jawa, sebagian besar meyakini, bahwa untuk bisa mendapatkan wahyu kepemimpinan, seorang Satria Piningit harus melakukan ritual-ritual tertentu yang kadang terlihat tidak masuk akal, terutama jika dilihat dalam perspektif masyarakat modern. (Perihal wacana Satria Piningit, saya membuat riset untuk tesis saya, semoga suatu saat saya bisa membuatkan ulasan singkat hasil riset saya tersebut).
Baca juga: Andakah Satria Piningit Zaman Ini?
Hal "tidak masuk akal" sebagaimana disebutkan di atas lazim dinamai sebagai klenik, atau mistik. Sebenarnya, klenik atau mistik memiliki dua makna yang berbeda. Menurut KBBI, klenik dan mistik dimaknai sebagai berikut.
Klenik: kegiatan perdukunan (pengobatan dan sebagainya) dengan cara-cara yang sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh banyak orang.
Mistik: 1) subsistem yang ada dalam hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan; tasawuf; suluk; 2) hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa.
Meski berbeda, seringkali kedua kata tersebut digandengkan, karena praktiknya agak mirip-mirip. Kita harus sangat berhati-hati dalam mempersepsikan dua kegiatan tersebut. Kalau semata-mata bicara logika, kegiatan-kegiatan religius pun kadang dianggap tidak logis. Saya juga tidak mau terjebak pada pemahaman ala positivistik yang selalu menjadikan bukti inderawi sebagai pembenar. Sebagai seorang muslim, kegiatan ber-taqarrub ilallah, malam-malam menyendiri dan berdoa dengan khusyuk, barangkali mirip dengan mistik, mungkin dicibir oleh para penganut logika-positivisme. Prinsip saya, selama tujuannya untuk Allah dan caranya sesuai dengan ajaran Rasulullah, tentu itu diperbolehkan dalam Islam. Ajaran tapa brata yang biasa dilakukan oleh para raja-raja, dalam konteks Islam mungkin mirip dengan tahannuts yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di gua Hira. Semua tergantung pada bagaimana tata cara tapa brata itu, dan apakah tujuannya benar-benar untuk mendekat kepada Allah, atau memanggil arwah?
Ketika para pemimpin, yang mengaku beragama Islam, memakai cara-cara yang tidak dituntunkan oleh Islam dalam mencoba mendekat kepada Sang Pencipta, bahkan meminta pertolongan kepada selain-Nya dengan cara memanggil para jin untuk membantu proses suksesi kepemimpinan yang dijalani ... ya itu musyrik. Tapi saya tidak mau berdebat lebih jauh. Biarlah itu menjadi urusan masing-masing orang, dengan konsekuensinya masing-masing.
Sebenarnya, permasalahan mistik dan klenik sudah bukan hal baru di jagad perpolitikan kita. Di sebuah pantai di daerah Cilacap terdapat bukit yang menurut masyarakat sekitar, sering menjadi tempat bertapa para pejabat dan politisi. Pada saat ajang pemilihan kepala desa pun, selain perang ide saat kampanye, hal-hal yang berbau mistik dan klenik sangat sering dipraktekkan. Seorang kenalan yang pernah mencalonkan diri sebagai kepala desa di sebuah kabupaten di barat Jawa Tengah, mengaku pernah pada saat shalat malam mendadak terjengkang tanpa ada sebab apapun. Setelah itu, beliau mendadak merasakan sekujur tubuhnya terasa sangat lemas. Menurut beliau, dia sedang diserang oleh lawannya dalam Pilkades dengan kekuatan gaib. "Untung saya rajin shalat tahajud, jika tidak, mungkin saya mati saat itu," tutur kenalan saya itu kepada saya. Mungkin, Anda juga pernah mendapatkan cerita-cerita semacam itu, bahkan lebih menyeramkan dari salah satu contoh yang saya sebut di atas.
Mistik dan klenik ini,
tampaknya memang cukup mengakar subur di masyarakat kita. Masih ingatkah Anda
dengan kisah Sumanto beberapa tahun silam dari Purbalingga, yang menyantap
daging manusia demi mendapatkan ilmu hitam? Masa kecil saya pun tak lepas dari
pengalaman berinteraksi dengan masyarakat yang sangat meyakini permasalahan
tersebut.
Mistik dan Klenik Dalam Budaya Jawa
Yang cukup
menarik untuk dikaji adalah, bahwa sebagian besar pelaku kegiatan mistik dan
klenik itu justru berasal dari kaum muslimin, mayoritas penduduk di negeri ini.
Dalam ajaran keislaman yang menekankan pada keesaan dzat Tuhan baik Tuhan sebagai
pencipta, pemberi rezeki, pengatur alam semesta; maupun Tuhan sebagai
satu-satunya yang diibadahi, bergantung pada makhluk selain Tuhan adalah
perilaku yang sangat bertentangan. Bahkan menurut ulama, hal tersebut
bisa mengeluarkan pelaku dari agamanya. Selain itu, ajaran agama Islam juga
menekankan pentingnya kerja keras, ikhtiar, dan kemampuan untuk survive di samping doa. Ajaran-ajaran
yang terkesan sim-salabim tak dikenal
dalam agama tersebut.
Menurut Clifford
Geertz, dalam buku “Abangan, Santri,
Priyayi Dalam Masyarakat Jawa”, sejatinya masyarakat Jawa memang terbagi
dalam 3 golongan. Pada golongan abangan, praktik-praktik animisme dan dinamisme
masih sangat kuat melekat. Pada golongan santri, pelaksanaan ajaran agama
terlihat lebih murni. Sedangkan pada golongan priyayi, menurut Geertz cenderung
pada Hinduisme. Saat ini, mungkin pembagian ketiga golongan itu mungkin sudah
tak terlalu relevan, karena praktiknya kepriyayian sudah mulai memudar,
kalangan santri sudah mulai merasuk lintas golongan—karena adanya proses
dakwah, sedangkan abangan yang dalam buku Geertz lebih merupakan golongan para
petani di desa, kini sudah mulai memegang tampuk kekuasaan. Akan tetapi, jika
ingin dicermati, teori Geertz ternyata
masih bisa dijadikan sebagai bahan kajian.
Menurut Geertz,
sesungguhnya Jawa memiliki ‘agama’ sendiri yang dia sebut sebagai ‘agama Jawa’.
Islam, Hinduisme, dan tradisi animisme berbaur dalam satu sistem sosial,
membentuk sebuah sistem kepercayaan sendiri.
Tentu bukan
kapasitas saya untuk memberikan penilaian. Masalah keyakinan adalah hak paling
asasi. Hanya saja, di alam modern seperti sekarang ini, di tengah kompleksitas
kehidupan yang makin semerawut, sebenarnya kita membutuhkan sosok-sosok
memiliki sistem keyakinan yang mantap. Keyakinan, ibarat sebuah bangunan,
adalah pondasinya. Keyakinan akan memberi sugesti, motivasi yang luar biasa,
dan mental yang kuat. Tentu akan sulit membayangkan, jika para pemimpin yang
akan kita pilih, ternyata memiliki pondasi keyakinan yang tak mantap, karena
masih mencampuradukkan sesuatu yang menjadi dasar dalam kehidupannya.
Malas Kerja Keras?
Lebih mengerikan
lagi, jika praktik klenik dan mistik itu merupakan salah satu bentuk dari
frustasi dan kemalasan untuk melakukan
kerja keras. Saat masih mahasiswa dan tengah menempuh perjalanan pulang kampung Semarang-Purbalingga, di daerah Wonosobo, seorang pelajar SMA putra naik, dan duduk di samping saya. Kami pun terlibat dalam obrolan yang seru. Pelajar itu dengan bangga menceritakan, bahwa dia sudah bisa membaca kunci jawaban
soal-soal ujian dia dengan ilmu yang dia miliki.
Saya pun bertanya kepada pelajar tersebut, "Belajar ilmunya darimana, Dik?"
"Dari guru saya, Mbak."
Maksudnya, tentu guru dalam masalah 'kesaktian'. Saya tak terlalu heran. Memang banyak remaja sekarang yang mencoba-coba belajar ilmu gaib di luar pendidikan formal yang dia tempuh. Dulu, saat SMP, ada beberapa teman saya yang putra juga--konon belajar kekebalan. Entah mereka kebal betulan, saya tak pernah membuktikannya, hehe.
"Terus, kalau kamu sudah bisa membaca kunci jawabannya, berarti ujianmu selalu bagus nilainya, dong?"
"Iya, Mbak. Nilaiku bagus-bagus terus, padahal aku ndak pernah belajar."
"Dan... kamu puas? Puas dengan nilai-nilai yang kamu dapatkan tanpa bekerja keras?"
Pelajar SMA itu terdiam. Entah apa yang dia pikirkan. Mungkin dia terkejut dengan perkataan saya. Lepas dari apakah pelajar SMA
itu berkata benar atau hanya sedang berbohong, saya katakan kepada pelajar itu,
bahwa kenikmatan dalam hidup adalah ketika kita berhasil merasakan suka duka
dan melibas tantangan.
Dalam teorinya,
David McLelland, seorang Psikolog Sosial menyebutkan, bahwa manusia memiliki 3
jenis motivasi dalam melakukan sesuatu. Yang pertama, kebutuhan akan
berafiliasi atau tergabung dalam sebuah kelompok (need of affiliation). Orang-orang semacam ini merasa bahwa ketika
dia melakukan sesuatu adalah karena ingin mendapatkan banyak teman, atau
sebaliknya, takut kehilangan teman dan sebagainya. Saat orang ikut kampanye
sekadar untuk bersenang-senang dengan membleyer-bleyer motor, bisa jadi dia
orang dengan tipe kebutuhan jenis ini.
Kedua, kebutuhan
akan kekuasaan (need of power). Orang
semacam ini akan menjadikan kekuasaan, kemegahan, kehebatan dan sejenisnya
sebagai tujuan. Sangat senang ‘narsis’, terlihat ‘wow’ meski mungkin dalamnya
sebenarnya rapuh. Mereka mengabaikan cara, proses, dan lebih berorientasi pada
hasil, sehingga bagi mereka, cara itu tak penting.
Ketiga,
kebutuhan akan prestasi (need of
achievement). Inilah yang menurut McLelland sangat penting dimiliki oleh
setiap orang. Orang yang butuh berprestasi akan sangat menghargai proses,
menyenangi kerja keras, dan bahkan menjadi momen-momen menghadapi tantangan
sebagai momen terpenting dalam hidupnya. Mendapatkan prestasi bagi mereka bukan
permasalahan mendapatkan piala dan penghargaan, tetapi lebih bahwa dia
mendapatkan pengakuan atas hasil kerja kerasnya.
Nah, sekarang
kita bisa mengakar. Apakah orang-orang yang mengambil jalan pintas dengan
perdukunan itu merupakan orang yang menghargai proses dan menyenangi bergulat
dalam sebuah kerja keras yang membutuhkan strategi, kepintaran dan kreativitas?
Bagi seorang pemimpin, mari kita coba diskusikan lagi perihal wahyu tersebut. Zaman dahulu, mungkin wahyu identik dengan sesuatu yang turun begitu saja dari langit. Zaman sekarang, wahyu adalah legitimasi yang muncul karena kapasitas dan kapabilitas kita. Jika kita memiliki hal tersebut, maka orang akan yakin dengan kemampuan kita, lalu memilih kita. Bukankah begitu?
12 komentar untuk "Mistik dan Klenik Dalam Jagad Politik"
Praktik yang susah hilang ya ....
Kayak nyisirin kulit.
Lapisan epidermis keyakinan muslim di Jawa terdiri dari Islam sekedarnya, klenik sepuasnya dan mistik selamanya. Duh, jadi inget ali imran ayat 8
Rabbana laa tuzigh quluubanaa ba'da idzhadaitana wa hablanaa minladunka rohmah. Innaka antal wahhaab
Tauhid. Syusyeeeh ye bok. Bahkan sebenernya pas turun hujan dan kita ngedumel, itu udah bisa dibilang gak percaya sama ketetapan Allah bahwa Allah udah ngitung gimana-gimananya kalo hujan diturunkan saat itu. Dan hitungan Allah selalu tentang kasih-sayangnya pada manusia.
Yaitu deh. Tauhid.
(Ini komen macam apa pulak, ya? Sepertinya saya ngaco begini karena lapar~)
*lalu pergi makan*
*Bagi makannya dong...
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!