Ijazah vs Ijabsyah
Saya tertarik menulis tema ini, karena teringat dengan guyonan seorang teman, dokter perempuan, kepada saya beberapa waktu yang lalu. Bu Dokter itu melemparkan tebak-tebakan kepada saya. "Apa bedanya saya dengan Mbak Afra?" tanyanya.
Belum sempat saya menjawab, beliau sudah langsung berkata. "Bedanya, saya menjadi bu dokter karena ijasah, sedangkan Mbak Afra menjadi bu dokter karena ijabsah."
Yak, tentunya kita sama-sama maklum. Ijabsah itu maksudnya pernikahan. Ya, saya dipanggil bu dokter, karena saya ditakdirkan menikah dengan seorang dokter. Karena suami dipanggil pak dokter, dengan sendirinya, saya pun menyandang nama bu dokter. Padahal, seumur hidup, saya sama sekali belum pernah belajar di sekolah kedokteran. Sekalinya belajar medis, pas SD dahulu, ketika mengikuti program dokter kecil. Kalaupun saya berhak menyandang nama, mestinya bu dokter kecil. Karena saya benar-benar punya sertifikat. Tetapi, itu pun keliru. Karena setelah saya besar, dengan sendirinya, panggilan itu pun semestinya lekang secara otomatis.
Hal semacam itu sangat lazim terjadi di negeri kita. Dan terkadang, penisbatan nama itu justru disandang dengan bangga. Bahkan, ada beberapa perkumpulan yang dengan 'sengaja' menggunakan profesi suami. Misalnya Ikatan Istri D***r Indonesia. Atau Ikatan Istri In***** Indonesia. Kalau semacam Darma Wanita, mungkin masih dimengerti, ya. Meskipun keanggotaannya juga terjadi karena faktor profesi suami, toh nama profesi suami tidak ikut-ikutan dicantumkan.
Saya 100 persen yakin. Nama profesi suami diikut-ikutkan dalam membentuk organisasi para istri, karena profesi itu mentereng. Coba, jika profesinya adalah sesuatu yang 'relatif' tidak dipandang. Saya sebut 'relatif' karena semua profesi itu sebenarnya bagus, asal dijalankan dengan optimal. Hanya, memang masyarakat memiliki sudut pandang sesuai dengan sosio-kultur yang berlaku di masyarakat tersebut. Maka, jika profesi tukang becak, misalnya, secara psikologis dan sosio kultural dianggap tidak mentereng, saya kira, para istri pasti tidak akan mau membentuk semacam Ikatan Istri 'tukang becak' Indonesia.
Maaf ya, para penarik becak, saya tidak sedang mengolok-olok Anda. Jika ada kesalahan dari kata-kata saya, mohon dimaafkan.
Kok saya jadi ekstrim begitu ya? Sebagai penulis buku "And The Star is Me" saya sudah berkali-kali berteriak-teriak, "Be Your Self!" Jadilah dirimu sendiri. Jangan mau hidup dalam bayang-bayang orang lain, meskipun orang itu adalah suami kita sendiri. Ketika kita kemudian bersinar, maka pastikan, sinar itu berasal dari diri kita sendiri. Kita menjadi matahari, bukan bulan. Matahari bersinar dengan sinar yang memang milik ia sendiri. Sementara bulan, ia mejeng di malam hari karena sinar dari matahari. Begitu siang datang, bulan yang kesiangan akan terlihat pucat. Demikian juga kita. Jika kita senantiasa mengandalkan sesuatu yang itu bukan milik kita, saat ia hilang, kita sungguh akan terkulai tanpa daya.
Pernah menonton salah satu episode Bernard Bear? Yakni episode Ice Climbing? Saat itu, Bernard mendaki gunung es dengan kapak es. Di tengah jalan, kapaknya itu terjatuh. Bernard bingung luar biasa. Untungnya, Bernard cepat mendapatkan solusi. Ia berhasil menjadikan kuku-kukunya sebagai pengganti kapak es. Dan, ia pun berhasil mencapai puncak.
Anda anak orang kaya? Jangan merasa kaya, sebab semua fasilitas itu milik orangtua. Anda istri orang beken? Jangan merasa beken, sebab yang terkenal itu suami Anda. Daripada sibuk menikmati menjadi bayang-bayang orang lain, marilah kita mulai menemukan, siapa diri kita ini? Apa sebenarnya potensi kita? Dan mari kita asah potensi kita itu untuk kita optimalkan demi kebaikan kita dan masyarakat.
Kembali ke kasus ijasah vs ijabsah tadi. Tentu, karena itu hanya gurauan, saya tidak marah, bahkan tertawa geli. Namun, ketika ada orang yang memanggil saya dengan panggilan 'Bu Dokter' sebisa mungkin saya akan meralat. "Maaf, saya bukan dokter, saya tidak bisa mengobati penyakit apapun."
"Lha, panjenengan kan istrinya Pak Dokter," orang tersebut bersikeras.
"Iya, tetapi saya menikah dengan Pak Ahmad, bukan dengan Pak Dokter. Dokter itu profesi, jadi tidak punya istri."
"Jadi, saya harus memanggil apa?"
"Bu Yeni*. Karena itu nama saya," ujar saya.
Orang itu manggut-manggut. Meski bingung. Mungkin, ia pikir saya ini aneh.
Yah, tugas kita sebagai manusia itu memang berat. Namun, yang lebih berat lagi, adalah tugas menjadi diri sendiri. Wallahu a'lam.
Ket: *) Yeni adalah nama asli saya.
5 komentar untuk "Ijazah vs Ijabsyah"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!