Catatan Haji #1: Sepenggal Kenangan di Embarkasi Donohudan



Sungguh sebuah keberuntungan besar bagi kami. Alhamdulillah, pada musim haji 2018, saya dan suami mendapat jatah pergi ke tanah suci setelah menunggu sekitar 7 tahun. Kok cuma 7 tahun? Kami mendaftar haji reguler tahun 2011. Saat itu, antre belum sepanjang saat ini yang bisa mencapai 20-30 tahun. Beberapa daerah yang merupakan basis umat Islam dari kalangan pesantren, seperti Jawa Timur bahkan lebih dari itu. Antrean yang lama ini tentu meresahkan. Tetapi, bagaimana lagi, kapasitas di Tanah Suci untuk menampung para tamu-tamu Allah memang terbatas. Sementara, jumlah pemeluk agama Islam di seluruh negara di dunia, semakin hari semakin naik pesat. Kehidupan perekonomian juga semakin membaik. Semoga ada solusi, ya....

Sepanjang penantian, saya sempat deg-degan karena tahun 2015, saya hamil anak ke-4 (Fatihan). Saya khawatir, sibuk berpikir, gimana ya kalau pas giliran haji turun, ternyata anak saya masih terlalu kecil? Fatihan lahir pada 9 Desember 2015. Saat  "undangan" menjadi duyufurrahman hadir, Fatihan sudah berusia lebih dari 2 tahun, jelang 3 tahun. Alhamdulillah, sukses disapih, dan sudah cukup mandiri. Rasanya sungguh nggak tega juga sih, ninggalinnya.

Saya sibuk meneguhkan hati. Juga mengondisikan segala sesuatunya.

"Han, Umi dan Abi pergi haji, ya?" begitu kami mencoba mengondisikan Ihan, nama panggilannya, sesering mungkin. Dan jawaban Ihan selalu sama,  "aku ikuuut naik pesawat..." rasanya baper. Tapi, bismillah, insyaAllah saya siap berangkat!

28 Juli 2018, dini hari, sebelum subuh, saya merasa lega, karena Fatihan masih tertidur pulas saat saya bersiap berangkat untuk berkumpul di Gedung KBIH Aisyiah. Saya dan suami mengikuti Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dari Aisyiah, Muhammadiyah. Sebelum pelepasan jamaah haji tingkat kota di balai kota Solo, kami diminta berkumpul sebelum subuh di Gedung Aisyiah.

"Selamat tinggal, Ihanku...," bisik saya sambil menahan sesak di dada. Kuhapus air mata sambil terus mencoba menguatkan hati. Bagaimanapun, paling berat adalah meninggalkan si bungsu yang saban hari saya peluk saat tidur.

Saya pun beranjak ke kamar Rama dan Ifan. Mereka ternyata sudah bangun. "Umi berangkat ya, Nak...."

Kepada Anis yang mondok di Ponpes Ibbas, saya sudah pamitan sebelumnya lewat telepon.
Dua buah mobil meluncur ke Gedung Aisyiah. Yang ikut mengantar ada ibu mertua, ibu, keluarga Mas Anggoro dan keluarga Mas Haryadi, serta perwakilan jamaah masjid kami. Tak banyak perbekalan yang dibawa, karena kopor besar sudah diambil oleh petugas KBIH beberapa hari sebelumnya. Jadi, kami hanya membawa tas tenteng berisi perlengkapan seperlunya saja.

* * *

Di Gedung Aisyiah, 135 jamaah sudah bersiap-siap. Keluarga hanya boleh melepas hingga gerbang. Saya lihat banyak yang menangis tersedu-sedu saat berpisah. Ya, maklum sih, kan 40 hari akan terbang ke sebuah tempat yang berjarak beribu-ribu kilometer, menempuh sekitar 10 jam penerbangan. Meski saya sudah terbiasa bepergian, belum pernah saya pergi selama ini meninggalkan keluarga.

Kami shalat subuh berjamaah di masjid gedung Aisyiah, lalu sarapan. Tas tenteng pun dikelola petugas, sehingga kami hanya membawa tas paspor yang kecil dan nyaman. Tak terlalu direpotkan oleh barang bawaan.

Karena lapar, sarapan yang cukup lezat pun ludes. Ya, harus banyak makan, karena kabarnya persiapan karantina di  Embarksi Donohuhan cukup melelahkan. Terlebih, jelang keberangkatan, banyak sekali agenda pamitan yang cukup menguras energi. Belum lagi persiapan ini dan itu yang cukup memakan pikiran. Rasanya memang sedikit tertekan...

Dengan bus, kami diangkut di balai kota. Jamaah Kloter SOC 39 berjumlah 360 orang, terdiri dari 135 orang jamaah KBIH Aisyiah, sisanya dari KBIH Mandiri, Amal Syuhada, LDII, petugas haji dan beberapa calhaj non KBIH. Kami duduk memenuhi Pendapi Ageng. Wah, ternyata di balai kota, kami juga mendapat snack satu kotak besar dan box makan pagi. Duh, gimana ya, cara menghabiskannya? Akhirnya, saya masukkan snack dan box sarapan di dalam plastik. Mungkin nanti di Donohudan ada kesempatan menyantapnya (padahal, di sana juga makanan terus mengalir, hehe)/

Jam 8 pagi, pelepasan jamaah calhaj SOC 39 dilakukan oleh wakil wali kota. Tahun ini, jamaah haji asal kota solo terbagi dalam 3 kloter. Tapi yang 100% berisi jamaah dari Solo hanya Kloter 39. Kloter 38 jika tak salah bergabung dengan calhaj dari Purworejo. Sedangkan kloter 40 gabung dengan Karanganyar.

Di Embarkasi Donuhudan

Sekitar 1 jam acara berlangsung, dan usai itu, kami kembali naik bus dan dibawa ke embarkasi Donohudan. Sebenarnya lokasi Donohudan malah lebih dekat ke rumah saya, ketimbang dari KBIH atau Balai Kota. Tapi, ya kan namanya prosedur hehe...

Asrama Haji Donohudan menampung semua jamaah dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kode kami menggunakan kode bandara Adi Sumarmo, yaitu SOC.

Sampai di Donuhudan, kesabaran level pertama harus diuji. 360 orang melakukan pemeriksaan kesehatan untuk kesekian kali, dipanggil satu-satu. Khusus pasangan subur seperti saya, tambah cek urine, memastikan apakah sedang dalam keadaan hamil atau tidak.

Usai pemeriksaan kesehatan, kami mendapat jatah 1 botol spray, satu box masker, krim kulit, oralit dan sebagainya. Saya nyengir, karena selain tas sudah sangat full, barang-barang itu sebenarnya saya juga sudah bawa. Sebelum ini, saya searching berbagai kebutuhan haji di internet, dan barang-barang itu sudah memenuhi kopor. Tetapi, dengan sedikit susah payah, akhirnya saya berhasil juga mempacking barang-barang tersebut di tas tenteng yang kami bawa. Ada manfaatnya juga sering traveling, terbiasa packing hehe..., memanfaatkan semaksimal mungkin celah-celah di tas-tas yang kami bawa. Saya lihat, ibu-ibu lain banyak yang bingung dan terpaksa membongkar berkali-kali barang bawaannya. 

Botol spray penting untuk diisi air dan disemprotkan ke wajah untuk mengatasi kelembapan udara di Arab Saudi yang sangat rendah. Masker tak kalah penting, selain melindungi wajah dari sengatan matahari, juga untuk meminimalisir risiko terserang virus. Sangat masuk akal, di tanah suci, sekitar 4 juta jamaah haji berkumpul dari seluruh dunia. Dalam kerumunan begitu banyak orang, sangat mungkin terjadi persebaran kuman, khususnya kuman seperti virus influenza.

Ini lho, penjelasan tentang MERS-Cov

Apalagi, ada satu penyakit khas Timur Tengah yang disebut dengan MERS Cov (Middle East Respiration Syndrome Coronavirus) alias flu unta. Nyatanya, saat disiplin menggunakan masker, dengan izin Allah, saya relatif sehat. Ya sempat juga sih kena batuk pilek, tetapi Allah memberikan kesembuhan dengan lumayan cepat.

Usai pemeriksaan kesehatan, kami istirahat di kamar sebentar. Saya sempat kaget melihat kondisi kamar yang jauh lebih bagus dibanding tahun 2009. Saat itu, FLP menyelenggarakan Munas 2 di Solo, lokasinya di Donohudan ini, saya saat itu ketua panitia. Pada saat itu, satu kamar berisi sekitar 30-40 orang, dengan tempat tidur bertingkat,  tanpa AC.  Hanya ada kipas angin. Ternyata, saat ini satu kamar hanya berisi sekitar 10 orang, pakai AC dan ada 2 toilet.  Alhamdulillah, fasilitas sudah semakin bagus.

Jamaah SOC 39 dengan tas tenteng masing-masing (kopor sudah diangkut sebelumnya)

Oya, setelah pemeriksaan kesehatan, saya sempat bertemu dengan dua anak muda hebat, yaitu Riyono dan Hadi Santoso. Mereka adik kelas saya (beda fakultas) di Undip. Sama-sama aktif di Rohis Undip. Meski masih muda, keduanya adalah politikus-politikus keren, mereka merupakan anggota legislatif alias anggota DPRD provinsi Jateng. Ternyata mereka bertugas sebagai pemantau haji dari provinsi Jateng. Tetapi, saat itu kami berbeda kloter.

Sampai di kamar, sempat istirahat sejenak, tapi tak bisa pejam mata. Salah satu anggota regu saya tensi darahnya naik hingga 180. Satunya mengeluh drop. Keduanya diperiksa dokter, ternyata kecapekan dan mungkin tegang, alias nervous. Memang, jelang keberangkatan, banyak jamaah haji ngedrop. Bahkan, ada jamaah yang harus dirawat di rumah sakit, dan akhirnya ikut kloter berikutnya.

Jelang asyar, kami kembali dikumpulkan untuk menerima paspor dan living cost. Alhamdulillah kami dapat living cost sebesar SAR 1,500. Satu SAR atau Saudi Arabian Riyal, kursnya sekitar Rp 4.000,- tapi, jangan salah, karena jamaah Indonesia melakukan jenis haji tamattu' maka kami harus membayar dam sebesar SAR 450, adapun sisanya untuk biaya hidup sehari-hari.

InsyaAllah lebih, dan bisa buat beli oleh-oleh, karena ternyata jamaah haji, mulai tahun ini mendapat jatah makan sehari dua kali. Prakteknya, ternyata ya, kurang juga sih, hehe... apalagi biaya hidup di Arab lumayan tinggi. Untungnya kami membawa sedikit persediaan Saudi Arabia Riyal selain living cost tersebut.

Usai shalat Isya, kami diberi kesempatan istirahat, namun hampir semua jamaah haji tak mampu memejamkan mata. Soalnya, jam 11 malam kami sudah diminta untuk bangun lagi, dapat jatah makan malam, lalu persiapan pemeriksaan biometri. Mulai tahun ini, untuk mengurangi antrean yang padat di Bandara Arab Saudi, pengambilan foto dan sidik jari dilakukan di Indonesia. Alhamdulillah, sebab kabarnya, petugas biometri di bandara Saudi galak-galak. Hm, mungkin tidak galak, cuma kulturnya memang begitu.

Suasana dalam pesawat

Pemeriksaan dilakukan satu per satu, dan kembali antre. Sekitar jam 3 malam selesai, dan kami diangkut dengan bus menuju bandara Adi Sumarmo. Memasuki dengan antre pesawat Garuda yang akan membawa kami menuju Madinah. Sebagai jamaah haji gelombang satu, kami menuju Madinah dahulu selama sekitar 9 hari, baru kemudian ke Mekah.

Jam setengah lima, pesawat take off, mata kami terpejam, berdoa dengan khusyuk.

Terbuka kembali setelah terdengar adzan. Shalat subuh dilakukan di atas pesawat, setelah pesawat terbang dengan stabil. Dengan diimami ketua kloter SOC 39, Ustadz Tri Bimo Suwarno, Lc, M.Sc, inilah shalat subuh yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya.


1 komentar untuk "Catatan Haji #1: Sepenggal Kenangan di Embarkasi Donohudan"

Comment Author Avatar
Jadi ingat.. Aku blm suntik yang flu..
Semoga bisa segra meluncur k dinkes..

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!