HARMONISASI BURUH-PENGUSAHA, MUNGKINKAH?

Oleh Afifah Afra

Bentrok antara buruh dengan atasannya begitu seringi terjadi di bumi pertiwi. Ingatan kita masih sangat segar dengan peristiwa yang terjadi di kawasan yang beberapa dasawarsa terakhir tengah menggeliat roda industrialisasinya, Batam. Di Galangan Kapal PT Drydocks World Graha, Kamis (22/4/2010), seorang pekerja pribumi dihina oleh supervisornya yang berkebangsaan India. Tak terima, sang pekerja pun menyarangkan bogem mentah dan tebasan besi ke tubuh atasannya itu. Kerusuhan berisukan SARA pun meletus. Dilaporkan 38 mobil hangus dibakar dan setidaknya 9 orang menjadi korban.


Sepintas, isu SARA seperti menjadi tertuduh utama dalam kasus tersebut. Namun, jika kita telisik lebih jauh, sebenarnya ada ‘tertuduh lain’ yaitu tidak harmonisnya hubungan antara buruh (pekerja) dengan perusahaan. Hubungan industrial yang timpang itu antara lain dibuktikan dengan indikasi pembayaran upah di bawah UMK, berbagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen kepada buruhnya, seperti pengurangan jam kerja, serta diskriminasi antara pekerja asing dengan pekerja pribumi.

Hubungan industrial yang disharmoni memang bukan isu baru, bahkan telah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Pada 1 Mei 1886, dipicu upah yang sangat minimal, disiplin yang over, jam kerja yang tak jelas serta buruknya kondisi pabrik, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei. Polisi menembaki demonstran hingga ratusan menjadi korban. Dan hingga sekarang, para buruh memperingatinya sebagai May Day. Hingga kini, berita ‘perseteruan’ antara buruh vs pengusaha masih begitu sering muncul di media-media kita.

Sistem Ekonomi Kapitalisme
Bagaimanapun, sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia, cenderung mendekati sistem kapitalisme, meskipun pendiri negara kita, salah satunya Drs. Muhammad Hatta mengatakan bahwa sokoguru perekonomian kita ada koperasi (ekonomi kerakyatan). Menurut Simon Tormey, kita dapat dikatakan hidup dalam sistem kapitalisme jika terkandung ciri-ciri: kepemilikan pribadi (modal) atas alat-alat produksi seperti tanah, pabrik dan bisnis; tenaga kerja / buruh upahan; adanya produksi/ jasa untuk meraih laba dengan sistem pertukaran pasar. Jadi, mekanisme pertukaran pasar menjadi arah penentu kebijakan yang diambil oleh perusahaan agar modal yang ditanamkan bisa berkembang menghasilkan provit. Pada sistem ini, berlaku prinsip ekonomi, yaitu pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya.

Sebagaimana kita tahu, dalam sebuah industri, terdapat faktor-faktor produksi, di antaranya adalah modal, tenaga kerja dan sumber daya lainnya seperti bahan baku, gedung, mesin, peralatan dan sebagainya. Adalah jamak jika sebuah industri mengalami pasang-surut. Bahkan dalam keadaan pasang pun, karena motif paling utama dari sebuah industri adalah provit, pasti ada kecenderungan untuk menekan biaya serendah-rendahnya, sehingga bisa menghasilkan provit sebanyak-banyaknya. Apatah lagi jika iklim industri lesu, seperti saat ini. Pada sebuah negara dengan tingkat pengangguran sangat tinggi seperti Indonesia, hal yang paling bisa ditekan untuk efisiensi biaya, adalah upah buruh.

Penulis sering mengamati, bahwa pengusaha seringkali harus berhutang ke sana-kemari hanya untuk membangun sebuah gedung yang megah, atau membeli mesin-mesin baru yang lebih canggih. Namun ketika terjadi permasalahan dengan tenaga kerja, seringkali tindakan yang dilakukan adalah rasionalisasi alias PHK, atau paling minimal pengurangan upah buruh. Bahwa buruh menjadi salah satu faktor produksi yang penting, hal tersebut seringkali tidak menjadi pertimbangan. “Kalau Anda tidak mau mengikuti sistem penggajian di sini, silahkan keluar! Masih banyak para pengangguran yang antri pekerjaan di luar sana!” Ucapan ini tidak fiktif, karena benar-benar pernah terlontar dari mulut seorang pengusaha di Solo ketika menghadapi protes karyawannya akibat upah yang dibayarkan masih di bawah UMK.

Kesenjangan Ekonomi

Jika di satu sisi, para buruh yang notabene tidak memiliki kompetensi memadai dalam dunia industri, maka di sisi yang berseberangan, kita mendapatkan fakta bahwa ada segolongan kecil ‘makhluk elit’ yang mendapatkan penghasilan luar biasa karena ‘konon’ memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Misalnya, penghasilan seorang dokter spesialis satu bulannya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Sementara, gaji seorang buruh di kota Solo, rata-rata hanya berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000/ bulan. Memang betul, bahwa seorang dokter spesialis harus bersekolah sekian tahun, dan harus mengeluarkan banyak biaya untuk mendapatkan ilmunya, tetapi, apakah perbedaan penghasilan yang begitu tajam tidak akan menciptakan jurang perbedaan yang begitu dalam? Demikian juga, kita sering melihat bahwa para pengusaha pun memiliki kekayaan yang luar biasa dan mengobral kekayaan tersebut untuk hidup jauh di atas garis kewajaran.

Tidak adakah regulasi dalam masalah itu?
Tentu tidak, jika jawabnya: semua diserahkan ke pasar. Artis, konsultan, manajer, dokter spesialis, lawyer, jumlahnya kecil, sementara permintaan begitu tinggi, maka dengan sendirinya honor mereka pun menyesuaikan. Sementara, stok tenaga buruh melimpah ruah, sedangkan lapangan pekerjaan terbatas, maka gaji mereka pun akan menyesuaikan.

Chaos
Lalu, apakah masalah yang bisa timbul dengan hal ini? Yang paling jelas adalah kecemburuan sosial yang kemudian tindakan ekstrem. Dalam konsep dialektika versi filsuf Hegel, proses menuju keseimbangan (sintesis), adalah perbenturan antara thesa dengan antithesa. Dalam kiasan yang sederhana, agar air menjadi hangat, maka jika ada air dingin, harus disiram dengan air panas.

Kapitalisme, sebagai satu kutub ekonomi, memiliki kutub yang berlawanan, yaitu sosialisme atau yang lebih ekstrim adalah komunisme. Pada titik kejenuhan yang sangat, para buruh yang ‘muak’ dengan sistem manajemen perusahaan yang ‘hanya’ kapitalis, akan sangat mudah diradikalisasi dengan isu dikotomisasi kaum proletar (buruh) dengan kaum borjuis (pengusaha). Jika dikotomisasi itu semakin meruncing, maka muncullah chaos—yang bagi para penggagas komunisme, adalah salah satu dari tahapan revolusi menuju sistem yang ‘seimbang’.

Betulkah demikian? Penulis meyakini, bahwa sistem komunisme, di mana semua orang mendapatkan ‘jatah’ yang sama, tak ada kepemilikan pribadi serta adanya komando yang kuat dari negara dalam proses distribusi, sama tidak idealnya dengan sistem kapitalisme di mana ada proses ‘seleksi alam’ yang begitu ‘liar’, sehingga aset yang penting pun bisa dikuasai oleh pribadi yang kuat, dan peran negara sama sekali tak dominan dalam proses distribusi. Lantas, apa sebenarnya yang harus dilakukan agar chaos tidak sampai terjadi?

Ada beberapa saran dari penulis sebagai berikut.

Pertama, provit tentu penting, tetapi tidak menjadi satu-satunya tujuan. Bahkan seorang Matsushita pun memiliki motto “Life is not only for a bread.” Bagi Matsushita, motif berbisnis bukan just for money, lebih dari itu, ada satu visi besar yang diembannya, yaitu terbentuknya entitas bisnis yang profesional, disiplin dan mengangkat harkat seluruh stake holder setinggi-tingginya. Maka, grup Matsushita (salah satunya adalah Panasonic), berkembang menjadi perusahaan yang kuat, dengan etos kerja karyawan yang sangat baik dan berdisiplin tinggi. Seorang pengusaha yang religius, pastinya lebih memahami, bahwa bagi seorang muslim, yang terpenting dalam melakukan suatu hal—termasuk berbisnis—adalah ibadah. Kalaupun bisnis itu berkembang, tetap dalam nuansa barokah.

Kedua, bagi para pengusaha, jangan posisikan SDM seperti faktor produksi lainnya, seperti mesin ataupun bahan baku. Manusia adalah sosok yang memiliki hati, emosi dan pikiran. Maka, perlakukan mereka sebagaimana kita memperlakukan manusia. Bangunlah komunikasi yang baik, sering-seringlah berdialog dan bangunlah empati kepada mereka. Penulis yakin, jika komunikasi berjalan dengan baik dan humanis, ketika perusahaan dalam keadaan kritis pun, para karyawan pasti akan bisa memahami, dan justru akan memberikan berbagai masukan untuk kemajuan perusahaan. Pada kenyataannya, seringkali penulis mendapatkan fakta, bahkan pengusaha memperlakukan SDM di bawah standar mereka memperlakukan mesin. Mesin rusak sedikit, pengusaha langsung memperbaiki, meskipun biaya mahal, namun SDM jatuh sakit dibiarkan begitu saja.

Ketiga, kembangkan potensi dan kemampuan berinovasi SDM. Menurut penggagas konsep multiple intelligences, Howard Gardner, sesungguhnya semua manusia itu memiliki tipe kecerdasan masing-masing, yang akan berkembang jika terus menerus diasah. Ada ratusan milyar sel otak yang bisa mengambil, merekam, menganalisis dan mengeluarkan kembali informasi-informasi yang ada di sekitar mereka. Perusahaan yang rajin melakukan in house training untuk karyawan-karyawannya, mengirim pekerja-pekerjanya ke berbagai seminar dan training, baik training motivasi maupun teknis pekerjaan, pastilah akan jauh lebih maju dibanding perusahaan yang menganggap karyawan tak lebih mesin belaka. Dedikasi, bahkan kebanggaan karyawan kepada perusahaan juga akan terbentuk dengan sendirinya.
Keempat, berikan punnisment and reward yang wajar kepada SDM. Seorang pekerja di sebuah PT di Solo pernah mengeluh kepada penulis, karena selama 3 tahun dia bekerja di perusahaan tersebut, dia tak mengalami kenaikan gaji. Di PT tersebut, siapa yang rajin, siapa yang suka bolos, siapa yang bekerja keras dan siapa yang malas-malasan, semua mendapatkan perlakuan yang sama.

Kelima, khusus kepada para pekerja, cobalah meng-up-grade kemampuan yang dimiliki, baik itu kemampuan teknis pekerjaan, maupun professional attitude-nya. Pekerja yang professional, pastilah memiliki bargaining position yang lebih tinggi dibanding pekerja yang hanya menjual jasa ‘tenaga kasar’ belaka.

Keenam, untuk pemerintah, jangan lepaskan sepenuhnya mekanisme pada pasar, tetapi berpegang teguhlah kepada konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang telah digagas oleh para pendiri negara ini. Saat ini, ada kecenderungan para pengusaha mulai terjun ke dunia birokrasi dengan mencalonkan diri sebagai bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden. Kalaupun terpilih, penulis berharap mainstream sebagai manajer perusahaan dirubah, dan benar-benar menjadi seorang pemimpin sejati. Jika manajer perusahaan memikirkan bagaimana target-target perusahaan (yang sudah pasti berorientasi pada provit) bisa berjalan, maka pemimpin sejati akan memikirkan, bagaimana caranya agar seluruh rakyatnya hidup sejahtera dengan konsep keadilan yang sebenar-benarnya.
Wallahu a’lam.

Posting Komentar untuk "HARMONISASI BURUH-PENGUSAHA, MUNGKINKAH?"