Jangan Biarkan Dia Membunuh Anak-Anakmu!


Clear Lake City, Texas, 20 Juni 2001... Rusty Yates tersentak kaget melihat pemandangan di depan rumahnya. Ambulance, kerumunan orang-orang, polisi. Dan Andrea yang diborgol dan digelandang aparat. Tubuh lelaki berputra lima itu bergetar dahsyat ketika akhirnya menyadari apa yang terjadi. 

Kelima anaknya meninggal karena dibunuh. Noah (7 tahun), John (5 tahun), Paul (3 tahun), Luke (2 tahun) dan Mary (6 bulan), semua meninggal karena ditenggelamkan dalam bath tube. Bukan oleh siapa-siapa. Ibunya sendiri yang membunuhnya. Andrea Yates! Menurut diagnosis, Andrea mengalami depresi. Gangguan jiwa.

Kisah mengiris hati ini telah menjadi salah satu bencana terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Saya masih ingat, ketika kasus ini merebak, saya sempat mengumpulkan beberapa kliping surat kabar yang memuat kasus Andrea. Bahkan sebuah konsep novel yang terinspirasi dari kisah ini sudah saya siapkan. Tetapi, sampai sekarang saya tak sanggup menyelesaikannya... saya cukup menatap dengan perih sampul buku “Luka Cinta Andrea” karya Suzanne O’Malley yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Qanita.

Awalnya, saya menduga kisah keluarga Yates ini akan menjadi kisah “eksklusif” yang terjadi dalam hitungan beberapa abad sekali. Namun, saya salah menduga. Karena takut tak bisa memberikan kebahagiaan kepada anak-anaknya, pada tahun 2006, Anik Qoriyah Sriwijaya, seorang ibu terpelajar, lulusan salah satu kampus terbaik di negeri ini, ITB, tega membunuh ketiga buah hatinya yang masih bocah. Kejadian tersebut terjadi di kota Bandung, dan mampu membuat masyarakat di negeri ini tersentak. Lagi-lagi, Anik didiagnosis mengalami gangguan jiwa.

Kejadian pembunuhan anak-anak yang dilakukan para ibu kembali mengemuka akhir-akhir ini, setelah beberapa hari yang lalu, 2 oktober 2016, Muthmainnah tega membunuh dan memutilasi bayinya sendiri. Lalu, saya penasaran untuk melakukan searching di Google dengan keyword “Ibu Membunuh Anaknya”, dan saya menemukan 447.000 hasil dalam waktu hanya 0,28 detik.

STOP! Saya tidak tega dan tidak kuat melanjutkan tulisan ini (hapus air mata).

Tapi, saya harus kuat. HARUS KUAT. 

Ketika membaca kasus demi kasus tersebut, mau tidak mau saya teringat dengan empat anak saya, Anis (12 tahun), Rama (10 tahun), Ifan (6 tahun) dan si bungsu, Ihan (10 bulan). Mereka adalah buah hati saya. Sehari tak bertemu saja, misal karena saya harus pergi ke luar kota, rasa kangen begitu sulit dibendung. Bagi saya, keluarga adalah nomor satu. Saya tak akan mau berpisah lebih dari 3 hari untuk kepentingan apapun, kecuali yang sangat mendesak. Dan sejauh ini, rekor saya meninggalkan keluarga terlama baru sekitar 4 hari. Biasanya karena pergi ke luar Jawa, yang memang membutuhkan waktu lebih panjang karena harus transit saat melakukan penerbangan.

Rasa letih setelah seharian bekerja, bisa langsung lenyap begitu melihat tatapan penuh rindu si kecil. Celotehan mereka, komentar-komentar lugu, teriakan-teriakan merdu, juga wajah tanpa dosa khususnya saat mereka lelap, adalah pemandangan yang mampu membuat jiwa ini lumer dan mencair, lalu menyublim menjadi hawa rahmah yang terasa hangat di sanubari.

Jadi, bagaimana mungkin ada ibu yang begitu tega membunuh anak-anaknya sendiri? Karena kebencian? Karena depresi, atau sebuah gejala yang paling sering dialamatkan kepada mereka: postpartum depression?

Sekitar tahun 400 SM, Hippocrates, yang sering disebut-sebut sebagai “bapak kedokteran”, telah mengungkapkan bahwa ada sejenis penyakit mental yang disebut dengan postpartum deppresion, yang menimpa kaum ibu pasca melahirkan. “Pregnancy, miscarriage or pregnancy loss, infertility, and the postpartum period challenge a woman’s mental health”, begitu kutipan yang saya ambil dari http://www.naprotechnology.com/depression.htm. Sehingga “up to 32 percent of women may alter their future childbearing plans by resorting to either adoption, sterilization or abortion.”

Kehamilan, keguguran, ketidaksuburan, dan juga kelahiran memang sebuah tantangan besar bagi kesehatan mental kaum perempuan. Saya sendiri mengalami kehamilan dan melahirkan selama empat kali. Alhamdulillah, semua itu berjalan dengan lancar, happy dan selalu menjadi nikmat yang terus saya syukuri hingga saat ini. Saya masih saja ingat saat-saat bayi saya lahir dari rahim, lalu terdengar suara tangisannya yang merdu, dan hangat serta lembutnya kulit mereka saat diletakkan di atas dada saya untuk inisiasi menyusui dini. Masa-masa itu adalah periode terindah dalam hidup saya. Bagaimana tidak? Saya telah menempuh jihad yang lazim dilakukan kaum perempuan.

Akan tetapi, di luar sana, saya melihat ada sebagian sesama perempuan yang tidak seberuntung saya. Ada yang kesulitan mendapatkan keturunan, ada yang mudah berketurunan tetapi tidak mendapat support yang memadai dari orang-orang terdekatnya, ada juga yang entah alasan apa, merasa terganggu mentalnya saat mulai merasakan menjadi seorang ibu: hamil, melahirkan dan disibukkan dengan anak-anaknya.

Postpartum deppresion ini sering juga disebut sebagai post partum blues atau baby blues, yang didefinisikan sebagai depresi pasca persalinan, yang biasanya ditandai dengan perubahan emosi seperti rasa sedih, cemas, mudah marah dan sebagainya. Postpartum deppresion ini, kalau kata dokter kenalan saya, terbagi menjadi kategori ringan—yang akan hilang sekitar tiga hari usai melahirkan, kategori sedang—dengan gejala yang lebih berat dan menimpa sekitar 20% perempuan, dan kategori berat yang sampai menimbulkan halusinasi dan bertingkah laku irasional. Post partum deppresion kategori berat bisa terjadi sampai berbulan-bulan, bahkan hingga sekitar setahun lamanya.

Nah, apakah kasus-kasus di atas merupakan kasus postpartum deppresion kategori berat? Kita tahu, Andrea saat itu masih punya bayi 6 bulan, dan dia masih punya 4 anak yang masih kecil-kecil. Usia Andrea saat itu 37 tahun. Anik juga masih memiliki bayi 9 bulan, yang dia bunuh bersama kakaknya yang berusia 3 dan 6 tahun. Sementara, Muthmainnah juga membunuh bayinya yang masih berusia 1 tahun. Bukan kapasitas saya untuk membahas masalah ini. Para psikolog dan psikiater jauh lebih berhak dan wajib mengupas hal ini dari sudut pandang ilmiah.

Lepas dari itu, saya ingin menyoroti berbagai permasalahan yang lazim terjadi di masyarakat kita. Banyak kehamilan terjadi tanpa perencanaan. Oke, memang betul, hamil itu sebuah karunia yang harus kita syukuri. Dan betul juga, bahwa perencanaan pun belum tentu berbuah hasil. Tetapi, perencanaan akan sebuah kehamilan akan membuat kita merasa siap baik secara mental maupun spiritual, juga hal-hal lain seperti finansial. Hamil tanpa perencanaan mungkin bisa jadi “kejutan manis” seperti yang terjadi pada 2 anak saya (2 anak yang lain menggunakan perencanaan). Namun, bagi sebagian orang, justru jadi malapetaka dan penolakan, yang berujung pada ketidaknyamanan. 

Janganlan yang menjalani kehamilan, orang-orang di sekitarnya pun bisa melakukan penolakan yang membuat si pelaku semakin merasa tertekan. Ada kisah “unik” terjadi pada kenalan saya. Ketika kenalan saya hamil, bukan dia atau suami yang menolak, tetapi justru ayahnya yang menganggap dia tidak taat aturan. Si ayah marah, karena kenalan saya itu masih punya bayi yang usianya belum satu tahun, dan ternyata hamil lagi. Kemarahan si ayah akhirnya merimbas pada suasana hati yang tidak menentu pada kenalan saya yang tadinya sebenarnya enjoy saja dengan kehamilan keduanya itu.

Jika Anda termasuk yang merasa “terkejut” (dalam artian negatif), sebaiknya segeralah merenung, istighfar dan segera mendekatkan diri kepada Allah. Resapi, bahwa semua itu adalah takdir-Nya. Pasrahlah pada ketentuan-Nya. Bukan hanya merasakan suasana negatif, yang merasa kehamilan sebagai kejutan manis pun tetap harus mendekat kepada-Nya, karena kehamilan memang punya potensi sangat besar membuat seorang perempuan drop, baik fisik maupun emosional.

Ya, kedekatan kepada Allah SWT adalah kunci segalanya. Saat melahirkan, kita begitu dekat dengan maut. Kepasrahan, ketundukan, doa dan zikir yang terus menerus harus senantiasa terlantun pada diri kita. Kalimat thayibah menjadi pelicin mulut kita saat berproses mengeluarkan janin. Saat rasa sakit yang begitu luar biasa tengah kita alami.

Tak kalah penting adalah peran suami. Saya suka prihatin dengan para suami yang justru menyerahkan segala urusan kehamilan kepada ibu mertua, dan dia hanya bisa jalan mondar-mandir di depan ruang persalinan. Dampingi istri Anda, genggam tangannya, salurkan motivasi untuknya. Alhamdulillah, keempat anak saya lahir dengan suami setia di sisi saya. Tangan beliau selalu bengkak saat saya berproses melahirkan, karena selalu saya cengkeram kuat-kuat, hihi... begitu juga, pasca melahirkan, dialah yang pontang-panting mengurusi segala sesuatunya, sampai pernah beberapa kali jatuh sakit. Aqiqah puteri sulung saya sampai tertunda beberapa minggu karena begitu lahir, saking capeknya suami jatuh sakit hampir seminggu lamanya. Demam tinggi dan terkena cacar.

Ya, dukungan suami sangat penting untuk menguatkan hati istri. Jadi, mari para suami, lihatlah wajah lelah istri Anda yang selalu saja mengurusi anak-anak Anda tanpa henti. Berempatilah, rasakan apa yang dia rasakan. Jadikan bahumu sebagai sandaran saat dia terisak menangis. Jangan biarkan dia meratap dalam diam, dalam gelap, sementara engkau mendekur, atau asyik dalam duniamu yang tak tersentuh olehnya.

Lihatlah istrimu, wahai para suami. Jangan pernah biarkan dia membunuh anak-anakmu!

Dan wahai para istri, faktor eksternal seperti support suami dan orang-orang terdekat, serta lingkungan kondusif memang penting. Tetapi, lebih penting lagi adalah bagaimana kita berjuang untuk menjadi pribadi yang kuat, kokoh, tahan banting dan mampu memotivasi diri sendiri. Kian hari, tantangan untuk menjadi istri, ibu, anggota keluarga, warga masyarakat, bahkan juga unsur perubah dalam peradaban yang baik semakin kuat. Jangan pernah mau jadi sosok yang keropos. Terus latih fisik, mental dan spiritual kita untuk menjadi diri yang yang mampu mengendalikan diri.

Jangan sampai alterego kita, tanpa kita menyadari sepenuhnya, memerintahkan jasad kita untuk membunuh anak-anak kita sendiri.

20 komentar untuk "Jangan Biarkan Dia Membunuh Anak-Anakmu!"

Comment Author Avatar
Kedekatan pada Allah Swt merupakan kunci ya Mbak...juga menyadari anak anugerah Allah. Love this.💕💖💖
Comment Author Avatar
Iya pastinya... betapa gersang jika pada saat2 dekat dengan maut kita menjauh dari-Nya
Comment Author Avatar
Semoga saya termasuk suami yang tak lelah mendukung istri
Comment Author Avatar
Percayaaa deh sama Kang Alee
Comment Author Avatar
Saya cuma mondar mandir depan ruang persalinan pada 4 kelahiran anak saya, krn para bidan yg menyuruh dmkn. Tapi istri tau, saya sgt mendukungnya...
Comment Author Avatar
Kalau di tempat persalinan saya dulu, malah suami dianjurkan masuk. Beda kebijakan mungkin sih ya
Comment Author Avatar
Enggak semua suami sanggup lihat istrinya tengah melahirkan.Beda tentunya dgn yang gak mau dampingin krn kekurangpedulian. Yang penting support tetap diberi...psikis, fisik, dll. Jangan malah memperburuk keadaan dgn nyakitin hati istri meski hny lewat ucapan
Comment Author Avatar
Di Indonesia kasus Ibu Menghabisi Anaknya sendiri mungkin terbilang sedikit, ya. Barangkali karena orang tua/mertua kerap turut membantu proses dan pasca bersalin ibu...
Comment Author Avatar
Dan semoga tidak merebak... amiin. Mari kita awasi diri kita dan orang2 terdekat kita
Comment Author Avatar
Jadi Mbak Yeni, kalau ada yang nyinyir PPD karena kurang iman ada benarnya?
Comment Author Avatar
Kurang iman? Belum tentu juga. Religiusitas memang bisa meningkatkan kesehatan mental. Tapi kita gk bisa judge orang yg PPD sebagai kurang iman
Comment Author Avatar
Jadi Mbak Yeni, kalau ada yang nyinyir PPD karena kurang iman ada benarnya?
Comment Author Avatar
Nyinyir apapun sebabnya tidak boleh. Apalagi jika sebabnya kurang iman. Orang yang sedang drop imannya nggak boleh dinyinyirin, tetapi harus didekati, di-support, diberi kasih sayang
Comment Author Avatar
Sediih baca kisah andrea, anik, dll.
Semoga tdk terjadi kejadian serupa.
Prnah mengalami baby blues saat anak prtama. Alhamdulillah cuma hitungan hari sdh sembuh. Lahiran anak kedua sdh enjoy. Skrg hamil tua anak ketiga. Artikel d atas semakin memotivasi sy sbg ibu utk jd sosok kuat dan tegar. Trma kasih banyak mbak yeni :)
Comment Author Avatar
Sama-sama, Arinda...
Mari kita nikmati peran kita sebagai wanita. Baik pahit atau manisnya
Comment Author Avatar
Alhamdulillah dua kali melahirkan, tidak terkena baby blues. Ada salah satu teman saya yang terkena baby blues, mungkin karena suaminya kurang memahami kalau istrinya mengalami baby blues, mereka sampai bercerai. Padahal anak pertamanya kira-kira baru 1,5 tahun dan anak keduanya masih bayi, mungkin saat bercerai masih 2-3 bulan. Nyesek banget pas tahu dia cerai. Nggak bisa bayangin dia ngurus 2 bayi tanpa suami. :'(
Comment Author Avatar
It is in point of fact a nice and useful piece of
info. I'm happy that you just shared this helpful info with us.
Please stay us up to date like this. Thank
you for sharing.

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!