Syawal, “Bulan Lahir” Yang Spesial
Syawal yang heboh, itu sih tampaknya
sudah menjadi milik semua orang. Well,
jadi apa yang harus saya ceritakan jika semua orang memiliki ceritanya
sendiri-sendiri? Taruhlah cerita tentang mudik. Saban tahun, jutaan orang mengalami
peristiwa itu dengan tingkat kehebohan yang beraneka ragam. Dari yang sekadar
tertinggal bus, lari-lari mengejar kereta, ditipu calo, hingga macet total yang
membuat waktu perjalanan membengkak hingga dua kali dari waktu normal dan
seterusnya.
Malah, untuk
cerita tentang mudik, dibandingkan Anda sekalian, mungkin saya tak memiliki
keunikan yang bisa di-share. Maklum, meski saya dan suami juga perantau, karena
saya tinggal di Solo, sementara jalur mudik saya ke barat,alias berlawanan
dengan arus mudik dari Jakarta, jadi aman-aman saja. Saat pulang, jalur relative
kosong, begitu pula saat kembali. Paling, saya hanya cengar-cengir kasihan (ih,
jahat ya?) melihat jalur sebelah yang padat merayap bahkan macet total hingga
berkilo-kilometer. Juga dengan gaya sok simpati menatap saudara-saudara saya
yang berdomisili di Jakarta yang harus mengalami suka-duka bermudik ria.
Keunikan saya
dalam syawal mulai terasa pada sepuluh tahun terakhir ini. Yup, karena sebelum
itu, yakni saat saya melajang, syawal tak terlalu mensketsa kesan, meski debar
bahagia tetap menyambangi hati. Seperti lajang pada umumnya, syawal-syawal saya
sebelumnya dihabiskan bersama keluarga. Biasanya saya akan terjun di dapur,
mengambil alih pekerjaan memasak, karena ibu saya yang punya bisnis
jahit-menjahit, sangat sibuk di bulan ramadhan, apalagi menjelang hari raya. Sementara,
kakak saya biasanya lebih senang membikin kue-kue camilan, bersih-bersih rumah,
atau menjahit gordin, taplak meja atau sekadar lap makan.
Maka, tanggung
jawab perdapuran, bisa dikatakan berada di tangan saya. So, pekerjaan mencabuti bulu ayam yang disembelih bapak, terasa
menyenangkan. Dan dengan ringan pula saya akan membelah ayam, mengambil
jerohannya, membersihkan, lalu memotong-motong ayam dengan pisau besar (di
kampung saya biasa disebut ‘gaman’).
Karena saya malas memarut kelapa, biasanya
saya cukup membawanya ke tukang parut mesin. Lantas, ayam saya masak dengan
bumbu yang juga saya racik sendiri. Jahe, kunyit, kemiri, daun serai, lengkuas,
sedikit ketumbar dan lada, daun salam dan sebagainya. Selain memasak opor, saya
juga membikin sendiri ketupat dari janur kuning, mengisinya dengan beras yang
sudah dicuci dan direndam beberapa lama (agar mudah empuk). Ada tambahan
hidangan, seperti kering tempe, terkadang kare kentang atau sampal goreng hati,
kerupuk udang, dan sambal kacang. Wow, soal memasang yang seperti ini, saya
cukup bisa diandalkan, hehe.
Tetapi, semua
rutinitas syawal mendadak berubah, ketika beberapa minggu sebelum ramadhan
tahun 2003, saya dilamar seorang pria (yakni yang saat ini menjadi suami saya).
Betapa syawal tahun itu saya jalani dengan gugup. Ya, karena pada tanggal 5
syawal, tepatnya 30 November 2003, saya resmi menjadi seorang istri.
Daaan … entah
mengapa, mendadak syawal terasa begitu spesial untuk keluarga saya, ketika
setahun kemudian, pada 4 syawal, tepatnya 17 November 2004, seorang bayi mungil
terlahir dari rahim saya. Saya masih ingat, saat itu kami tak mudik, alias
lebaran di Solo. Berbeda dengan para suami yang biasanya lebih memilih istrinya
untuk melahirkan di kampung halaman (sehingga bisa ditunggui ibunya), suami
saya memang bertekad untuk mengurusi sendiri proses partus istrinya. Hal ini
terjadi pada kelahiran tiga anak saya, sehingga sebuah keheranan justru muncul
pada diri Anis, anak saya yang sulung saat tantenya (adik saya) pulang dari
Palembang untuk melahirkan di kampungnya. Kata Anis dengan polosnya, “Kok Bulik
seperti ikan salmon, setiap hendak bertelur pulang kampung.”
Ops!
Kembali ke kisah
tadi, ya …. Jadi, anak saya yang pertama, lahir di Solo, tepatnya RSU PKU
Muhamadiyah Solo (saat itu suami belum kerja di sana), pada bulan syawal. Saat
itu, ibu tak sampai hati membiarkan anaknya bertaruh nyawa melahirkan si
sulung. Meski rumah masih banyak tamu, pada lebaran ketiga ibu dan bapak datang
ke Solo, begitu saya mengabari bahwa saya sudah mengalami tanda-tanda hendak
melahirkan. Namun, meski ada ibu, suami saya tetap menjadi ‘center’ saya saat
persalinan. Entah mengapa saat itu saya merasa sangat butuh suami, bahkan lebih
dari dokter yang membantu persalinan saya. Tangan suami saya cengkeram sangat
kuat, sampai-sampai beliau pun ikut merasakan pegal-pegal dan kecapekan usai
saya melahirkan, hehe.
Syahidah
Dzakiyyatunnisa (kami panggil dengan nama Anis—Anak Manis), lahir dengan bobot
3,0 kg. Sehat, merah, menggemaskan. Setelah diboyong ke rumah kontrakan kami,
tangisnya yang lucu menyadarkan, bahwa saya telah menjadi seorang ibu. Rasa
syukur saya bertambah, ketika pada suatu saat, kontrakan saya kedatangan
seorang tamu istimewa. Beliau adalah Ustadz Dr. Salim Segaf Al-Jufri (sekarang
Mensos). Ustadz Salim saat itu baru di Solo untuk mengisi sebuah acara
silaturahim. Suami saya yang juga hadir di acara silaturahim mencoba melobi
beliau untuk bersedia mentahnik Anis. Ternyata, bukan hanya bersedia, beliau
bahkan datang ke kontrakan kami saat itu yang kecil dan nyelip di sebuah gang sempit. Subhanallah!
Ketika Anis
berusia 17 bulan, saya terlambat datang bulan. Agak panik juga sebenarnya
ketika tahu bahwa saya hamil lagi. Tapi, ya namanya sudah rezeki, kenapa musti
ditolak? Yang menarik, saat dihitung HPL-nya, ternyata juga di bulan syawal!
Tepatnya 10 syawal. Ini ada apa, ya? Kok syawal lagi, pikir saya geli.
Sama seperti
saat lahirnya Anis, kami pun lagi-lagi memutuskan untuk tidak pulang kampung, meski
HPL masih 10 syawal, takut terjadi sesuatu saat mudik. Ternyata, pada sebuah
malam (saat itu saya mengontrak di sebuah rumah di daerah Jajar, dekat kantor
Indiva) saat kumandang takbiran dari teman-teman Muhamadiyah yang lebaran
sehari lebih awal dari pemerintah terdengar membahana, pada pukul 12 malam saya
merasakan sesuatu yang basah di bagian bawah. Awalnya saya kira hanya hal
biasa. Namun, ketika cairan itu keluar kian deras, saya pun membangunkan suami.
Kata suami, mungkin ketuban pecah. Malam itu juga, dengan menggunakan taksi,
suami membawa saya ke RSU PKU Muhamadiyah Solo. Kata dokter, saya harus bedrest semalam, tak boleh bergerak
karena saya mengalami KPD (Ketuban Pecah Dini). Dokter Anik Suryaningsih, SPOG
akan menunggu sampai pagi kalau-kalau ada tanda persalinan. Ternyata, hingga
pagi tak ada tanda-tanda, padahal ketuban telah berkurang banyak. Jalan
satu-satunya adalah partus dengan INDUKSI.
Pagi-pagi, usai
subuh, saya diinduksi. Kontraksi pun terjadi. Saat karyawan RSU PKU Muhamadiyah
sedang shalat idul fitri di halaman rumah sakit, kontraksi kian kuat dan
memuncak menjelang shalat dhuhur. Saat adzan dhuhur berkumandang, lahirlah
Ramadhan Faidlurrahman (Rama). Hari itu, kalender masehi menunjukkan tanggal 23
Oktober 2006. Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT. Berbeda dengan
kelahiran anak pertama, saya dan suami baru mengabari keluarga di kampung saat Rama sudah lahir. Bukan apa-apa, kami
takut mereka khawatir dan malah tak bisa berhari raya dengan tenang. Lagipula,
jarak yang membentang antara kami dan orang tua, tak bisa ditempuh hanya dengan
satu-dua jam perjalanan.
Saat Rama
berusia tiga tahun, saya hamil lagi. Dan lucunya, lagi-lagi, tanpa dinyana,
saat menghitung HPL, jatuhnya kembali bulan syawal. Ada apa dengan syawal? Subhanallah
walhamdulillah, proses persalinan Hanifan Shafiyyurrahman berjalan lancar dan
lebih tenang (sudah lebih berpengalaman, dong) pada 20 September 2010. Saya
hanya merasa lebih lelah, mungkin karena faktor umur juga, dan terpaksa harus transfusi
darah terlebih dahulu untuk menormalkan HB.
Sekarang, saat
syawal bertandang, suami saya selalu bercanda, “Kok nggak ada baby keluar lagi ya?”
Ops, anak saya
sudah tiga. Apa mau tambah lagi? Ya kalau diberi lagi oleh-Nya… namanya rezeki,
masak ditolak. Tetapi, tentu saja kami harus menjarak kelahiran sebaik-baiknya,
agar anak-anak kami mendapatkan waktu dan kasih-sayang yang cukup dari
orangtuanya.
Naaah, jadi syawal memang spesial bagi keluarga
kecil kami. Asyik juga kali, ya, jika kami rayakan hari jadi ‘kami semua’ itu
dengan syukuran bakar ayam di atas api unggun, hehe. Akan tetapi, diberikan nikmat sehat, nikmat iman, nikmat dien, serta limpahan rahman-rahim-Nya itu sudah sebuah anugerah tiada tara.
Catatan: tulisan ini saya buat pada tahun 2013. Sekarang, anak saya sudah 4, alhamdulillah si bungsu Fatihan, lahir pada 9 Desember 2015. Foto yang saya cantumkan juga foto beberapa waktu yang lalu, saya ambil pada tahun 2023.
1 komentar untuk "Syawal, “Bulan Lahir” Yang Spesial"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!