Jerat Kemewahan dan Ausnya Cita-cita Reformasi


(Renungan 12 tahun Reformasi, Mei 2010)

A.A.J. Warmenhoven, dalam tulisannya yang dipublikasikan di buku “Kenang-Kenangan Pangreh Praja Belanda 1920-1942”, yang disusun oleh S.L. Van der Wall (KITLV, diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Penerbit Djambatan), menyatakan, bahwa alasan orang-orang Eropa berlayar mengarungi samudera, pada awalnya ternyata sangat idealis. Alasan religius dan ilmiah menjadi pendorong utama para pelaut Portugis dan Spanyol bertualang menjelajah negeri-negeri asing, meskipun dengan resiko yang tak ringan. Mereka mengarungi lautan dengan kapal dan peralatan navigasi yang masih sangat sederhana. Tak lain dan tak bukan, adalah dorongan besar untuk mengabdi kepada Tuhan dan raja mereka, sekaligus memuaskan hasrat keilmuan mereka.

Hendrik (ada yang menyebut Henry), salah seorang kerabat Raja Portugis, yang dikenal sebagai Hendrik Pelaut misalnya, diangkat kisahnya oleh Warmenhoven sebagai sosok yang sepanjang hayatnya dipenuhi angan-angan obsesif, meyelamatkan jiwa manusia dengan mengkristenkannya. Pirenne, dalam bukunya Gescheidenis van Europa, yang dikutip oleh Warmenhoven, secara meyakinkan juga menandaskan bahwa hampir tidak ada alasan ekonomi dalam pelayaran yang dilakukan oleh pelaut-pelaut zaman awal-awal penjelajahan. Semuanya berawal dari idealisme, memperjuangkan keyakinan dan ideologi yang mereka anut.

Akan tetapi, pada kenyataannya, masih menurut Pirenne, mereka menemukan negeri yang kaya akan emas dan rempah-rempah. Dan itulah yang ternyata, merubah motivasi mereka. Awalnya, motivasi religius masih melekat, kemudian pada ekspedisi selanjutnya, Pirenne menuding kereligiusan itu hanya sebagai ‘pelegitimasi’ atau pembenar kegiatan mereka semata. Dan pada abad-abad selanjutnya, religiusitas itu benar-benar tergerus. Motivasi para pelaut Eropa benar-benar semata untuk tujuan menumpuk kekayaan. Ini tercermin dari pelaut-pelaut Inggris dan Belanda yang semata-mata berniat untuk berniaga saat melepas sauh di pelabuhan dan kapal mereka pun berlayar menuju negeri timur. Bangsa-bangsa di Eropa mendadak menjadi penganut aliran merkantilisme yang sangat rakus, yang kemudian memunculkan paham ekonomi baru yang muncul mulai abad ke-18, yaitu kapitalisme.

Nyata-nyatanya, konflik muncul begitu dahsyat setelah kepentingan ekonomi mulai tampak. Spanyol dan Portugis bertikai memperebutkan Maluku pada 1534. Politik tingkat tinggi yang dilakukan Spanyol mampu membuat Portugis terdesak hingga ke Timor. Kemudian muncul Belanda yang akhirnya berkuasa di seluruh bumi Nusantara. Inggris dan Perancis, sebagai negara adidaya saat itu juga tak sepi dari sengketa. Selain konflik kepentingan antara sesama negara barat, konflik dengan pribumi pun meruncing. Orang-orang barat dengan sedemikian kejam menancapkan kuku kekuasaan di negara-negara timur, dan mengganyang dengan rakus kekayaan buminya. Segala bentuk perlawanan dibasmi tanpa ampun. Kepentingan ekonomi, yang diejawantahkan dengan kemewahan, telah melibas habis idealisme mereka.

Bahkan, H. W. Deandles, jenderal Belanda yang menjadi kaki tangan Perancis, yang datang ke Indonesia dengan membawa semangat revolusi Perancis dengan semboyannya yang terkenal: liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persaudaraan, persamaan) pun ternyata melenceng dari cita-cita awalnya begitu melihat begitu banyaknya pintu-pintu kemewahan di Hindia Belanda. Karena, kemewahan memang begitu menyilaukan, membuat sesiapapun lupa pada tujuan semula.

Bagaimana dengan Para Pejuang Reformasi?

Tatkala ide-ide reformasi digulirkan oleh para aktivis mahasiswa pada tahun 1998, dalam beberapa segi, semangat para aktivis seobsesif Hendrik Pelaut ataupun Deandles. Kita bisa melihat, dan bahkan mengalami sendiri, betapa bara idealisme berkobar-kobar di dada para anak muda intelektual kampus. Mereka bahkan rela meninggalkan kuliah untuk turun ke jalanan, meneriakkan reformasi, meskipun untuk itu mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan. Tragedi Trisakti yang meledak pada 12 Mei 1998, dimana 4 mahasiswa Universitas Trisakti tertembak mati, disusul dengan kerusuhan 13-15 Mei 1998 menjadi puncak tragedi.
Presiden Suharto pun kemudian lengser pada 21 Mei 1998. Semua aktivis mahasiswa bersukaria, dan sebagian bersujud syukur. Satu orde telah dimulai, orde yang penuh harapan. Namun, setelah bertahun-tahun berlalu, adakah harapan itu telah terwujud?

Luka-Luka Bangsa

Mungkin betul, bahwa perubahan itu membutuhkan proses, tak akan terjadi dalam satu malam. Juga tak akan terejawantah hanya karena satu momentum. Saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, seluruh rakyat Indonesia bergembira, karena telah terbebas dari jeratan para penjajah. Namun, kemerdekaan ternyata tak merubah nasib dalam sekejap. Saat rezim Sukarno jatuh pada 1966 dan diganti orde baru, harapan baru juga muncul. Namun keadaan memang tak bisa disulap hanya karena sebuah peristiwa. Pun demikian saat orde baru tumbang dan digantikan dengan orde reformasi.

Alih-alih bangsa semakin bersih, seperti tuntutan para mahasiswa eksponen 98, Indonesia justru dianggap sebagai negara yang rawan korupsi. Tahun 2009, nilai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 2.8 (skor 0 adalah negara paling korup, dan skor 10 adalah negara paling bersih), yakni menduduki peringkat 111 dari 180 negara yang disurvey oleh Transparency International (TI).

Memang naik tipis dari tahun 2008 yang hanya 2.6, namun itu masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Kenaikan tipis itu kemungkinan disebabkan oleh kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, usaha-usaha pelemahan kinerja KPK saat ini mulai terlihat. Dan peristiwa demi peristiwa yang terkait dengan korupsi hampir setiap saat menghiasi media. Banyak kasus-kasus besar yang dipetieskan, membuat kepercayaan publik kepada penguasa semakin menipis, dan bahkan menjadi apatis, yang ditandai dengan besarnya jumlah golput pada pemilu-pemilu legislatif maupun eksekutif.

Selain korupsi, perilaku penguasa pun banyak menjadi sorotan. Mulai dari anggota legislatif ataupun eksekutif yang tertangkap basah menggunakan narkoba, perzinaan, serta perbuatan amoral lainnya. Sementara, entah mengapa musibah demi musibah silih berganti melanda republik kita tercinta. Dari bencana alam seperti tanah longsor, gempa bumi, tsunami ataupun banjir, maupun kebakaran, kecelakaan berbagai moda transportasi dan sebagainya, yang merengut total korban ratusan ribu jiwa.

Di satu sisi, kesejahteraan masyarakat tak juga membaik. Angka kemiskinan saat ini (versi BPS) masih menyentuh dua digit angka, yaitu 13%. Tampaknya sedikit, namun mari kita mencoba memahami bagaimana angka tersebut didapat. Ada 2 versi angka kemiskinan, yaitu versi Biro Pusat Statistik (BPS) dan versi Bank Dunia. Konsep yang dipakai BPS adalah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi ‘kebutuhan dasar makanan (setara dengan pengeluaran untuk mendapatkan bahan makanan pokok dengan nilai kalori 2100 kkal per hari)’ dan bukan ‘makanan’ (diukur dari sisi pengeluaran).

 Orang dikatakan miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran perkapita di bawah garis kemiskinan (GM). Menurut data BPS pada 2008, garis kemiskinan untuk kota Jakarta adalah Rp 182.636,- per kapita per bulan. Standar ini, tentu masih terlalu jauh di bawah GM versi Bank Dunia, yakni $ 1 hingga $ 2 per hari. Jadi, angka 13 % bukannya terlalu kecil, tetapi terlalu besar.
Sementara di bidang lain, prestasi bangsa kita juga terpuruk. Dalam laporan UNDP tahun 2009, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menempati peringkat ke- 111 dari 192 negara. Peringkat ini turun dibanding tahun 2008, yaitu ranking 107.

Jadi, Kemana Para Pejuang Reformasi Itu?

Pertanyaan ini perlu direnungkan oleh para pengusung ide reformasi. Mungkin terlalu frontal jika menuduh bahwa para pejuang reformasi itu telah kehilangan idealisme yang pada awalnya menjadi motivasi mereka dalam menggulirkan ide-ide perubahan. Namun, mengingat hingga saat ini perubahan yang diinginkan tak kunjung datang, perlulah kiranya dilontarkan satu pertanyaan. Apa sebenarnya yang terjadi?

Duabelas tahun sudah berlalu, dan teryata belum ada perubahan yang signifikan, bahkan di bidang lain mengalami penurunan. Apa yang salah, mengingat banyak para aktivis reformasi yang justru ikut berperan dalam pemerintahan, baik sebagai anggota legislatif maupun sebagai eksekutif. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, justru cerita-cerita yang tak nyaman didengar sering terdengar. Anggota dewan yang menuntut kenaikan gaji, menuntut fasilitas tertentu, serta anggaran yang boros serta tak efesien. Anggota dewan yang kongkalikong dengan eksekutif, korup, serta amoral.

Mungkin perubahan itu butuh waktu. Tetapi, bagi para pemimpin besar, 12 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk kita berintrospeksi. Atau, jangan-jangan idealisme itu telah luntur. Cita-cita reformasi telah pudar, bahkan lenyap karena tawaran kemewahan dan seksinya kekuasaan sungguh memikat. Persis seperti pelaut-pelaut Eropa yang pada awalnya mengusung idealism setinggi pegunungan Alpen, namun begitu melihat bahwa emas dan kejayaan itu begitu menawan, maka mereka berubah menjadi merkantilis-merkantilis sejati yang sangat rajin menumpuk kekayaan. Wallahu a’lam.

Posting Komentar untuk "Jerat Kemewahan dan Ausnya Cita-cita Reformasi"