Widget HTML #1

Kedudukan Rasio (Akal Sehat) Dalam Islam

Oleh Yeni Mulati Ahmad
Pengambilan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber akidah Islamiyah adalah sesuatu yang bersifat mutlak. Tak ada yang mampu membantahnya. Yang menjadi satu permasalahan adalah, bagaimanakah fungsi rasio (akal sehat) dalam penguatan akidah seorang muslim. Ini suatu hal yang penting, mengingat semakin banyaknya kaum muslimin yang menjadikan akidah sebagai objek ilmiah, yang dipelajari dengan logika sebagai kacamata utamanya. Misalnya, di beberapa perguruan tinggi telah dibuka berbagai jurusan keagamaan yang sangat terkait dengan masalah ini, misalnya ushuluddin, perbandingan agama dan sebagainya.
Tak hanya kaum muslimin, bahkan orang-orang kafir pun banyak yang kemudian menjadikan Islam sebagai salah satu ilmu dan menyebutnya sebagai Islamologi. Mereka mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan, dan tentu saja kacamata logika menjadi pertimbangan utama. Anehnya, justru kepada orang-orang seperti inilah, sebagian intelektual muslim kita belajar agama Islam. Tak heran kemudian di kalangan muslim sendiri muncul segolongan manusia yang ditengarai sebagai golongan mu’tazilah yang sangat mendewakan akal pikiran dan mendahulukannya dibandingkan dengan nash-nash yang syar’i.
Penggunaan Rasio Menurut Ulama
Masalah penggunaan rasio ternyata masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Meskipun menurut sebagian ulama, sumber akidah hanya diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah saja, Syaikh Al-Buraikan memberikan beberapa alasan mengapa rasio juga bisa dijadikan sebagai sumber. Syariat Islam—menurut beliau—memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Menurut Syaikh al-Buraikan, ini dilihat dari beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Allah SWT hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang-orang yang berakal, karena hanya merekalah yang memahami agama dan syariat-Nya. Allah berfirman:
“...Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Shad: 43).
Kedua, akal merupakan syarat yang harus ada pada manusia untuk mendapatkan taklif (beban kewajiban) dari Allah SWT. Rasul bersabda, “Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari 3 golongan, di antaranya: orang gila sampai dia kembali sadar.” (HR. Abu Daud). Itulah sebabnya, di dalam Islam, kewajiban menjalankan syariat-syariat ditimpakan kepada orang yang sudah cukup umur (baligh), dimana pada saat itu, seseorang telah matang secara akal. Jika anak-anak melakukan shalat, puasa, zakat dan sebagainya, maka itu hanya sebagai latihan.
Ketiga, Allah SWT mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya dalam firman-Nya:
“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. al-Mulk: 10).
Keempat, di dalam Al-Qur’an terdapat begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran semacam tadabbur, tafakkur, ta’qul dan sebagainya. Maka akhiran-akhiran ayat yang berbunyi, ‘la’allakum tatafakkarun (mudah-mudahan kamu berpikir)’, ‘afalaa ta’qiluun (apakah kamu tidak berakal)’ atau ‘afalaa yatadabbaruunal Qur-ana (apakah mereka tidak mentadaburi isi Al-Qur'an)’ dan sebagainya, cukup banyak kita dapati dalam kitab Al-Qur'an.
Kelima, Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran logika rasional. Misalnya dalam firman Allah:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82).
Atau juga dalam firman: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS. al-Anbiya: 22).
Keenam, Islam mencela taqlid (mengikuti sesuatu tanpa hujjah) karena akan membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal. Demikian juga, dalam banyak ayat, Allah memuji orang-orang yang menggunakan akalnya. Selain itu, ada alasan-alasan lain yang kuat dan shahih.
Penggolongan Manusia
Berdasarkan penggunaan akal sehat sebagai dalil, manusia terbagi menjadi 3 golongan yaitu,
1.      Golongan rasionalisme yang menjadikan akal sebagai sumber dalil, dan didahulukan atas syariat. Jika syariat—yang berasal dari Al-Quran dan As-Sunnah tidak sesuai dengan akal mereka, maka mereka mendahulukan akal. Padahal akal manusia memiliki banyak sekali keterbatasan.
2.      Golongan yang menganggap akal tak memiliki kekuatan apapun. Segala sesuatu mutlak ditentukan oleh syariat.
3.      Golongan yang moderat, yakni yang dianut oleh golongan salaf dan dipelopori oleh banyak ulama besar seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan sebagainya. Akan tetapi, penggunakan akal sehat memiliki batasan-batasan antara lain sebagai berikut:
·        Akal hanya mampu mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak sampai pada hal-hal yang sifatnya mendetail.
·        Syariat mutlak didahulukan atas akal.
·        Apa-apa yang benar dari akal, pasti tidak bertentangan dengan syariat, sedangkan hasil pemikiran akal yang bertentangan dengan syariat adalah batil.
·        Penentuan hukum wajib-halal-haram dst., adalah hak mutlak syariat.
·        Balasan atas pahala dan dosa, janji surga dan neraka, semua ditentukan oleh syariat.


Posting Komentar untuk "Kedudukan Rasio (Akal Sehat) Dalam Islam"