SELERA PEREMPUAN
By Yeni Mulati Ahmad
(pernah dimuat di majalah Saksi)
Suatu hari, seorang adik binaan mengeluh di depan saya. Ia menceritakan kegagalan sebuah acara bedah buku dimana ia terlibat sebagai salah seorang panitianya. Acara tersebut telah mereka kemas dengan baik, buku yang dibedah juga buku yang cukup bermutu (bertema tentang demokrasi), ditambah kehadiran penulisnya (seorang tokoh nasional) untuk secara langsung membedah buku yang menurut saya juga cukup fenomenal tersebut. Para panitia sangat yakin, jika peserta yang hadir akan meledak dan acara itu sukses besar. Tetapi, apa yang terjadi? Hanya sekitar 40 peserta yang hadir, membuat gedung yang luas itu terasa begitu senyap. Dan dari 40 peserta yang hadir tersebut, hanya 8 orang yang berasal dari kaum Hawa.
Lantas dengan sedikit emosi, adik binaan saya itu membandingkan acara tersebut dengan acara yang sama-sama berbentuk bedah buku, namun buku yang dibedah dalam acara tersebut bertema tentang pernikahan. “Yang datang luar biasa banyak, Mbak..., dan sebagian besar kaum perempuan!” begitu katanya.
Ketika pada suatu hari saya berkesempatan bertemu dengan penulis buku tentang pernikahan itu, kisah tersebut saya ceritakan kepada beliau, dan beliau tertawa. “Kalau saya bikin buku tentang demokrasi, saya akan selipkan dalam tema pernikahan,” ujar beliau. “Misalnya, ‘Pernikahan di Alam Demokrasi,’ atau ‘Sepasang Pengantin Demokrat’.”
Saya ikut tertawa mendengar jawaban beliau yang memang terkenal jenaka itu. Tapi okeylah... kita sedang tidak membicarakan masalah kesukaan para penulis memaparkan idenya dalam bentuk seperti apa. Kita sedang berbicara masalah selera akhwat, selera perempuan.
Saya pernah mengeluh kepada diri saya sendiri, mengapa kami, kaum perempuan seringkali terjebak pada perbincangan yang serba remeh temeh. Serba pragmatis, serba enteng.... Bahkan pada para akhwat (baca: muslimah yang punya komitmen terhadap keislaman), yang nota bene relatif ‘lebih tercerahkan’ dibanding para perempuan pada umumnya, perbincangan ringan yang ‘gurih’ karena penuh dengan berbagai penyedap yang mengandung ‘zat kimia’, ternyata juga menjadi konsumsi harian yang cukup favorit di kalangan para akhwat tersebut. Sebagai contoh, kita dapati kaum muslimah begitu ‘bersemangat’ mengungkit permasalahan-permasalahan kecil seperti pro kontra kerudung pelangi, kasus-kasus merah jambu yang belum jelas kebenarannya, atau bahkan mengomentari seorang ikhwan (aktivis lelaki) yang mendadak memakai celana jeans dan mencukur habis jenggotnya.
Kita coba membuat perbandingan lain yang mungkin lebih jelas dengan melihat, betapa sepinya forum-forum diskusi tentang sebuah kebijakan publik, dan betapa riuhnya obrolan sudut mushola yang membicarakan keluarnya sebuah album musik pop baru. Atau betapa senyapnya barisan kaum perempuan ketika berlangsung sebuah rapat tentang grand design sebuah organisasi, sementara bagian lelaki begitu dinamis.
Sebenarnya apa yang tengah terjadi? Seorang kawan pernah mencoba menjelaskan kepada saya. Aktivis muslimah, dalam sisi yang lain adalah seorang perempuan juga, dimana karakteristik perempuan diantaranya adalah: lebih suka hal-hal yang bersifat pragmatis, kurang suka berdialektika dan malas berbincang tentang suatu hal bersifat filosofis. Hal ini, masih menurut kawan saya, terkait dengan perempuan yang memang lebih mengandalkan emosi daripada rasio.
Ah, apa iya? Saya punya banyak teman perempuan yang sangat rasionalis yang hampir sama jumlahnya dengan teman lelaki yang sangat emosional. Teman-teman perempuan saya itulah yang kemudian menjadi team thank di berbagai organisasi, dan mereka sangat cerdas. Ketika saya bertanya kepada mereka, apa yang membuat mereka begitu briliyan, jawaban mereka ternyata bukan sebuah kalimat yang berbelit, cukup sederhana: “saya mencoba terjun di pusaran arus.”
Nah, mungkin disinilah titik permasalahannya. Bias gender telah sangat sukses memarginalkan peran perempuan semarginal-marginalnya. Perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan-pembicaraan penting, tidak pernah dimintai pendapatnya dalam pengambilan sebuah kebijakan. Mereka ada pada sebuah arus, tetapi cukup sebagai penonton di pinggiran. Kejadian semacam itu tak hanya terjadi di masyarakat secara umum, namun juga pada gerakan dakwah yang tengah kita usung bersama. Oleh karena tidak dilibatkan secara aktif dalam keputusan yang strategis, milyaran neuron di rimba enchepalon para akhwat pun tidak termanfaatkan, dan terjadilah apa yang dikatakan oleh Bobby De Porter sebagai “otak yang membersihkan rumahnya.” Kita pun terjebak dalam kejumudan yang berkelanjutan. Kita statis, tak berkembang. Seumpama pisau, otak kita adalah pisau tak terasah yang penuh dengan karat.
Harus diakui, tak biasa berpikir berat membuat akhwat akhirnya tak berbeda dengan perempuan pada umumnya. Kita suka hal-hal yang ngepop, yang ringan, yang penuh bumbu. Yang membedakan kita dengan para perempuan pada umumnya, barangkali, adalah karena kita sering melakukan aktivitas ‘kerja bakti’ yang membuat kita terlihat sangat sibuk, namun sesungguhnya kita tidak tahu, apa dan untuk apa kita melakukan aktivitas tersebut. (Hiks, kasihan deh, kita....)
Tak bisa tidak, akhirnya dibutuhkan sebuah revolusi pemikiran yang total. Kita, para perempuan, khususnya aktivis perempuan harus terjun ke pusat arus. Jika fasilitas untuk menuju pusat arus tidak kita dapatkan, kita bisa berinisiatif dengan membuat arus tersendiri, sepanjang arus itu ikut berperan serta dalam mendukung arus utama agar semakin besar. Sesungguhnya medan pencerahan itu begitu luas dan butuh aktivis militan yang memiliki banyak inisiatif, dan mewujudkan inisiatif tersebut dalam bukti-bukti yang kongkrit.
Yang harus diingat, usaha kita terjun ke pusat arus, bukan sekadar memperbaiki selera lho....
Surakarta, 22 Februari 2004
5 komentar untuk "SELERA PEREMPUAN"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!