Apa Sih, Tulisan Itu? # 3


By Afifah Afra
Setelah di bagian kemarin kita membahas apa itu deskripsi, sekarang mari kita bahas jenis wacana narasi!
Narasi
Narasi adalah cerita yang didasarkan pada sebuah urutan kejadian atau peristiwa, di mana peristiwa tersebut dialami oleh tokoh yang mengalami konflik tertentu. Urutan kejadian, tokoh dan konflik itu, menurut Marahaimin, membentuk satu kesatuan yang disebut plot atau alur.
Sedangkan menurut Novakovich, narasi yang seimbang adalah hasil interaksi antara setting dan tokoh yang membentuk plot (alur), atau dirumuskan:
PLOT = TOKOH + SETTING.
Namun yang harus dipahami adalah, narasi ditulis agar pembaca seperti mengalami sendiri kisah yang ditulis oleh penulis.

Dialog
Karena narasi merupakan interaksi tokoh, maka akan muncul dialog. Untuk menguatkan setting, gunakanlah warna lokal yang kuat dalam dialog. Misalnya, anda membuat cerita bersetting Jawa, gunakanlah beberapa patah bahasa Jawa dalam dialog anda. Orang akan menjadi yakin, bahwa cerita yang anda tulis, memang benar-benar terjadi di Pulau Jawa.
Kebanyakan orang memahami bahwa narasi identik dengan fiksi, sebenarnya tidak juga, karena biografi, otobiografi ataupun kisah-kisah sejati pun seringkali dibentuk sebagai sebuah narasi. Hanya saja, kebanyakan narasi memang berbentuk cerita, baik cerpen, novel, maupun roman.

Pola Narasi
Menurut Aristoteles, narasi terdiri dari 3 bagian, yaitu awal, tengah dan akhir. Pada bagian awal, silahkan menuliskan latar belakang cerita (tidak harus panjang lebar, yang penting cukup mengena), serta memperkenalkan tokoh-tokohnya. Menurut Maraha-imin, awalan yang baik harus bisa menyiratkan akhir, hanya saja, pembaca tidak tahu bahwa siratan itu adalah pertanda akhiran karangan. Baru ketika ia membaca akhiran, ia akan manggut-manggut, “Oh, ini maksudnya...”
Bagian tengah adalah ketika tokoh-tokoh itu memasuki konflik. Konflik itu bisa jadi antara tokoh dengan tokoh, atau tokoh dengan setting (misalnya tokoh yang berjuang untuk tetap hidup saat diterjang badai salju), tokoh dengan adat istiadat, bahkan dengan Tuhan (misalnya seseorang yang mencoba menentang takdir). Konflik biasanya diakhiri dengan sebuah ledakan yang disebut klimaks. Semakin hebat tekanan konflik yang kita buat, maka klimaksnya semakin dahsyat.
Kita bisa ibaratkan dengan balon. Semakin banyak udara yang mengisinya, maka ketika meletus, akan semakin keras bunyinya. Maka, narasi yang baik adalah yang bisa memenej konflik dengan baik pula, sehingga bisa menimbulkan sebuah efek yang mengena bagi pembaca. Tetapi, konflik juga jangan terlalu dipaksakan. Karena ingin membuat sebuah ledakan yang keras, kita memaksa agar si tokoh terus-menerus mengalami konflik, persis yang terjadi pada sebuah sinetron di stasiun TV swasta yang berlanjut, berlanjut dan terus berlanjut. Jika konflik tidak proporsional, pembaca akan merasa bosan. “Gimana sih, tokoh ini, nggak happy-happy, sedih melulu...”
Selanjutnya akhir atau ending. Ending yang baik adalah yang mengesankan, baik kesan sedih, menggemaskan—bikin geregetan, atau bahkan sama sekali tak diduga sebelumnya. Ending yang baik akan membuat para pembaca merasa puas dan terkenang-kenang dengan tulisan tersebut.
Untuk menceritakan sesuatu, kita bisa menggunakan alur maju, yakni A-B-C-D-E-F atau flashback (kilas balik), yakni pola-pola E-A-B-C-D-F, atau D-A-B-C-D-F dan sebagainya—yang intinya mengajak pembaca untuk langsung pada inti cerita. Pola ini baru berkembang di era pasca Aristoteles, namun penggemarnya cukup banyak. Saya pun termasuk salah satu ‘penggemar’ alur flashback. 

(BERSAMBUNG)
Apa Sih, Tulisan Itu? # 1
Apa Sih, Tulisan Itu? # 2
Apa Sih, Tulisan Itu? # 3
Apa Sih, Tulisan Itu? # 4

Posting Komentar untuk "Apa Sih, Tulisan Itu? # 3"