LORONG AIR
(Tribute To My Father # 1)
By Afifah Afra
Pada awal tahun 1950-an, Solo masih sebuah kota yang sejuk, asri dan menawan. Tak ada kemacetan seperti sekarang ini. Nah, pada tahun-tahun tersebut itulah, Sucipto tumbuh dalam lingkungan yang sederhana. Sucipto kecil hidup di daerah Kalitan, Surakarta. SD-nya ditempuh di SD Mangkubumen 16. Ia sangat senang menyantap mie rebus dengan kadar lada yang tinggi, sehingga berasa pedasnya, hoahh! Kelak, hobinya memakan mie rebus itu ia teruskan dengan belajar memasaknya, dan bahkan berjualan mie di sela-sela kesibukannya bersekolah di SGB (Sekolah Guru Bawah). Sekolah yang membawanya merengkuh cita-cita: sebagai guru.
Ya, meskipun berasal dari keluarga militer (kakek saya polisi, saudara-saudara ayah juga banyak yang menjadi polisi atau tentara), Sucipto memang lebih tertarik menjadi guru, profesi yang saat itu jauh lebih bergengsi daripada militer, begitu menurut beliau.
Saat bocah, kebiasaan yang paling ia sukai adalah mencari ikan di lorong-lorong bawah tanah, tempat pembuangan air dari rumah-rumah. Oops, jangan bayangkan kondisi parit bawah tanah saat itu sejorok sekarang. Tingkat pencemaran air masih ringan saat itu, sehingga ikan-ikan pun betah bersarang. Bersama teman-teman, ia akan sangat bergembira jika melihat ada ikan-ikan yang mengumpul di suatu tempat, sehingga mereka tak perlu bersusah-payah mengejar-ngejarnya. Sebenarnya, ini hobi yang membahayakan. Karena jika hujan, air akan meluap, dan lorong air akan penuh. Mereka bisa saja kehabisan napas dan bahkan meninggal.
Tetapi, Sucipto dan teman-temannya memang anak-anak bandel yang sangat pemberani. Suatu hari, sepulang dari sekolah, seperti biasa mereka terjun ke lorong air. Mereka menyusuri jalan air itu dengan sibuk berceloteh, riang gembira.
“Kuwi ono iwak ngumpul![1]” teriak salah seorang bocah. Maka, langkah-langkah mungil itu pun berkecipak di atas air yang setinggi betis. Belasan ekor ikan lele sedang mengumpul, dan dengan cepat anak-anak itu berlomba menundukkan kelicinan badan lele-lele itu.
Dan, tanpa mereka sadari, hujan telah membasahi tanah di atas mereka. Semula rintik-rintik, lalu berubah deras.
“Hee, banjir… lariii!!!” teriak anak-anak ketika mendengar gemuruh suara air.
Panik mereka berlarian, sementara air deras mengejar mereka dari belakang. Di sebuah pintu air, mereka berteriak-teriak sembari menggedor-gedor. Pintu terkunci! Mereka ketakutan setengah mati.
“Toloooong! Toloooong!”
Tetapi, nasib baik masih berpihak pada mereka. Seorang penjaga sebuah hotel, tempat pintu air itu, kebetulan lewat. Mendengar suara teriakan anak-anak, ia membuka pintu, dan bersembulanlah kepala-kepala dengan tubuh yang telah basah kuyup.
“Horeee! Kita selamat!” teriak anak-anak sembari meloncat-loncat girang. Sementara, ikan-ikan lele yang telah mereka kumpulkan, hilang entah kemana. Tak masalah, keselamatan jauh lebih penting, bukan?
Seperti yang pernah dituturkan Ayahanda kepadaku…
Afifah Afra
2 komentar untuk "LORONG AIR"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!