Romansa Bulan Mati di Javasche Oranje (2)

By Afifah Afra
Singkat kata, akhirnya buku ini terbit juga. Cetakan pertama, September 2001. Karena saya lahir tahun 1979, berarti usia saya saat itu 22 tahun.  Inilah tampang saya waktu itu.
 Cute? Hehe. Yang jelas, mata belum jadi korban komputer, alias belum berkacamata. Ada minus sih, tapi saya cuekin. Saya berkacamata sejak SMP, tetapi begitu lulus SMA, saat kacamataku patah, saya memutuskan untuk melepasnya. Baru ketika lulus kuliah dan saban hari berhadapan dengan komputer, terpaksa saya berkaca mata lagi.
Penerbit buku ini, Era Intermedia. O, ya… saat itu, Era Intermedia masih ngantor di dekat Pasar Kleco, belum memiliki gedung sendiri yang megah berlantai tiga seperti sekarang ini. Asyiknya, karena Pasar Kleco merupakan salah satu pasar terlengkap, saya saksikan para karyawan Era yang ibu-ibu, saat jam istirahat pada tlusupan ke pasar. Lalu pulang dengan membawa belanjaan. Sayur-mayur, bahan lauk-pauk, bumbu-bumbu. Sekali jalan, dua kerjaan terlampaui. Sip, lah!
Batin ini terasa sumringah ketika saat berkunjung ke kantor itu, yang harus saya tempuh dengan dua jam naik bus Solo-Semarang, saya dipanggil oleh admin Era. Mbak Yeni namanya, sama dengan nama asli saya. Olala, ternyata saya disuruh menandatangani selembar kuitansi tanda terima uang sebesar … aku lupa, kayaknya sekitar 2 atau 3 juta! Ternyata sistem pembayaran buku di Era berbeda dengan Syaamil yang menerbitkan kumcerku, Genderuwo Terpasung. Jika pada GT aku dibayar dengan sistem royalti, untuk BMDJO, bayaranku diterima di muka. Bukan beli putus, tetapi semacam sewa naskah. Nanti, jika buku dicetak ulang, saya akan mendapat uang sewa lagi, yang dihitung dari jumlah buku yang tercetak. Memang persentasenya lebih kecil dari royalti, tetapi menyaksikan duit menumpuk, bagi mahasiswa dari keluarga sederhana seperti saya, rasanya luaaar biasa.
Aku merasa sangat kaya! Namun, cemas juga ketika aku harus pulang ke indekosku di Semarang dengan membawa duit sebanyak itu. Akhirnya, aku memilih naik bus patas. Ongkosnya cukup mahal, tetapi aman. Selain itu, ber-AC, dan tempat duduknya nyaman.
Bedah Buku Bareng Ustadz Haris dan Mbak Dee
Begitu pulang ke Semarang, saya langsung menghubungi teman-teman FLP Semarang. Saya mengusulkan bedah buku, dengan mengundang 2 pembicara, Ustadz Muhammad Haris dan Mbak Rahmadiyanti Rusdi. Ustadz Haris, penulis kata pengantar novel ini, adalah dosen saya di Ma’had Assalam, Semarang. Selain kuliah di F. MIPA Universitas Diponegoro, saya juga nyantri di semacam pesantren khusus untuk mahasiswa tersebut, mengambil jurusan Dirosah Islam.
Ustadz Haris adalah dosen Tsaqofah Islamiyah. Basic beliau sebenarnya bukan ilmu syariah, tetapi sejarah. Beliau alumni Fakultas Sastra UGM. Tetapi, karena beliau merupakan seorang da’i senior, tentulah keluasan wawasannya dalam masalah keislaman, tak perlu dipertanyakan lagi. Ada pengalaman menarik saat saya diajar beliau. Tsaqofah Islamiyah bukanlah mata kuliah yang terlalu diminati oleh santri yang kebanyakan akhwat. Begitu beliau berbicara, mata para akhwat langsung memberat.  Ngantuk! Terkecuali saya. Hampir dua jam beliau berceramah, mata saya terbuka lebar, semangat. Maklum, ini adalah bidang yang sangat saya sukai. Saat ini, Ustadz Haris mendapat amanah besar, terpilih menjadi wakil walikota Salatiga. Selamat berjuang, Ustadz!
Nah, kalau Mbak Rahmadiyanti, panggilannya Mbak Dee (sama sekali tidak ada hubungannya dengan Dee Supernova, hihi) beliau adalah redaktur majalah Annida, sekjen FLP Pusat saat itu. Begitu saya mengontak beliau untuk datang ke Semarang, beliau langsung menyanggupi, meskipun dengan sangat polos saat itu aku bicara lewat HP-saya (eh, saya sudah punya HP saat itu, lho … merk-nya nokia 5110 yang saking besarnya, bisa buat gebuk maling, hehe). “Mbak, kami ndak sanggup membelikan tiket kereta eksekutif, hanya bisa kereta bisnis.”
Alhamdulillah, dengan bijak beliau menjawab. “Ya nggak papa bisnis, tapi buat dua orang, ya?! Soalnya nggak mungkin mbak pergi sendiri tanpa mahram.” Saya bersorak girang, padahal aslinya sama saja satu tiket kereta eksekutif dengan dua tiket kereta bisnis.
Pagi-pagi betul, saya dan … kalau tidak salah teman saya satu kost, Silmi, berboncengan dengan motor ke Stasiun Poncol. Bertemulah saya untuk pertama kali dengan beliau, yang selalu full semangat dan humoris itu. “Sudah sahur, mbak?” tanya saya. Ya, saat itu bulan Ramadhan.
“Sudah tadi, di kereta, pakai nasi goreng,” jawab Mbak Dianti dan temannya, duh… maaf ya, saya lupa namanya. Aku ngiyem, yaaah… sudah disiapkan sahur di kost. Meskipun tentu saja konyol jika Mbak Dee ‘dipaksa’ sahur di kost. Karena, begitu sampai di sana, pasti sudah adzan subuh.
Akhirnya, dengan menggunakan taksi, saya memboyong Mbak Dee ke indekost saya, di Ngesrep, sekitar 3 KM dari kampus Undip Tembalang. Silmi melanjutkan menaiki kuda besinya. Wuzzz…!!!
Sayangnya, karena publikasi kurang gencar, dan persiapan yang sangat minim, bedah buku berjalan dengan begitu sepi… hanya sekitar 20 orang yang hadir. Duuuh, sediiih.

Posting Komentar untuk "Romansa Bulan Mati di Javasche Oranje (2)"