Sebuah Catatan Tentang "Hingga Detak Jantungku Berhenti"
Judul buku: Hingga Detak Jantungku Berhenti
Penulis: Nurul F Huda
Penerbit: Jendela
Harga : Rp 40.000
Ketika mulai membuka buku bersampul jingga dengan kombinasi hijau muda ini, ingatan saya melayang pada cerita Teh Pipiet Senja, seorang penulis nasional papan atas yang sekaligus penyunting dari buku ini.
"Ketika baru mendapatkan buku ini, Nurul langsung telepon saya, katanya 'Teh, covernya bagus. Gambarnya bidadari. Sepertinya saya akan menjadi bidadari yang terbang ke surga.' Tak disangka, beberapa hari setelah menelepon saya, kabar duka saya dapatkan. Nurul meninggal," ungkap Pipiet Senja, dengan sepasang mata basah.
Saya tercenung, karena prosesi kematian beliau, Nurul F Huda, penulis buku ini, semua karena takdir Allah, saya ikuti. Dari proses kritisnya beliau saat dirawat di RSU Dr. Sarjito, Yogyakarta, hingga proses pemakamannya. Ada banyak manusia mengalami kematian, karena menurut firman Allah, kullu nafsin dzaaiqotul mauut... semua yang bernyawa akan mengalami kematin ... tetapi berapa banyak yang sebelum meninggal masih sempat menulis buku seperti beliau? Inilah yang membuat buku ini terasa istimewa.
Begitu membuka lembar pengantar, sepasang mata saya terpaku pada nama Cahyadi Takariawan. Penulis spesialis buku keluarga ini termasuk salah satu penulis favorit saya, dan ini menambah daya tarik saya untuk segera 'menyantap' buku ini. Ada satu yang saya garis bawahi dari pengantar beliau. Begini tulisan beliau:
Saya sering memberikan gambaran tiga sikap manusia menghadapi ujian. Pertama, orang yang selalu mengeluh dengan keadaan yang dihadapinya. “Berat sekali ujian yang aku alami”, begitu ia selalu mengeluh setiap hari. Mereka ini harus kita hibur dan kita katakan, “Bersabarlah dengan apa yang engkau hadapi”. Kedua, orang yang menganggap ringan ujian yang dihadapi. “Kalau ujian seperti ini sih biasa”, begitu mereka merasakan. Kepada mereka ini kita katakan, “Istiqamahlah kalian”. Ketiga, orang yang menikmati ujian yang dihadapi. “Ujian ini yang membuat saya bergairah dalam hidup”, demikian ungkapannya. Kepada mereka kita katakan, “Selamat atas sikap kalian yang sangat positif, dan berbahagialah kalian”.
Nurul berada pada posisi ketiga, dimana ia telah berhasil menikmati apa yang dihadapi. Ia sanggup, ia tegar, dan berhasil mengambil banyak pelajaran. Dalam kacamata optimistik seorang Nurul, apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya adalah yang terbaik.
Apa gerangan yang membuat Pak Cah, demikian panggilan akrab beliau, menuliskan pengantar semacam itu? Saya pun membuka lembar-lembar berikutnya. Di bab awal, Nurul F Huda bercerita tentang ketidaknormalannya sebagai seorang penderita jantung bawaan. Ya, ternyata katup jantung beliau mengalami kerusakan permanen. Maka, jadilah sosok Nurul kecil yang tomboy, energik, penuh vitalitas itu berubah 180 derajat menjadi Nurul yang kurus kering, pucat, biru, serta mudah letih. Napasnya terasa berat namun cepat memburu. Rekan-rekannya di SD dan SMP pun akhirnya mengenal Nurul sebagai bintang kelas yang penyakitan, si pengidap penyakit jantung.
Ketika usia 14 tahun, Nurul akhirnya harus menjalani operasi jantung di RS Harapan Kita, Jakarta. Bersama Abah dan Ibunya, ia meninggalkan kota kecil, Purworejo, karena memang hanya di rumah sakit khusus jantung itulah peralatan yang lengkap didapat. Jalannya operasi secara detail ia ceritakan, semestinya membikin jantung berdebar saking tegangnya. Ya, saya memang tegang, membayangkan tatkala dokter menggergaji tulang dada Nurul, lalu mengangkat jantungnya dan mengganti katupnya yang rusak dengan platina. Logam berharga puluhan juta rupiah (di tahun 1990!) itulah yang akhirnya menimbulkan suara 'tik ... tik ... tik' dari dalam tubuh Nurul. Orang yang tak tahu, sering bertanya kepada Nurul ketika mendengar bunyi itu. "Suara apa itu? Suara jam ya?" Nurul dengan santai menjawab, "Ya, jam kehidupan!"
Uniknya, meskipun cerita tersebut menegangkan, dan membuat saraf saya ikut berdenyut nyeri, beberapa cengiran sering tak sengaja terbentuk di bibir saya, karena gaya penceritaan Mbak Nurul yang kocak. Misalnya, ketika ia bercerita tentang cs-nya di bangsal anak, Teddy. Sama dengan Nurul, Teddy juga pengidap kelainan jantung yang harus dioperasi di RS Harapan Kita. Saking bosannya menunggu jadwal operasi, mereka sempat merencanakan kabur. Namun, ternyata mereka 'tertangkap' oleh satpam dan dikembalikan ke ruang perawatan. Nurul dengan kocak juga menceritakan pertemuannya dengan beberapa orang penting, seperti wakil presiden saat itu, Umar Wirahadikusumah yang sedang dirawat di ruang VIP dan kebetulan keluar kamar. Juga Marissa Haque yang sedang syuting di rumah sakit. Kekocakan itu membuat ketegangan mengikuti prosesi operasi menjadi turun.
Sayang, karena katup buatan itulah, Nurul terpaksa harus seumur hidup mengonsumsi obat pengencer darah. Seumur hidup! Ya, karena tanpa pengencer, kerja katup buatan itu akan menjadi berat dan tentu akan sangat berpengaruh terhadap kondisi jantungnya.
Ini sungguh buku yang menarik! Dengan bahasa yang lancar, diselingi humor di sana-sini (yang justru menguarkan rasa haru), Nurul F Huda bercerita tentang perjuangannya dalam menghadapi penyakit jantung, serta penyakit-penyakit lain yang menimpanya, seperti saat kakinya patah karena kecelakaan, tertusuk jarum, dan juga penyakit tuberkolosisnya.
Satu tujuan yang jelas diungkapkan Nurul adalah, bahwa ia ingin orang-orang yang diberi nikmat sehat bersyukur, bahwa kesehatan itu sungguh sangat mahal harganya. Akhirnya, 'pertarungan' Nurul melawan penyakit jantungnya memang dimenangkan olehnya, karena justru bukan jantung itu yang membuat Nurul meninggal, namun tuberkolosisnya. Dalam bukunya, Nurul mengakui, bahwa prahara rumah tangganya membuat ia tak rutin menjalani terapi pengobatan tuberkolosisnya. Ya, menjelang akhir hidupnya, Nurul harus berpisah dengan suaminya, karena sesuatu hal.
Meskipun di akhir cerita, Nurul agak kedodoran, tidak semengalir dan sekocak awal-awalnya, bisa dimengerti, karena saat menuliskan memoar ini, kondisi kesehatan Nurul memang semakin memburuk, secara umum, buku ini memberikan begitu banyak ibrah untuk kita semua.
Selamat jalan menuju keabadian, Mbak Nurul F Huda....
Saya sering memberikan gambaran tiga sikap manusia menghadapi ujian. Pertama, orang yang selalu mengeluh dengan keadaan yang dihadapinya. “Berat sekali ujian yang aku alami”, begitu ia selalu mengeluh setiap hari. Mereka ini harus kita hibur dan kita katakan, “Bersabarlah dengan apa yang engkau hadapi”. Kedua, orang yang menganggap ringan ujian yang dihadapi. “Kalau ujian seperti ini sih biasa”, begitu mereka merasakan. Kepada mereka ini kita katakan, “Istiqamahlah kalian”. Ketiga, orang yang menikmati ujian yang dihadapi. “Ujian ini yang membuat saya bergairah dalam hidup”, demikian ungkapannya. Kepada mereka kita katakan, “Selamat atas sikap kalian yang sangat positif, dan berbahagialah kalian”.
Nurul berada pada posisi ketiga, dimana ia telah berhasil menikmati apa yang dihadapi. Ia sanggup, ia tegar, dan berhasil mengambil banyak pelajaran. Dalam kacamata optimistik seorang Nurul, apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya adalah yang terbaik.
Apa gerangan yang membuat Pak Cah, demikian panggilan akrab beliau, menuliskan pengantar semacam itu? Saya pun membuka lembar-lembar berikutnya. Di bab awal, Nurul F Huda bercerita tentang ketidaknormalannya sebagai seorang penderita jantung bawaan. Ya, ternyata katup jantung beliau mengalami kerusakan permanen. Maka, jadilah sosok Nurul kecil yang tomboy, energik, penuh vitalitas itu berubah 180 derajat menjadi Nurul yang kurus kering, pucat, biru, serta mudah letih. Napasnya terasa berat namun cepat memburu. Rekan-rekannya di SD dan SMP pun akhirnya mengenal Nurul sebagai bintang kelas yang penyakitan, si pengidap penyakit jantung.
Ketika usia 14 tahun, Nurul akhirnya harus menjalani operasi jantung di RS Harapan Kita, Jakarta. Bersama Abah dan Ibunya, ia meninggalkan kota kecil, Purworejo, karena memang hanya di rumah sakit khusus jantung itulah peralatan yang lengkap didapat. Jalannya operasi secara detail ia ceritakan, semestinya membikin jantung berdebar saking tegangnya. Ya, saya memang tegang, membayangkan tatkala dokter menggergaji tulang dada Nurul, lalu mengangkat jantungnya dan mengganti katupnya yang rusak dengan platina. Logam berharga puluhan juta rupiah (di tahun 1990!) itulah yang akhirnya menimbulkan suara 'tik ... tik ... tik' dari dalam tubuh Nurul. Orang yang tak tahu, sering bertanya kepada Nurul ketika mendengar bunyi itu. "Suara apa itu? Suara jam ya?" Nurul dengan santai menjawab, "Ya, jam kehidupan!"
Uniknya, meskipun cerita tersebut menegangkan, dan membuat saraf saya ikut berdenyut nyeri, beberapa cengiran sering tak sengaja terbentuk di bibir saya, karena gaya penceritaan Mbak Nurul yang kocak. Misalnya, ketika ia bercerita tentang cs-nya di bangsal anak, Teddy. Sama dengan Nurul, Teddy juga pengidap kelainan jantung yang harus dioperasi di RS Harapan Kita. Saking bosannya menunggu jadwal operasi, mereka sempat merencanakan kabur. Namun, ternyata mereka 'tertangkap' oleh satpam dan dikembalikan ke ruang perawatan. Nurul dengan kocak juga menceritakan pertemuannya dengan beberapa orang penting, seperti wakil presiden saat itu, Umar Wirahadikusumah yang sedang dirawat di ruang VIP dan kebetulan keluar kamar. Juga Marissa Haque yang sedang syuting di rumah sakit. Kekocakan itu membuat ketegangan mengikuti prosesi operasi menjadi turun.
Sayang, karena katup buatan itulah, Nurul terpaksa harus seumur hidup mengonsumsi obat pengencer darah. Seumur hidup! Ya, karena tanpa pengencer, kerja katup buatan itu akan menjadi berat dan tentu akan sangat berpengaruh terhadap kondisi jantungnya.
Ini sungguh buku yang menarik! Dengan bahasa yang lancar, diselingi humor di sana-sini (yang justru menguarkan rasa haru), Nurul F Huda bercerita tentang perjuangannya dalam menghadapi penyakit jantung, serta penyakit-penyakit lain yang menimpanya, seperti saat kakinya patah karena kecelakaan, tertusuk jarum, dan juga penyakit tuberkolosisnya.
Satu tujuan yang jelas diungkapkan Nurul adalah, bahwa ia ingin orang-orang yang diberi nikmat sehat bersyukur, bahwa kesehatan itu sungguh sangat mahal harganya. Akhirnya, 'pertarungan' Nurul melawan penyakit jantungnya memang dimenangkan olehnya, karena justru bukan jantung itu yang membuat Nurul meninggal, namun tuberkolosisnya. Dalam bukunya, Nurul mengakui, bahwa prahara rumah tangganya membuat ia tak rutin menjalani terapi pengobatan tuberkolosisnya. Ya, menjelang akhir hidupnya, Nurul harus berpisah dengan suaminya, karena sesuatu hal.
Meskipun di akhir cerita, Nurul agak kedodoran, tidak semengalir dan sekocak awal-awalnya, bisa dimengerti, karena saat menuliskan memoar ini, kondisi kesehatan Nurul memang semakin memburuk, secara umum, buku ini memberikan begitu banyak ibrah untuk kita semua.
Selamat jalan menuju keabadian, Mbak Nurul F Huda....
15 komentar untuk "Sebuah Catatan Tentang "Hingga Detak Jantungku Berhenti""
saya hampir dtg ke acara bedah bukunya di solo, tapi nggak jadi.. :)
keren ditambah jempol deh..
hehehe...
http://armanrahman30.blogspot.com/
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!