Widget HTML #1

Melacak Akar Konflik Israel Palestina (2)



Lanjutan dari Melacak Akar Konflik Israel Palestina (1) dalam artikel bagian pertama, saya menuliskan tentang keyakinan Zionis tentang "Tanah yang Dijanjikan" yang oleh penulis Roger Garaudy disebut sebagai mitos. Berdasarkan mitos bahwa Palestina (dan bahkan Timur Tengah), merupakan tanah yang dijanjian Tuhan untuk mereka, maka mereka menjadikan hal itu sebagai sebuah keabsahan. Tatkala Bangsa Yahudi dibunuh dalam peristiwa Holocaust di Jerman oleh Nazi, mereka pun menjadikan Palestina sebagai tempat untuk pergi dari Jerman dan berkumpul di sana. Rupanya tak sekadar berkumpul, tetapi juga membentuk sebuah komunitas besar, menguasai berbagai hal, bahkan kemudian membentuk negara! Puncaknya, pada tahun 1948, Israel diproklamasikan sebagai sebuah negara.

Konsekuensi Berdirinya Israel Raya

Permasalahannya, di tanah yang dipilih menjadi negara Israel Raya, sejak ribuan tahun lamanya telah dihuni oleh bangsa Arab Palestina. Bahkan bukan hanya Muslim. Di sana, Muslim, Kristen, serta Yahudi, hidup berdampingan dalam keadaan damai. Mereka memiliki sistem sosial tersendiri. Maka, ketika mendadak terjadi migrasi besar-besaran dari bangsa Yahudi di seluruh penjuru dunia, jelas timbul perlawanan dari Bangsa Arab Palestina. Ini mirip dengan keadaan bangsa Indonesia saat munculnya penjajah Belanda. Orang Belanda mencaplok negeri yang telah turun temurun dihuni bangsa pribumi. Jika akhirnya kaum pribumi bergejolak, ini semata-mata karena penjajahan di seluruh muka bumi memang harus dihapuskan.

Permasalahan di Palestina semakin runyam dengan melekat kuatnya mitos ‘bangsa terpilih’ pada kaum Yahudi. Rabi Cohen, dalam Le Talmud (Paris: Payot, 1986 dalam Garaudy, 2000) mengatakan, “Penduduk dunia dapat dibagi antara Israel dan bangsa lain yang dianggap satu. Israel adalah bangsa yang terpilih: dogma pangkal.”

Dengan semangat superior, merasa sebagai ras tertinggi, orang pilihan, manusia premium, orang Yahudi memasuki tanah Palestina, mendirikan negara dan menganggap para pribumi—yakni bangsa Arab—sebagai subordinat. Sebagai pecundang. Persis seperti ketika orang Belanda memasuki negeri kita dengan congkak dan menyebut tuan rumah sebagai inlander.

Jadi, apa yang dilakukan oleh kaum Zionisme di Palestina adalah ‘resmi’ penjajahan. Maka, jika orang Palestina kemudian mengajukan perlawanan, itu adalah hal yang sangat lazim. Apalagi, secara psikologis, bangsa Arab adalah bangsa yang bebas merdeka. Buktinya, dari berbagai peradaban besar yang menguasai dunia, mulai dari Romawi, India, China ataupun Yunani, tak ada yang mampu menguasai tanah Arab secara mutlak. Jika pun ada peradaban besar yang berkuasa, maka itu adalah peradaban orang Arab sendiri, seperti Mesopotamia dan Mesir.

Sebagai solidaritas, maka seluruh bangsa Arab pun bergolak. Tercatat bahwa Mesir berkali-kali mengirimkan pasukannya untuk berperang melawan Israel. Demikian juga dengan Libanon dan Yordania. Hanya saja, kekuatan lobi zionis mampu meyakinkan Amerika Serikat untuk mendukungnya. Dan dengan pengaruh ekonomi yang sangat kuat di Tanah Arab, khususnya pada eksploitasi ladang-ladang minyak di Arab, Amerika Serikat memainkan perannya. Sebagian bangsa Arab yang begitu tergantung pada minyak, mendadak bungkam melihat negeri tetangganya belum juga mendapatkan kedaulatannya hingga kini. 

Palestina dan Kaum Muslimin

Doktor Yusuf Qardhawi, berkali-kali mengatakan, bahwa masalah Palestina sesungguhnya bukan masalah bangsa itu sendiri, namun juga masalah seluruh kaum Muslimin di dunia. Mengapa begitu? Jika kita melihat tarikh (sejarah) Islam, maka kita akan melihat bahwa Palestina—khususnya Masjidil Aqsha—merupakan tempat yang sangat bersejarah. Ketika menerima perintah shalat saat Isra’ Mi’raj, dari Masjidil Haram Rasulullah saw., singgah ke Masjidil Aqsha untuk kemudian menuju Sidratul Muntaha. 

Bahkan, jika memang Bangsa Yahudi bersikeras menggunakan terma "tanah yang dijanjikan" jika dalam bibel disebutkan tanah yang dijanjikan adalah Timur Tengah, maka saat ini Timur Tengah sudah dimiliki kaum yang satu tauhid dengan Bangsa Yahudi saat itu, saat zamannya Nabi Musa. Dalam perspektif Islam, Al-Quran telah menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya, termasuk bibel. Islam adalah agama terakhir yang mewarisi dan menyempurnakan ajaran Nabi-Nabi sebelumnya. 

Setidaknya ada dua hal yang patut direnungi Umat Islam yang merupakan petunjuk bahwa Muhammad SAW dan Islam, tidaklah terpisah dengan umat-umat sebelumnya yang menyembah Allah SWT. 

Pertama, sebelum ditetapkannya Ka’bah sebagai kiblat shalat, kaum Muslimin shalat menghadap Masjidil Aqsha. Rasulullah menetapkan bahwa Masjidil Aqsha adalah tanah suci kaum Muslimin setelah Mekah dan Madinah. Bahkan sebagian ulama mengatakan, bahwa selain mengunjungi Mekah dan Madinah, mestinya kaum Muslimin juga berziarah ke Masjidil Aqsha saat berhaji.

Kedua, saat Isra' Mi'raj, Rasulullah SAW singgah di Masjidil Aqsa, beribadah di sana, untuk kemudian berangkat ke Sidratul Muntaha.

Oke, bagi orang-orang non Islam, Yahudi dan Nashrani, mungkin hal-hal tersebut terdengar absurd. Tetapi, pahamilah, bahwa ketika Yahudi Zionis mengklaim Palestina dengan berdasarkan bibel mereka, mengapa Umat Islam tidak boleh melawan dengan keyakinan yang berdasarkan Al-Quran kami? 

Palestina dan Masalah Dunia

Meskipun umat Islam juga memiliki jawaban atas klaim Zionis, kalau saya pribadi cenderung tidak terlalu ingin memperuncing masalah agama. Karena, jika kita kemudian menggunakan sudut pandang agama, nanti kita akan mengobarkan Perang Salib jilid kesekian. Toh kenyataannya, saat ini kaum kristen di Palestina juga terjajah, sebagian kecil kaum Yahudi di dunia juga anti zionis. Bahkan, saya pernah bertemu seorang putra jendral Zionis, Miko Peled, yang sekarang sangat aktif menyuarakan pembebasan Palestina.

Saat ini, Palestina jelas dalam permasalahan sangat serius. Dalam kacamata hukum internasional adalah masalah penjajahan. Sangat ironis, di zaman modern, di mana masyarakat Indonesia sudah menikmati 78 tahun kemerdekaan, demikian pula negara-negara Asia-Afrika lainnya, ternyata masih ada negara yang masih dijajah. Palestina.

Maka kita pun harus melontar solidaritas. Indonesia bisa merdeka, selain dari perjuangan para pahlawan, juga tak lepas dari dukungan luar negeri. Sikap pemerintah Indonesia yang tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel sangat penting untuk kita dukung dan kita kuatkan selalu. Kita bersyukur, bahwa mayoritas negara Islam, dan negara-negara lainnya yang sangat menyadari tentang jahatnya penjajahan, tidak mengakui entitas Israel sebagai sebuah negara. 

Masalah lain di Palestina, adalah kemanusiaan. Sebenarnya ini implikasi dari penjajahan pula. Banyak kalangan mengkritik Israel sedang melakukan genosida dan etnic cleansing terhadap warga Palestina. Sejak 2006, Gaza, salah satu tempat dengan 2 milyar penduduk Palestina, diblokade dari segala penjuru, sehingga merupakan sebuah penjara terbuka di dunia. Akses ekonomi dihambat, bahkan listrik, air, bahan bakar, semuanya harus diakses dari Israel. Gaza adalah daerah terpadat, termiskin, terkumuh, dan bisa dikatakan merupakan tempat hidup yang paling tidak layak dihuni. 

Ketika dunia mendiamkan sebuah kejahatan mahabesar yang dilakukan oleh Israel, kita hanya ingin bertanya, masih manusiakah kita?

Jika kita tidak bersaudara dalam masalah agama, kita adalah sahabat dalam kemanusiaan. Bukankah begitu?


Posting Komentar untuk "Melacak Akar Konflik Israel Palestina (2)"