Widget HTML #1

Mengintip Pesona Pantai Srau


By Afifah Afra
Pernah dengar nama Pantai Srau? Terus terang, sebelum datang ke tempat itu, saya belum pernah—walaupun hobby saya adalah melancong. Padahal, pantai itu terletak tak jauh dari Solo, tempat tinggal saya, yakni di wilayah Pacitan. Where is Pacitan? Zamannya SBY nggak tahu Pacitan? Ya, kabupaten yang penuh dengan jalan berkelak-kelok, dengan kontur grafis yang penuh dengan bukit, jurang dan gua itu, adalah kota kelahiran presiden kita yang sekarang ini. Letaknya sebenarnya tak terlalu jauh dari Solo, sekitar 100 KM, namun karena medan yang ditempuh lumayan berat, dengan mengendarai kendaraan, kita membutuhkan waktu sekitar 4 jam.

Perjalanan yang Heboh
Saya berkesempatan mendatangi pantai keren ini 2 kali. Pertama, tahun 2005, lalu diulang lagi tahun akhir tahun 2007. Dan sampai sekarang masih ‘ngiler’ ketika ingat betapa indahnya pantai itu. Tetapi, karena pada perjalanan tahun 2007 tak terlalu banyak waktu untuk merekam hebohnya perjalanan itu, saya ceritakan perjalanan pertama saja, ya?
Pada tanggal 14 Agustus 2005, saya, suami, si junior Anis (saat itu baru berusia 9 bulan) dan beberapa orang teman satu kelompok pengajian berkesempatan melakukan rihlah (perjalanan) ke Pacitan. Rencananya sih, mau melancong ke Pantainya. Habis, sejak menikah, suami saya begitu gencar mempromosikan keindahan pantai-pantai di Pacitan. Jadi penasaran, deh! So, dengan mengendarai mobil yang disopiri suami saya, kami pun go! Nasyid Sautul Harokah yang disetel dengan volume tinggi membuat nuansa menjadi penuh semangat.
Well, perjalanan menuju Pacitan benar-benar menyenangkan. Sepanjang perjalanan, kami dimanjakan oleh panorama yang menawan. Meskipun jalan penuh dengan kelokan, naik turun, tikungan tajam serta hamparan jurang di kanan kirinya, rerimbun pepohonan membuat suasana menjadi sejuk serta indah. Cuma karena berkilo-kilo meter kami melulu menjumpai hutan, jadi deg-degan juga kalau-kalau di jalan ada masalah serius semacam mobil mogok. Alhamdulillah, tak ada masalah dengan mobil.
Eh, meskipun kanan kiri jalan dipenuhi tampilan yang memanjakan mata, ternyata ada juga rombongan kami yang tak mampu menikmatinya. Why? Ternyata jalan yang naik turun, berkelak-kelok dan penuh dengan tikungan tajam itu telah sukses membuat mereka... “mabuk lagi... ah!” Eh kok jadi nyanyi dangdut. Yup, hampir separuh dari kafilah kami teler. Gak terbiasa nge-off road sih, hehe! Kalah sama junior saya yang malah terkekeh-kekeh sepanjang perjalanan.

Waaw... Airnya Biru Kencling!
Percaya nggak, Friends... ketika mobil yang kami tumpangi menuruni sebuah turunin yang panjang, tampak oleh kami hamparan laut dengan warna biru yang terlihat sangat tajam. So, kami semua dibuat ternganga dengan warna laut yang baru sekali ini kami lihat. Biasanya, laut yang kami lihat birunya sudah agak pudar, bahkan keruh. Tapi yang ini? Kencling, Guys!
Wah... jadi pengin cepat-cepat!
“Sabar, Neng!” teriak sang sopir begitu melihat raut muka tak sabar kami, maklum... cewek kan biasanya grusa-grusu kalau melihat barang bagus. Eh, pengin tahu kenapa Bang Sopir bilang begitu? Soalnya, beberapa KM menjelang sampai pesisir, ternyata jalan berubah menjadi mirip sungai kering, gitu... So, harus ekstra hati-hati untuk tidak tergelincir masuk jurang. Ih, kalau yang ini benar-benar medan off road.
But, the show must go on!
Dan hasilnya? Dreng... deng... deng! Setelah berpayah-payah, akhirnya... surga dunia itu terbentang di depan mata. Sebuah pantai yang klasik, yang selama ini hanya kami lihat di gambar-gambar belaka.
Ombak bergulung-gulung indah, lantas pecah terhantam karang yang memagari pantai. Sementara, hamparan pasir putihnya benar-benar memikat.
“Ini bukan pasir, euy!” jelas seorang dari kami sambil meraih segenggam ‘pasir’ putih itu, “Tapi pecahan dari binatang-binatang laut seperti kerang yang menumpuk dan membentuk hamparan pasir!”
Kayaknya penjelasan teman saya itu benar deh, waktu saya belajar biologi laut beberapa tahun yang lalu, penjelasannya kurang lebih seperti itu.
“Eh, lihat... airnya jerniiih!” teriak Retno, salah seorang anggota rombongan. Kami pun sontak berlarian menuju air yang memang super jernih, nyaris tak ada sampah. Ini benar-benar pantai yang masih sangat alami, batin saya. Apalagi, binatang-binatang laut masih terlihat dengan jelas. Di sela-sela bebatuan kami bisa melihat, ada landak laut, bulu babi, ubur-ubur, udang hingga ikan-ikan kecil berukuran sejari yang kami kejar-kejar seperti anak kecil (hehe... masa kecil kurang bahagia kalee...). Pantai berbatu seperti Srau ini memang habitat yang sangat tepat bagi komunitas pantai.

Karang dan Gua!
Yang juga menakjubkan dari pantai Srau adalah karang-karang yang seakan memagari pantai. Selain itu, bukit-bukit yang menjadi benteng juga tak kalah menawan, karena pada sisi yang menghadap laut, kebanyakan berbentuk seperti gua. Jadi, inilah pantai yang tak menghitamkan kulit kami karena sengatan panas mentarinya, seperti umumnya pantai-pantai yang lain.
So, di dalam gua, seraya memandang ombak yang pecah menghantam karang (ini pun sebuah pesona yang benar-benar menawan), saya tak henti-hentinya bertasbih. Sedikit ketakutan yang muncul ketika memutuskan untuk rihlah ke Pantai Srau (soalnya pantai ini kan termasuk pantai Samudra Hindia—ingat peristiwa Tsunami di Aceh kan?), hilang seketika.
“Allah, aku datang untuk menyaksikan keindahan ciptaan-Mu...,” bisik saya, terharu. Beberapa teman yang berada di samping saya pun terlihat larut dalam keharuan.
Eh, ngomong-ngomong, dimana juniorku? Ternyata sedang bersama Abinya di tepi pantai. Di bawah batang-batang pohon Nyiur yang daunnya melambai-lambai terkena derasnya angin laut. O, ya... harga kelapa muda disini murah lho! Hanya dengan uang Rp 2500 (saat itu, lho... 6 tahun yang lalu), kami sudah bisa menghirup air kelapa muda yang segar dari buahnya langsung, serta menikmati manis buahnya yang putih. Hmm....
Sayangnya, di pantai yang sangat alami ini, jarang terdapat warung makan. Padahal saya dan suami belum sempat sarapan tadi pagi. So, kalau kamu mau rihlah ke sini, bawa persediaan makanan yang banyak ya? Eh, kata seorang pemandu wisata yang kami temui, kalau mau menyusuri pantai hingga Pantai Watukarung yang terletak beberapa KM dari Pantai Srau, kamu bisa mendapatkan sejuta pesona yang tak akan terlupakan seumur hidup lho!
Sayang,  jalan menyusur pantai itu hanya bisa dijamah dengan kaki, motor trail, atau jeep semacam trooper atau landcruiser. Kalau mobil carry yang kami tumpangi, susyeh! Bisa-bisa mobil malah ngusruk tak bisa jalan karena kandas terkena bebatuan. Sementara untuk jalan kaki, kami nggak siap amunisinya. Yah, lain kali aja deh!

Pantai Watu Karung
Tapi kami tidak terlalu kecewa, soalnya Pantai yang diceritakan di atas, ternyata bisa juga dijamah dengan menggunakan jalan lain yang sudah diaspal halus. Namun jaraknya lumayan jauh, bo! Karena waktu masih cukup, kami pun memutuskan untuk go kesana.
Pantai Watu Karung, seperti pantai-pantai di Pacitan pada umumnya, juga merupakan pantai berbatu dengan air yang jernih. Meski tak seeksotis Pantai Srau, ada banyak kekhasan yang asyik juga kalau kita nikmati. Bentuknya yang berupa teluk membuat pantai itu menjadi sebuah pelabuhan alami, di mana puluhan perahu nelayan ditambatkan. Berbeda dengan Srau yang sepi, pantai ini lumayan ramai. Maklum, terdapat sebuah TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di situ. Sayang, pas kami datang, aktivitas pelelangan sudah berakhir. Padahal pengin juga beli cumi-cumi atau tengiri dengan harga murah. Kan kalau dimasak dengan bumbu kecap pedas, lezat juga cing!
“He... sudah sore nich!” teriak Sittah, ketua rombongan. “Pulang yuk, nanti kemalaman sampai Solo!”
Akhirnya, aktivitas kami pun purna. Kalau diperbolehkan, mau juga nginep di sini, berkemah dan melihat sunset ataupun sunrise yang pasti sangat indah. Tapi, time is expensive, Non!
Kami pun pulang, melewati jalan yang menawan namun penuh tanjakan, turunan dan tikungan tajam.
Hoeek... hoeeek! Para ‘pemabuk’ pun kembali beraksi. Tetapi junior saya, Anis malah terkekeh-kekeh sambil mengoceh tiada henti.



Posting Komentar untuk "Mengintip Pesona Pantai Srau"