Father, How Are You Today?
Jika Anda membaca judul tulisan di atas tersebut, saya harap tidak lantas berprasangka yang enggak-enggak. Misalnya, saya bisa menerawang ke alam ghaib, atau bisa berkomunikasi dengan orang yang telah meninggal. Memangnya saja paranormal. Ya, ruh seseorang yang telah terlepas dari raga, ada dalam genggaman Allah di alam barzakh. Ajaran agama saya mengajarkan, bahwa tidak ada istilah ruh yang bergentayangan dalam bentuk pocongan, kuntilanak, apalagi semacam suster ngesot yang berkeliaran mencari orang yang membunuhnya. Kalaupun ada penampakan, itu semata ulah jin yang ingin menggoda manusia, dengan menyerupai, dan ‘mengaku-aku’ ruh si X, si Y, si Z. Wallahu a’lam.
Tetapi, saya percaya, bahwa ruh yang sudah meninggal, bisa mengirim pesan kepada orang-orang terdekatnya dalam bentuk mimpi. Dikisahkan, seorang Shahabat meninggal dalam keadaan meninggalkan hutang. Lantas, ia mendatangi seseorang dalam mimpinya, dan mengabarkan bahwa ia masih punya hutang kepada si fulan, dan meminta tolong orang tersebut untuk melunasi hutang tersebut. Subhanallah, ini bisa menjadi sebuah pengingat kepada kita semua, bahwa hutang itu bukan perkara main-main, Sobat! Ia bisa menghambat perjalanan kita menuju surga. Sebisa mungkin, lunasilah. Dan jangan suka nambah-nambah hutang, apalagi untuk sesuatu yang tak terlalu kita butuhkan. Jika ada yang bilang, “hidup tanpa hutang, laksana malam tanpa bintang.” Jawab aja dengan perkataan, “Iya, malam dengan tujuh bintang. Alias bintang tujuh. Alias obat sakit kepala.”
Suka suka prihatin sama orang yang senang berhutang, dan bahkan menjadikannya sebagai gaya hidup. Lihat tuh yang pada bawa kartu kredit. Itu kan sebenarnya hutang. Tetapi kesannya sok keren. Gengsi gede-gedean. Kena sodok debt collector tahu rasa!
Lho, kok jadi melantur. Tak apa, kawan. Ciri khas blogger dalam menulis, memang begini ini. Suka ngelantur kesana-kemari.
Kembali ke jalan yang lurus, yuk! J
Suatu hari, saya bermimpi bertemu bapak. Ada rasa haru yang mendadak menyangat. Bapak, yang meninggal bulan April kemarin dalam usia 71 tahun, di mimpi saya terlihat langsing (padahal beliau gemuk), muda, dan ganteng. Seperti masih berusia 30-an. Beliau tidak berbicara, hanya menatapku dengan wajah berseri.
Aku tersentak. Rasa rindu seketika menghentak. Apa kabar Bapak di alam barzakh sana? Apakah mimpi itu hanya sekadar bunga tidur saya, ataukah memang pesan yang hendak Bapak sampaikan ke saya? Bahwa Bapak dalam kondisi nyaman. Alam kuburnya terang benderang dan lapang.
Ada beberapa jenis mimpi, kata para psikolog. Mimpi orang awam adalah sekadar bunga tidur. Biasanya, ia adalah refleksi dari apa yang kita alami atau kita pikirkan sehari-hari. Misalnya, seorang lelaki lajang yang sedang ingin menikah, mendadak mimpi bertemu calon istri (ini romantis, apalagi jika calon istrinya belum pernah dikenali, hihi). Atau ketika kita bertengkar dengan seseorang, mendadak pertengkaran itu terbawa hingga alam mimpi (kalau ini menyebalkan, bukan?).
Sedangkan mimpi yang kedua, adalah mimpi orang shaleh. Mimpi jenis ini adalah petunjuk. Misalnya mimpi Nabi Yusuf a.s. yang sangat terkenal itu. Atau mimpi seseorang yang didatangi Shahabat dan mengirim pesan agar hutangnya dilunasi, seperti yang dijelaskan di atas.
Nah, sekarang, saya harus berkaca. Saya termasuk yang mana? Kalau memasukkan kategori shalih... ih, berat banget! Ibadah saja kadang malas, menjalankan amanah seringkali merasa berat, dan masih suka mengerjakan hal yang sia-sia, misalnya nge-game berlebihan, ngeblog kelamaan, dan facebook-an sampai lupa waktu. Jadi, saya jelas bin pasti, masuk kategori orang awam.
Jika begitu, mimpi bertemu Bapak dalam kondisi bugar itu, adalah sekadar bunga tidur belaka. Tepatnya, itu adalah harapan saya akan kondisi Bapak di alam barzakh sana. Siapa yang tidak menginginkan orang yang kita cintai dalam kondisi bahagia? Bagaimana kondisi beliau sebenarnya? Wallahu a’lam bish-shawwab.
Tetapi, harapan bisa jadi kenyataan. Asal Allah berkehendak, kun fayakun! Saya berprasangka baik, bahwa Bapak insya Allah Diringankan siksanya, Dimaafkan dosa-dosanya, serta Diberikan keluasan Rahmah-Nya. Dan, bukankan dalam sebuah hadist qudsi, Allah berfirman, "Ana 'inda dzoni 'abdii—Aku ini menurut prasangka hamba-Ku". Jadi, marilah berprasangka baik, Sobat.
Para ulama mengajarkan, bahwa amalan seseorang itu telah terputus kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak shaleh. Soal sedekah, Bapak adalah orang yang sangat dermawan. Soal ilmu yang bermanfaat, beliau adalah seorang guru, dengan total murid ribuan jumlahnya, karena beliau telah mengajar sejak akhir tahun 50-an. Sedangkan doa anak-anak shalih, ya Allah... berikan kami kemampuan untuk mendapatkan derajat sebagai orang-orang yang shalih dan shalihah, kemudian senantiasa berdoa dengan tulus: Allahummaghfirlaha warhmaha wa’afihi wa’fuanha ...
Jadi, insya Allah, Bapak sudah tenang di sana. Ditambah sebelum meninggal, beliau menderita sakit yang cukup lama. Bukankah sakit itu, bagi seorang muslim, adalah penggugur dosa-dosa, jika bersabar menghadapinya. Terlebih lagi, ini yang menggembirakan. Bapak sudah tak lagi berurusan dengan kemusyrikan. Dulu, saat muda, bapak dikenal sebagai seorang ‘dukun’ beraliran putih. Artinya, beliau memiliki ‘kesaktian’ tetapi tidak mau digunakan untuk hal-hal semacam mencari uang, mengganggu orang, sebaliknya bahkan untuk menolong orang. Bapak yang memiliki darah keraton Mangkunegaran, konon sering bertemu dengan ruh Pangeran Sambernyowo, alias Mangkunegara I. Beliau pernah mengalami masa-masa kejayaan, dengan murid-murid yang cukup banyak jumlahnya.
Entah putih, apalagi hitam, dalam Islam, tetap saja ketika itu didapatkan dari berhubungan dengan jin, adalah sebuah kemusyrikan. Alhamdulillah, Bapak telah lama bertaubat.
Sejak beliau memutuskan segala hubungan dengan masa lalunya itulah, konon, kata orang-orang, tubuh beliau menjadi lemah. Puncaknya saat terserang penyakit infeksi paru-paru, yang membuat beliau dipanggil Allah SWT.
Ya, beliau telah tiada, dan insya Allah tenang di alam barzakh. Dan mudah-mudahan, terus mendapatkan ‘royalti’ dari amalan-amalan beliau yang tak terputus meski beliau telah meninggal. Sekarang, justru sayalah yang harus banyak berbenah. Bisakah saya tetap istiqomah dalam jalan keislaman saya, dan mendapatkan kematian yang khusnul khatimah? Agar kelak, saat anak saya menuliskan artikel ‘Mother, How Are You Today?’ maka harapan sang anak bahwa saya tenang di alam barzakh, adalah sebuah kenyataan. Astaghfirullahal ‘adziim. Ya muqollibal quluub tsabit qolbi ‘alaa diinika...
*Saat terbebat rindu pada almarhum ayahanda...*
3 komentar untuk "Father, How Are You Today?"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!