Suamiku, Rivalku (Menuju Surga)
Hari itu, ada sebuah perbincangan antara saya dengan suami, yang saya anggap menarik untuk dijadikan topik diskusi di sini. Awalnya, karena sebuah kesibukan, saya belum sempat membereskan piring-piring yang berserakan di dapur. Nah, begitu kesibukan itu purna, saya melihat dapur sudah bersih. Suami saya berdiri sambil memamerkan senyumnya. "Mi, aku sudah cuci piring, lho!"
"Bagus, Abi hebat," pujiku.
"Tapi, kan, mestinya Umi yang cuci."
"Wah, begitu ya? Di dalam Islam, pekerjaan rumah tangga itu siapa yang cepat mengerjakan, dia yang dapat pahala, tak peduli dia suami atau istri."
Suami saya nyengir lagi. "Kalau begitu, yang dapat pahala Abi, kan? Bukan Umi?"
* * *
Apa sih, pentingnya obrolan semacam itu, sehingga harus dilontarkan di sini?
Penting! Karena kultur patriarkhi memang sudah sedemikian menguat, mengakar, dan merambah ke alam pemikiran kita. Dalam masyarakat berkultur demikian, para perempuan cenderung menjadi subordinat, alias pelayan lelaki. Pada masyarakat tradisional, aktivitas perempuan malah hanya berkisar pada 3-ur alias dapur, sumur dan kasur. Dapur, berarti aktivitas memasak alias penyediaan logistik. Sumur, identik dengan cuci-mencuci, atau pekerjaan bersih-bersih. Kasur... ya, TST lah! Tahu Sama Tahu!
Beranjak modern, pemikiran semacam itu tak juga berubah. Tak jarang kita jumpai, seorang istri yang juga mencari nafkah, tetapi ia tetap mengurusi seabrek pekerjaan rumah tangga. Ia juga yang mengurusi A to Z tentang anaknya, mulai dari memandikan, memakaikan baju, hingga menceboki ketika baru ee'. Sementara, si suami, begitu pulang dari kerja, asyik nonton TV, baca koran, atau main badminton bersama tetangga.
Jika demikian, betapa berat pekerjaan seorang perempuan, apalagi jika ia pun ikut membantu suami mencari nafkah?
Dalam pemahaman saya sebagai muslim yang serbaterbatas ini, Rasulullah telah memberikan begitu banyak contoh, bahwa beliau pun ikut andil dalam urusan rumah tangga. Dalam beberapa hadist shahih, diriwayatkan bahwa Rasul menjahit bajunya sendiri, menambal sandalnya sendiri, dan mengerjakan berbagai urusan rumah tangga lainnya. Ini berarti, seorang suami pun mestinya terlibat pula dalam urusan-urusan domestik, berbagi peran, dan saling tolong menolong. Bukankah Allah telah berfirman,
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain..." (QS At-Taubah: 71)
Jadi, sungguh seorang lelaki yang mau meringankan beban istrinya saya kira adalah lelaki yang sangat mulia. Mereka tak segan-segan menggulung lengan bajunya, memandikan anak-anak, memakaikan baju, bahkan membersihkan eek anak-anak tanpa merasa jijik. Juga tak segan-segan memijat si istri yang kecapekan, atau bahkan membuatkan teh panas saat ia kedinginan. Prikitiuuuuw!
Sebagai istri, saya sering menerima 'perilaku' semacam itu dari suami saya, dan apakah rasa hormat saya kepada suami menurun karena 'pelayanan' tersebut? Tidak! Justru rasa hormat, cinta, dan sayang saya kepadanya semakin mendalam.
Sebagai istri, saya sering menerima 'perilaku' semacam itu dari suami saya, dan apakah rasa hormat saya kepada suami menurun karena 'pelayanan' tersebut? Tidak! Justru rasa hormat, cinta, dan sayang saya kepadanya semakin mendalam.
"He's really a gentleman!"
Saya sangat meyakini, bahwa urusan-urusan rumah tangga adalah sebuah ajang fastabiqul khairat. Ajang berlomba-lomba dalam kebaikan. Siapa cepat, dia dapat! Maksudnya dapat pahala. Menyapu, mengepel, memasak, adalah ajang fastabiqul khairat. Nah, karena sebuah perlombaan itulah, maka semangat memenangkan perlombaan semestinya sama frekuensinya antara suami dan istri. Bisa dikatakan, suami kita adalah rival kita. Jika pemikiran semacam itu melekat kuat di benak kita, maka semakin banyak kita melakukan kebaikan, semestinya kita merasa semakin senang.
Jadi, artikel ini tidak ditujukan kepada para istri, agar mereka menggugat para suami mereka yang mungkin masih berkultur Denmas alias Ndara yang selalu minta dilayani. Akan tetapi, saya menulis artikel ini agar ketika para istri tengah terbenam dalam kesibukan rumah tangga, mereka mengerjakan sepenuh keihklasan.
Sekaligus, saya juga ingin menyeru para pria, bahwa di dalam rumah mereka pun terbentang peluang untuk beramal shalih. Hayo, jangan biarkan pahala di dalam rumah itu diambil oleh istri Anda semua. Rebutlah pahala itu! Ketika anak Anda eek' misalnya, cepat-cepatlah ambil anak itu, bawa ke kamar mandi, dan bersihkan. Jangan justru melemparkan tanggungjawab kepada istri Anda. "Mi, adek eek tuh!" Wah, berarti Anda telah menyia-nyiakan sebuah peluang mendapatkan pahala. Rugi, kan?
Sekaligus, saya juga ingin menyeru para pria, bahwa di dalam rumah mereka pun terbentang peluang untuk beramal shalih. Hayo, jangan biarkan pahala di dalam rumah itu diambil oleh istri Anda semua. Rebutlah pahala itu! Ketika anak Anda eek' misalnya, cepat-cepatlah ambil anak itu, bawa ke kamar mandi, dan bersihkan. Jangan justru melemparkan tanggungjawab kepada istri Anda. "Mi, adek eek tuh!" Wah, berarti Anda telah menyia-nyiakan sebuah peluang mendapatkan pahala. Rugi, kan?
8 komentar untuk "Suamiku, Rivalku (Menuju Surga)"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!