Widget HTML #1

Awas, Jangan Biarkan Kapal Ini Karam

Apa yang terpikir di benak teman-teman saat membuka-buka lembaran surat kabar, menyaksikan tayangan di televisi, membaca postingan-postingan di internet maupun media sosial, bahkan juga dari berbagai SMS dan BBM yang berseliweran? Tampaknya, kita bersepakat, bahwa selalu saja terpampang berita-berita buruk yang bikin hati terajam tak keruan. Seringkali, ada juga di antara kita yang lantas mendesah, sambil melempar koran berisi berita buruk ke meja, "Ah, kiamat sudah dekat, kalee!"

Bagaimana tidak? Saban hari, kita selalu dijejali berbagai hal yang bikin nyesek. Mulai dari kasus korupsi yang begitu telanjang, konflik antar parpol dan elite politik, sampai heboh geng motor dan juga munculnya 'tulisan-tulisan aneh bin ajaib' yang uniknya ada di buku-buku pelajaran anak-anak kita.

Mendadak, saya teringat pada ayat ini, "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tak hanya menimpa orang dzalim saja di antara kamu ..." (QS. Al-Anfaal: 25).
Saya masih ingat, saat hendak mengikuti sebuah acara kaderisasi khusus mahasiswa muslim, 13 tahun yang lalu, saya disuruh menghapal dan membaca tafsir ayat tersebut. Saya begitu takjub membaca tafsirnya. Hingga sekarang, tafsir ayat ini menjadi salah satu favorit saya untuk kultum atau ceramah, apalagi yang sifatnya dadakan.
Kalau di tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa ada siksaan/ fitnah yang jika terjadi, maka yang terkena siksaan bukan hanya yang zalim saja. Tetapi, orang shaleh juga kena. Yakni  jika orang shaleh itu membiarkan kerusakan terjadi tanpa upaya mencegahnya. Hadist dari Imam Ahmad, yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, di bawah ini barangkali bisa menjelaskan duduk permasalahannya.
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bila perbuatan-perbuatan maksiat di tengah umatku telah nyata, maka Allah akan menimpakan azab-Nya kepada mereka secara merata.' Ia berkata, 'Lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bukankah di tengah mereka itu ada orang-orang yang shalih.?’ Beliau menjawab, 'Benar.' Ia berkata lagi, 'Bagaimana jadinya mereka?' Beliau bersabda, 'Apa yang menimpa orang-orang (akan) menimpa mereka juga, kemudian nasib akhir mereka mendapatkan ampunan dan keridlaan dari Allah.'”

Hal tersebut, bisa dianalogikan pada peristiwa yang terjadi di sebuah kapal, seperti yang tercantum di bawah ini:
"Perumpamaan orang yang melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah dan orang yang melanggarnya, adalah seperti suatu kaum yang mengadakan undian di atas sebuah kapal. Maka sebagian di antara mereka mendapat bagian atas kapal, sedangkan sebagian lagi mendapat bagian di bawahnya. Orang-orang yang tinggal di bagian bawah kapal, apabila hendak mencari minum, mereka harus (ke atas kapal) melewati orang-orang yang tinggal di bagian atas kapal (dan ini kadang mengganggu mereka yang di bagian atas kapal). Mereka (yang di bagian bawah kapal) lalu berkata, 'Alangkah baiknya kalau kita membuat lubang di bagian kita (bagian bawah kapal) sehingga kita tidak sampai mengganggu orang di atas kita'. Maka apabila mereka (yang di atas kapal) membiarkan mereka (yang di bawah kapal) bersama keinginan mereka itu, mereka semua akan binasa (tenggelam). Tapi apabila mereka (yang di atas kapal) mencegah mereka (yang di bawah kapal), selamatlah mereka semua." (HR. Al Bukhari dari Al Nu'man bin Basyir r.a.) .

Dari hadist tersebut, tampak jelas, bahwa orang-orang yang shaleh, harus aktif mencegah kerusakan yang timbul dalam bidang apapun. Karena, bisa jadi kerusakan itu akan berefek juga terhadap kaum beriman, seperti analogi penumpang kapal tadi. 

Lalu, cobalah lihat yang terjadi di sebuah 'kapal' bernama Republik Indonesia ini? Para cecunguk berkeliaran di sana-sini, memajang aksi. Cecunguk itu merongrong negara, meracuni masyarakat, merampok uang negara, mengangkangi negara, dan menghancurkan sedikit demi sedikit bangunan negara. Mereka membolongi kapal negara dari segala penjuru. Kita harus bertindak, sesuai kemampuan kita. Kerusakan harus dicegah, agar kita tidak ikut merasakan pedihnya menjadi warga negara yang karam  
Itulah, mengapa kewajiban mukmin bukan hanya 'amar ma'ruf' (mengajak pd kebaikan), tetapi juga nahy munkar (mencegah dari keburukan). Ini yang menurut saya sangat berat. Pernah seorang Ustadz, saat saya mahasiswa dulu berkata, "Amar ma'ruf itu relatif lebih mudah daripada nahy munkar..." Sebab, kata beliau, orang memang cenderung tak bereaksi negatif saat diajak berbuat baik, misalnya, "Yuk ikut kajian, yuk shalat, yuk pakai jilbab!" Tetapi, biasanya ia akan bereaksi negatif jika keburukan yang ia lakukan diungkit ... Maka, kita sangat sering mendengar istilah STMJ. Shalat Terus, Maksiat Jalan. Haiyaa... banyak sekali yang seperti ini ... karena, maksiat itu, kalau mau jujur, enak dikerjakan!

Jujur, saya juga termasuk orang yang sering pilih-pilih, alias lebih pilih beramar ma'ruf, kalau ini paling semangat, tetapi jika disuruh nahy munkar, suka pikir-pikir :-(  Misalnya, ada seseorang yang jelas-jelas melanggar aturan, ketika diminta menegur, saya lemparkan ke orang lain. "Bapak aja, deh, yang lebih senior ..."

Mengapa begitu? Karena konsekuensi nahy munkar memang lebih berat. Jika ada orang yang Anda ajak melakukan kebaikan, biasanya mereka akan menganggap Anda baik. Kalaupun ia tak menerima ajakan Anda, citra Anda tetap baik di matanya. Tetapi, jika Anda menegur dia karena bermaksiat, saya yakin, Anda akan dimusuhi. "Rese amat Lu jadi orang." Apalagi jika maksiat itu terkait dengan urusan terancamnya bisnis mereka dan sebagainya.
Kita bisa melihat, bapak-pak di KPK RI, banyak yang malah jadi sasaran tembak, dikriminalisasi, digoyang sana-sini dan sebagainya. Ada juga yang sengaja dipelintir kasus-kasusnya, diboomingkan yang tidak penting, sementara esensi nahy munkarnya malah disamarkan. Tampaknya Anda tahu sendirilah soal ini :-)  

Lewat QS. Al-Anfaal: 25, Allah menyuruh kita untuk tidak hanya sibuk dalam amar ma'ruf, tapi juga nahy munkar. Keduanya harus imbang, jangan berat sebelah, biar Al-Islam tegak di muka bumi ini. Setuju? Siap berjuang?!

Posting Komentar untuk "Awas, Jangan Biarkan Kapal Ini Karam"