Ontran-Ontran Sembilan Delapan
Hari ini, 21 Mei 2012. Sebagai orang Solo, tentu Siti tahu, peristiwa apa yang terjadi 14 tahun yang lalu. Sebelum presiden Suharto lengser di tahun 1998, beberapa hari sebelumnya, Solo sempat porakporanda karena amuk masa.
Saat itu, usianya baru
sembilan tahun. Masih bersekolah, kelas 4 SD. Ia tengah asyik bermain bersama
teman-temannya di halaman rumah, ketika Lik Narto berlarian, tergopoh-gopoh
memasuki regol. Wajahnya pucat pasi. Napasnya terengah-engah. Tangannya
gemetaran seperti orang tremor.
“Yu, ciloko, Yu!” teriaknya, memanggil-manggil nama ibu Siti.
“Ada apa, to, Narto? Lha, kenapa dirimu masih pagi
begini sudah pulang dari kerja?”
“Celaka, Plaza Beteng
dibakar, Yu. Solo sudah jadi lautan api. Kantor BCA, dan toko-toko di Gladak
juga dibakar,” cerita Lik Narto, dengan terbata-bata. Lik Narto memang bekerja
sebagai tukang parkir di Plaza Beteng, salah satu pusat perbelanjaan terbesar
di Solo saat itu.
“Lhadalah!” seru Ibu Siti. “Pantesan, tadi kok ada asap hitam tinggi
sekali dari arah Gladak.”
“Ndak Cuma Gladak, Yu. Semua …
hampir semua toko-toko di Solo dibakar masa!” lengking Lik Narto. “Mengerikan
sekali. Gading, Pasar Legi, Nonongan, Purwosari, semua dibakar.”
“Lha, kok pada bakar-bakaran
begitu? Memangnya kenapa?”
Pakde Citro, yang melihat
percakapan itu, seketika berlarian mendekat. “Ada apa, Narto?”
“Solo kobong, Mas. Dibakar orang-orang!”
“Oh, jadi Solo juga kena?”
Pakde Citro melotot. “Ini terjadi, karena para mahasiswa pada marah, sebab
tentara menembak mati beberapa mahasiswa yang demo kemarin.”
“Jadi, yang mbakar toko-toko
dan kantor itu para mahasiswa?” pelotot Yu Darsi, ibu Siti. “Ndak mungkin. Masa
mahasiswa yang bakar-bakaran. Ndak mungkin, ah! Aku ndak percaya. Mereka itu
masih muda-muda, masih polos, mosok tega bakar-bakaran?”
“Tak mungkin mahasiswa,” ujar
Lik Narto. “Saya melihat sendiri, yang membakar Plaza Beteng itu orangnya sudah
terlihat dewasa. Banyak yang berbadan tegap dan berambut cepak, malahan. Gusti
Allah, mengerikan sekali. Ndak cuma gedung yang dibakar, mobil-mobil dan
motor-motor juga dibakar. Mereka seperti kerasukan setan. Seperti bukan
manusia. Banyak juga di antara mereka yang menjarah barang-barang yang ada di
toko. Benar-benar kerasukan iblis!”
Siti dan teman-temannya, yang
mengintip dari balik pintu ikut merinding.
“Pasti ada yang bermain di
belakang layar. Mereka menunggangi suara murni mahasiswa yang meneriakkan
reformasi,” desis Pakde Citro. “Saya juga ndak percaya kalau pelaku kerusuhan
ini para mahasiswa.
“Yu Darsiiii, Pakde
Citrooo!!!” kini terdengar lagi lengkingan suara, Bulik Srini. Sama seperti Lik
Narto, perempuan muda yang sehari-hari bekerja sebagai SPG di sebuah toserba
itu pun pucat lesi. Ia berlari kencang, masih berseragam SPG, dan sampai di
depan kedua kakaknya, dia terjatuh menggelosot.
“Opo, Sri?”
“Ratu Luwes Pasar Legi diobong.
Yang mati banyak! Barang-barang dijarah,” tangis Bulik Srini pecah. “Mereka
hangus terbakar api. Gusti Allah, kok bisa jadi gini ….”
“Siapa mau ikut saya?”
mendadak mas Wandi, anak Pakde Citro keluar, membawa helm dan mengenakan jaket.
“Mau kemana, Wan?”
“Lihat-lihat!”
Sejurus kemudian, motor
pemuda tanggung yang juga seorang mahasiswa itu melesat keluar, meninggalkan
kepulan asap tebal.
* * *
Logika bocah Siti sungguh tak
mampu memahami peristiwa yang terjadi. Konon, kata Pakde Citro, ontran-ontran
itu terjadi karena rakyat marah kepada Presiden Suharto.
“Kenapa marah, to, Pakde?
Lha, Presiden Suharto kan baik banget. Kemarin saja, temanku nulis surat sama
presiden, trus diberi hadiah buku, pensil dan pulpen,” kata Siti.
“Karena Pak Harto itu itu
punya banyak musuh. Pak Harto itu takut kalau kekuasaannya hilang, jadi dia
sangat kuat dalam menekan lawan-lawannya, khususnya yang berbeda aliran politik.
Kalau ada yang ndak sependapat, langsung ditangkap, dikira menghina presiden,
melanggar pasal subversif, begitu ….”
Siti yang saat itu masih 9
tahun menerawang, mencoba mencerna ucapan Pakdenya itu. Namun yang muncul dalam
bayangannya, justru sosok Pak Harto itu yang baginya sangat berwibawa. Lihat,
kalau pake peci dan jas, beliau tampak gagah sekali. Siti juga rajin nonton
film G 30 S PKI, meski selalu tutup mata dan kuping jika adegan penyiksaan itu
dimulai. Siti paling senang jika adegan Pak Harto muncul di film itu. Menurut
Siti, Pak Harto itu ganteng sekali. Oh, bukan cuman Siti lho yang bilang.
Teman-teman yang lain juga.
“Ndak cuma soal sikap otoriter
Pak Harto,” timpal Wandi, yang mahasiswa dan aktif sekali di berbagai kegiatan.
“Tapi juga karena Pak Harto dan keluarganya, termasuk kroni-kroninya menganggap
Indonesia ini sebagai miliknya. Kekayaan negara dimonopoli. Pokoknya, pengusaha
yang ndak dekat sama istana, ya ndak kebagian. Korupsi merajalela dimana-mana.”
“Itu juga jadi penyebab
penting,” kata Pakde Citro. “Jangan lupa juga tentang krisis ekonomi yang
gila-gilaan ini. Masak 1 dolar sampai mencapai 15 ribu rupiah, ini kebangeten.
Sebentar lagi, masyarakat semua akan jatuh miskin kalau begini jadinya.”
Siti garuk-garuk kepala. Ia
juga pernah marah kepada Joko, temannya yang menurutnya sangat keras—kalau menurut
mas Wandi, otoriter namanya. Joko itu ketua kelas di sekolah. Joko selalu
menuruti apa katanya, dan tak mau mendengar yang lain. Misalnya, ketika
anak-anak di kelasnya minta pikniknya ke Tawangmangu, ia malah memutuskan untuk
ke Taman Njurug. Ia berdusta kepada Pak Guru, mengatakan bahwa semua anak kelas
4 setuju pikniknya ke Taman Njurug. Joko juga sering memakai uang iuran
anak-anak di kelas 4 untuk jajan. Itu namanya korupsi, kata Mas Wandi, saat Siti
mengadu.
Siti dan teman-teman di kelas
4 SD Nusukan sangat benci dengan Joko. Tapi mereka tak pernah berpikiran untuk
membakar rumah Joko.
* * *
Siti kecil tertegun membaca
sebuah koran milik Mas Wandi. Ia terbelalak ngeri melihat foto-foto hasil
ontran-ontran itu. Kartasura, Purwosari, Gladak, Gemblegan, Solobaru, Jebres,
Nonongan dan pusat-pusat bisnis di kota Solo lainnya, terlihat tinggal
puing-puing yang menghitam karena hangus. Mobil dan motor pun teronggok di
sana-sini. Puluhan mayat yang hangus ditemukan di antara sisa-sisa kebakaran.
Siti merinding.
“Baca apa, Sit?” tanya Mas
Wandi.
Siti tak menjawab, hanya
menunjuk pada koran di depannya. Wandi cepat-cepat meraih koran itu dan
menyimpannya. “Anak kecil jangan lama-lama melihat foto ini. Bahaya. Ni, lihat!
Aku bawa hadiah buat kamu.”
Wandi menyerahkan tas plastik
hitam kepada Siti. Cepat si bocah membukanya, dan ternganga, melihat dua buah
sepatu berwarna pink yang sangat bagus di sana. “Ini buatku?”
“Ya. Bagus kan?”
Siti dengan girang
mencobanya. Pas sekali. Tapi, ada yang aneh. Sepatu itu, untuk kaki kanan
semua.
“Darimana kau dapatkan sepatu
ini?” sentak Yu Darsi, tiba-tiba. “Menjarah ya?”
Wandi pucat.
“Mahasiswa macam apa, kamu!
Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Semarah apapun rakyat kepada
penguasa, jangan lancungkan harga diri dengan mencuri.” Yu Darsi meraih sepatu
itu, memasukkan ke dalam tas, dan melemparkan ke arah Wandi. “Saya hargai
perjuangan mahasiswa. Tetapi, mahasiswa semacam kamu, bisa menghancurkan kemurnian
gerakan yang kalian sokong dengan kejadian ini. Kaulah yang justru menjadi
pengkhianat gerakan reformasi.”
Menjarah? Artinya, mencuri?
Jadi, Wandi ikut mencuri?
Aaargggh… otak di kepala Siti
kecil semakin mendidih karena ketidakmengertiannya.
12 komentar untuk "Ontran-Ontran Sembilan Delapan"
#Apa mungkin karena ditulisnya sekarang?
Org yg pantas kamu tangisi tdk akan membuatmu menangis, & org yg membuatmu menangis tdk pantas kamu tangisi.
Senyumlah, tinggalkan sedihmu. Bahagialah, lupakan takutmu. Sakit yg kamu rasa, tak setara dengan bahagia yg akan kamu dapat.
Air mata tak selalu menunjukkan kesedihan, terkadang karena kita tertawa bahagia bersama sahabat terbaik kita.
semoga bermanfaat dan dapat di terima ya, salam kenal sukses selalu dan ku tunggu kunjungan baliknya ya :D
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!