Indahnya Menyerukan Kebaikan
Dimuat di Solopos (4 Agustus 2012)
Di tendanya yang mewah dan indah,
Rustum, panglima Persia yang gagah perkasa menemui Rib’i bin Amir, utusan kaum
muslimin yang datang dengan penampilan sangat bersahaja namun
penuh karisma.
“Apakah gerangan yang membuat Anda datang kemari?”
tanya Rustum.
Rib’i menjawab dengan tenang. “Allah telah mengutus
kami untuk mengeluarkan manusia yang dikehendaki-Nya dari penghambaan terhadap
sesama hamba, kepada penghambaan kepada
Allah. Dari kesempitan dunia kepada keluasannya. Dari kezaliman kepada keadilan
Al-Islam.”
Memasuki markas Jenderal Rustum, yang dikenal
sebagai panglima perang Persia yang sangat berpengalaman, menembus perkemahan
yang dihuni puluhan ribu tentara dengan persenjataan lengkap, pastinya sebuah
pengalaman yang sangat mendebarkan. Akan tetapi, Rib’i bin Amir melakukan semua
itu dengan penuh keberanian. Apakah yang membuat sosok itu begitu ‘nekad’
menyambangi markas musuh?
Ya, sebuah gairah yang luar biasa untuk menyerukan
dakwah Islam secara damai. Rib’i sangat memahami, bahwa dakwah—menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk
beriman dan taat kepada Allah SWT—adalah kewajiban setiap kaum muslimin.
Siapapun dia, dan apapun profesinya. Ada sebuah kalimat indah yang berbunyi: Nahnu du’at qabla kulli syai’in.
Artinya, kami adalah da’i (penyeru) sebelum menjadi siapapun. Dengan demikian, siapapun dia: dokter, wartawan,
pengusaha, atau profesi apapun, semestinya ia harus lebih dahulu
memproklamirkan diri sebagai seorang da’i—penyeru, yang dengan sigap menerima
perintah Rasulullah, “Sampaikanlah apa yang dariku walau hanya satu ayat.” (H.R.
Bukhari).
Allah berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).
Apalagi, jika kita runut lebih jauh, ternyata dakwah bulan lagi sekadar kewajiban
yang dibebankan, namun juga telah menjadi kebutuhan kita sebagai manusia. Allah berfirman, “Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang
tidak hanya menimpa orang-orang zalim semata di antara kamu…” (Al-Anfal: 25).
Saat kita buka Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat ini, ada sebuah ulasan
yang mengejutkan. Maksud dari kata ‘fitnah’ adalah kerusakan, azab, atau
musibah. Jadi, akan ada
sebuah kerusakan, azab atau musibah, yang terjadi dan menimpa dengan merata,
bukan saja kepada orang-orang yang zalim, tetapi juga yang beriman. Hal ini
terjadi, karena orang-orang beriman tidak mau melakukan amar ma’ruf nahy
munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan). Dalam sebuah
hadist disebutkan,
“Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, hendaklah kamu menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah kemunkaran, atau Allah menimpakan azab kepada kamu
semua, lalu kamu berdoa, namun doa kalian tidak dikabulkan.” (HR.
Ahmad).
Analogi tentang hal itu dijelaskan dengan sebuah kapal. Ketika terdapat
sebuah kapal, kemudian karena ingin cepat mendapatkan air, orang-orang yang
berada di lantai bawah memilih membolongi dinding kapal. Jika orang-orang yang
berada di atas tidak mencegah peristiwa itu, ketika kapal karam akibat dinding
kapal yang berlubang, maka tak hanya si pembolong yang tenggelam, tetapi
seluruh penumpang.
Intinya, dakwah adalah sebuah misi mulia, yang harus diusung oleh siapapun. Dan untuk kewajiban
ini, Allah memberikan pujian amalan dakwah sebagai ‘sebaik-baik perkataan’. “Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri?" (QS. Fushshilat: 33).
Tampaknya tak perlu lagi ada pertanyaan, apakah Anda
tertarik dengan profesi ini, karena semestinya profesi ini telah melekat kepada
setiap jiwa.
Posting Komentar untuk "Indahnya Menyerukan Kebaikan"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!