Ramadhan, Indahnya Empati, Indahnya Peduli
Matahari merapat ke
ufuk barat, menyisakan hangat di setiap butir pasir Madinah. Keluarga Ali bin
Abi Thalib telah bersiap dengan santap buka puasanya yang sangat sederhana. Air
putih dan beberapa potong roti kering. Jauh dari kemewahan, akan tetapi mereka menyambut
saat berbuka dengan penuh kebahagiaan.
Saat mereka hendak
menyantap hidangan, mendadak seseorang mendatangi mereka, dan mengatakan bahwa
ia tak memiliki apa pun untuk disantapnya. Terketuk hatinya, Ali pun memberikan
rotinya. Alangkah terperanjatnya Ali, tatkala tanpa dinyana, Fatimah dan anak-anaknya
yang masih kecil-kecil pun melakukan hal yang sama, memberikan jatah berbukanya
kepada fakir miskin tersebut.
Peristiwa agung
itu, ternyata terulang hingga tiga hari berturut-turut. Mereka berlima pun
selama tiga hari hanya bisa berbuka dengan air putih belaka. Rasulullah yang
mendengar kisah tersebut, seketika mendatangi keluarga tersebut. Penuh haru,
Rasulullah pun menciumi ketiga cucunya, bocah-bocah agung yang telah ditempa
oleh sebuah sistem pendidikan akhlak nan luar biasa.
Tentunya, sebagai
hamba Allah nan berkubang lumpur, pencapaian akhlak kita masih sangat jauh dari
teladan gemilang itu. Akan tetapi, teladan diciptakan untuk menjadi panutan.
Alangkah indahnya jika sebagai insan, kita senantiasa menjadikan cerita-cerita
keluarga nabi sebagai lahapan rutin keseharian kita.
Ya, karena
sesungguhnya aspek yang dicakup oleh Al-Islam bukan hanya aspek vertikal—yakni
hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, melainkan juga horizontal—hubungan
manusia dengan sesamanya. Habluminnallah
wa habluminanaas. Berislam bukan hanya dengan banyak bersujud, dzikir, dan
tilawah, tetapi juga mengaktualisasikan kepedulian terhadap sesama. Betapa
banyak ayat Al-Quran dan juga Al-hadits yang memerintahkan kita untuk membina
hubungan baik dengan sesama.
Dan, puasa adalah
salah satu ibadah yang secara kasatmata menyatukan kedua jenis interaksi itu.
Bahwa puasa adalah sebuah refleksi percintaan dari seorang hamba kepada
Tuhannya, ini sangat jelas. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, ““Semua amalan bani adam adalah untuknya kecuali
puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya…” (HR.
Bukhari & Muslim).
Akan tetapi, puasa juga mengandung ajaran untuk peka terhadap sesama.
Di dalam puasa, seorang mukmin menahan lapar dan dahaga dari mulai fajar hingga
terbenam matahari. Ini sangat erat kaitannya dengan proses terbentuknya sikap
empati, yang
menurut KBBI diterjemahkan sebagai ‘keadaan
mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam
keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Empati
adalah kemampuan seseorang dalam ikut merasakan atau menghayati perasaan dan
pengalaman orang lain. Seseorang tersebut tidak hanyut dalam suasana orang
lain, tetapi memahami apa yang dirasakan orang lain itu.’
Empati sangat
penting dalam sebuah sistem kemasyarakatan, karena merupakan salah satu dari
bentuk social competency (kemampuan
social) yang sangat penting. Lebih luas lagi, empati bukan lagi sekadar
merasakan pengalaman orang lain, tetapi juga sebuah kepedulian (concern) untuk melakukan sesuatu
berdasarkan apa yang ia rasakan tersebut. Saat berpuasa, kita merasakan, betapa
sulitnya menjadi orang miskin yang sering merasakan lapar dan dahaga. Karena
itu, kita pun terketuk hatinya untuk peduli dan membantu sesama.
Secara otomatis,
empati memang melahirkan sikap kedermawanan. Ditambah dengan janji Allah
tentang melimpahnya pahala bagi para penderma, yang dipraktikkan dengan sangat
gamblang oleh Rasulullah SAW yang kedermawanannya mengalahkan angin yang
bertiup, juga dicontohkan oleh keluarga Ali bin Abi Thalib di atas, tunggu apa
lagi! Mari kita jadikan puasa kita sebagai bentuk melatih kepedulian kita
kepada sesama!
Ilustrasi: freepik.com
berbagi kata kata motivasi gan
BalasHapusLebih mudah untuk melawan ribuan orang bersenjata lengkap dibandingkan melawan kesombongan diri sendiri.
semoga bermanfaat dapat di terima dan salam kenal ya gan :D , ku tunggu kunjungan baliknya :D