Widget HTML #1

Bad News is Good News?



Beberapa waktu berselang, di sebuah diskusi di media sosial yang saya ikuti, ada sebuah tema yang cukup ramai didiskusikan, yakni soal betapa senangnya media merilis berita-berita yang negatif. Seorang sahabat dengan garang mengatakan, "Kenapa sih, media seakan-akan ogah menyiarkan berita-berita positif? Seakan-akan negeri ini mau kiamat saja."

Lantas, sahabat yang lain menuliskan, "Dalam media, memang ada kaidah bad news is good news. Berita buruk, itu berita yang bagus untuk ditulis."

Tampaknya, kadiah itu memang diamalkan dengan serius oleh para insan media. Buktinya, saban hari kita senantiasa dijejali aneka berita yang bikin merinding. Artis A tertangkap pesta narkoba. Tokoh B tertangkap tangan korupsi. Si C selingkuh dengan si D. Si E dibunuh si F dengan sadis.

Kalau memang itu sebuah fakta, it's okay. Memang fakta haruslah diangkat. Tetapi, yang jadi pertanyaan, apakah memang senegatif itu kondisi yang tengah terjadi di masyarakat kita?

* * *

Lantas, saya teringat pada hasil sebuah studi perbandingan cerita-cerita yang berkembang di Spanyol dan Inggris pasca renaisans (abad ke-14 hingga ke-17), sebagaimana diungkapkan dalam sebuah makalah oleh David Mc. Lelland, seorang psikolog sosial (diterjemahkan oleh Ismail Marahaimin).
 
Hasil studi itu, menunjukkan sebuah kenyataan yang menarik untuk kita kaji. Ternyata, muatan nilai yang terkandung dalam cerita yang marak di kedua negara tersebut sangat berpengaruh terhadap etos kerja, semangat dan daya juang masyarakatnya. Disebutkan oleh Mc. Lelland, bahwa nilai-nilai yang disiratkan maupun disuratkan dalam cerita-cerita di Inggris adalah nilai-nilai optimisme, semangat, harapan, kemenangan, kepahlawanan.

Sedangkan di Spanyol, sebaliknya. Hasilnya, masyarakat Inggris terlecut untuk berkembang, berinovasi dan berprestasi—yang hal tersebut berujung pada status Inggris sebagai pemegang hegemoni tertinggi di dunia saat itu. Ya, Inggris saat itu menjadi negara superpower yang armada lautnya begitu ditakuti, dengan negara jajahan yang luas seantero dunia. Sementara Spanyol, yang startnya sebenarnya sama dengan Inggris, lambat laun kejayaannya memudar, dan hingga kini pun, meskipun termasuk negara di Eropa yang cukup makmur, Spanyol kalah jauh dibandingkan dengan Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. 

Spanyol disebutkan terdegradasi dari lintasan kejayaan disebabkan karena muatan nilai negatif seperti apatisme, kesedihan, dan keputusasaan yang terkandung dalam cerita-cerita yang berkembang di masyarakatnya. Cerita adalah salah satu produk bahasa. Produk bahasa lainnya terkategorikan dalam bentuk lisan—misalnya pidato, presentasi, hingga obrolan dan gosip-gosip ringan—dan bentuk tulisan—misalnya novel, surat, cerpen, puisi, artikel, atau naskah berita. Jika pembahasan Mc. Lelland terbatas pada cerita semacam dongeng, prosa atau opera, maka bukankah beraneka kejadian yang terjadi di negeri ini—yang begitu unik—telah mengilhami munculnya berbagai dongeng, prosa atau opera? Bahkan, dengan beraneka kejadian yang menimpa bumi pertiwi ini, rasa-rasanya seperti alur cerita film saja. Beberapa pakar menyebutkan bahwa fiksi dan non fiksi sering kali berbatas sangat tipis. Fiksi seringkali merupakan potret realita masyarakat itu sendiri. Bahkan, fiksi seringkali menjadi sebuah ‘ramalan’ yang ternyata memang terjadi di masa yang akan datang. Zaman dulu, orang memfiksikan Raden Gatotkaca yang bisa terbang, ternyata pada saat ini, ramalan itu terbukti. Ada manusia yang bisa terbang, tetapi melalui media berupa pesawat.

Menurut Albert Bandura, perilaku manusia bisa diperoleh dari bagaimana dia melakukan observasi atau pengamatan dari lingkungan sekitar. Jika ada sosok yang dianggap menjadi model, seseorang akan melakukan imitasi atau modelings. Inilah yang disebut dengan vicarious reinforcement. Ternyata, model tersebut tidak harus dari sosok real, tetapi juga bisa dari karakter dalam fiksi.

* * *
Satu contoh hubungan antara berita negatif dengan sikap masyarakat, saya lihat sendiri terjadi pada pilgub Jateng yang diselenggarakan 22 Juni 2008, beberapa tahun silam. Kebetulan, saat itu saya cukup mengikuti peristiwa demi peristiwa yang terjadi. Saat itu, publik dihentakkan dengan tingginya angka golput yang disebut-sebut tertinggi di antara pilgub provinsi yang lain. Sebanyak 11,67 juta atau 45,25% dari 25,8 juta total pemilih di Jateng tidak menggunakan hak suaranya. Cobalah hitung kisaran rupiah yang terbuang sia-sia. Jika untuk setiap pemilih dialokasikan dana peralatan dan perlengkapan sebesar Rp 2000,- saja, maka sekitar 23 milyar rupiah melayang. Jumlah yang cukup membuat gigit jari di tengah maraknya kasus gizi buruk dan tingginya angka kemiskinan di negeri ini.

Tingginya angka golput telah dengan jelas menunjukkan, siapa sesungguhnya pemenang pilgub Jateng tersebut. Jika Bibit Waluyo – Rustriningsih dinobatkan sebagai pemenang, maka jumlah raihan suara mereka yang 40% dari total pemilih, yang berarti hanya sekitar 6 juta pemilih, jelas kalah jauh dibanding angka golput yang mencapai 11,67 juta.

Ada apa dengan Pilgub Jateng saat itu? Di saat Pilgub di provinsi-provinsi lain telah menunjukkan fenomena yang mencengangkan dengan golput antara 30-35%, Jateng menoreh rekor yang lebih fenomenal: 45,25%! 

Mari kita lihat, rentetan realita yang terjadi menjelang pilgub Jateng. Prolognya sendiri sudah cukup panjang dan dramatis. Diawali dari kejatuhan Soeharto, pemerintahan yang tak stabil, krisis multidimensi dan multiefek, serta aneka bencana alam maupun yang terjadi karena kelalaian manusia. Harapan pernah digenggam dengan erat oleh jemari warga seiring dengan bergulirnya reformasi, akan tetapi satu persatu jemari itu terbuka, dan harapan berkelindan, jatuh di paceran. Tak usah jauh-jauh mengulur waktu ke belakang. 

Dari satu atau dua bulan pra Pilgub saja masyarakat sudah dipertontonkan dengan ‘panggung sandiwara’ dengan cerita yang konyol. Ditangkapnya beberapa tersangka koruptor, naiknya harga BBM, melonjaknya harga-harga, antrean panjang minyak tanah, kisruh pemerintah pusat vs pemerintah daerah tentang BLT, demo-demo mahasiswa anti BBM, penyerbuan polisi ke Unas, penyerbuan FPI ke demo Aliansi Kebangsaan di Monas, skandal di Kejaksaan Agung, heboh ‘blue energy’ Joko Suprapto, dan yang terbaru… terkuaknya keterlibatan Muchdi PR sebagai ‘pembunuh’ aktivis HAM, Munir. Gosip artis yang menghadirkan kasus kawin cerai, artis yang rebutan harta dan sebagainya ikut meramaikan ‘sandiwara’ tersebut.

Nyaris dari semua berita yang tersaji adalah berita yang membuat warga harus menghela napas panjang. Ada satu dua berita positif, namun jumlahnya sangat minim. Maka, puncak dari segalanya adalah sebuah konklusi: masalah yang dihadapi bangsa ini—termasuk provinsi Jawa Tengah—sungguh sangat berat. Superberat! Karena masalahnya superberat, hanya orang-orang super yang mampu menandanginya.

Jadi yang terjadi pada masyarakat Jawa Tengah—menurut saya—adalah apatisme yang luar biasa. Ketika pada pilgub dimunculkan 5 pasangan cagub-cawagub dari beberapa parpol pengusung, tampaknya terlalu naif jika ada anggapan bahwa warga Jawa Tengah tidak tahu keberadaan mereka. Para cagub dan cawagub telah menguras koceknya (yang sepertinya mengalir begitu deras) untuk mensosialisasikan diri, di antaranya melalui iklan di koran-koran, juga TV-TV swasta yang bisa terakses bahkan hingga pelosok Jawa Tengah. Yang tepat—lagi-lagi menurut anggapan saya—masyarakat Jawa Tengah merasa bahwa sosok yang ditawarkan tersebut mereka pandang sangat tidak menarik. Mereka dianggap tak memiliki senjata andalan yang mampu menyelesaikan problematika kronis yang menimpa Jawa Tengah. Ucapan-ucapan mereka hanya lip service, janji-janji yang semua orang bisa mengucapkan tanpa perlu membuktikan. Masyarakat Jawa Tengah yang cerdas tak mampu diyakinkan oleh kampanye-kampanye mereka. Isu-isu perubahan yang diusung, bak ayam jago tanpa taji.

Lepas dari itu semua, diagnosis dari keadaan tersebut sesungguhnya adalah apatisme masyarakat, yang dipicu oleh serentetan produk bahasa negatif. Pertanyaan kritis adalah, apakah betul bahwa kondisi bangsa kita ini memang separah itu? Jangan-jangan karena para pegiat komunikasi dan bahasa yang lebih senang dengan menampilkan sesuatu yang negatif, sehingga muncul istilah bad news is good news. Dalam kesempatan ini, saya ingin menghimbau kepada seluruh komponen yang terlibat dalam dunia media, mulai dari pegiat literasi, wartawan, novelis, cerpenis, sutradara, penulis skenario hingga ‘sang decision maker’ yakni para pemilik modal, mari kita sejenak merenung, introspeksi. Jangan-jangan, apatisme publik yang kronis itu, kitalah penyebabnya, seperti yang terjadi di Spanyol beberapa abad silam.

2 komentar untuk "Bad News is Good News?"

Comment Author Avatar
Assalamu'alaikum Mbak Afifah, salam kenal :) Mengingatkan saya dengan satu event kompetisi menulis Indonesia Bersyukur, tampaknya perlu sekali untuk mengingatkan banyak orang, Indonesia sebenarnya tidak separah yang terlihat di media, yang mayoritas isinya negatif. Artikelnya sangat membuka mata, sangat mungkin yang membuat kita terpuruk adalah karena terlalu banyak terpapar hal negatif. We are what we think kalau katanya Mr. Stephen Covey, betul?
Comment Author Avatar
Wa'alaikumussalam. Salam kenal juga, ya memang ketika kita hanya bertumpu pada khauf semata, kita akan merasa hidup ini penuh bala' :-)

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!