Puteri Pualam

Sebuah Cerpen
Afifah Afra

Barangkali, kau adalah dewi dari Pulau Pelew yang beterbangan kesana kemari menebar sihir. Sosokmu yang bak pahatan pualam, terukir begitu sempurna. Pendar cahaya yang memancar, selalu membuat aku jatuh—lebih dalam… lebih dalam—dan akhirnya terkubur dalam jurang pesonamu.

Maka, kudapati diriku yang setiap hari kian terbata-bata mengeja huruf-huruf yang menyusun indah baris namamu. Aku seakan gila. Kehilangan akal. 
“Sudah malam, Gie… mengapa tak juga tidur?” Suara Bunda, telah ke-4 kalinya menggaung di ruang sempit tempat aku biasa mengurung diri. Bersama lembaran kanvas. Bersama tube-tube cat, batang-batang kuas, tabung-tabung air… Bersama ide-ide yang mampu menggerakkan tanganku, menari di atas kain putih itu, dengan gerakan cepat, pelan, sedang…
Dan tahukah kau, inspirasi apa yang seringkali mampu menyetel kecepatan gerak tanganku? Inspirasi dari pendar pualam yang terpancar dari parasmu!
“Gie!” kembali gaung itu gemaung di telingaku. Aku memajang muka, menghadap kepada sosok bunda yang tersenyum—namun dengan wajah prihatin.
“Sudah jam 2 malam…,” bisiknya.
“Sebentar lagi selesai,” jawabku. Bunda kini menatap hamparan kanvas, memicingkan mata. Tak paham dengan bentangan warna-warna magenta yang kugoreskan. Mungkin bukan pada makna, karena hanya bundalah sosok yang paling mengerti gejolak hatiku. Ia—mungkin—hanya tak mengerti, mengapa aku yang biasanya menggemari warna-warna eksotik, mendadak berubah selera, magenta. Ada apa dengan diriku?
Aku tengah gila, gila karenamu! Aku berteriak dalam batin.
“Kau tengah jatuh cinta?” tebakan bunda langsung menghujam ulu hatiku. Membuatku tak mampu berkutik, laksana seekor kucing yang tertangkap basah mencuri sepotong belulang. Tetapi, aku tidak mencuri, aku tercuri. Aku korban, kaulah pelakunya.
“Aku...”
“Kepada seorang gadis?”
“Ngg...”
“Siapa dia?”
“Patung...eh puteri... puteri pualam...”
Bunda semakin memicingkan matanya. Namun, sekali lagi, bunda adalah sosok yang paling mengerti hatiku. Ia tak menjadi heran dengan pernyataanku. Jika ia terlihat berpikir, itu lebih karena fenomena yang terpajang di depan matanya, adalah sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.
“Mengapa kau memilih puteri pualam, dan mengapa kau mengekspresikan gejolak hatimu dengan warna-warna magenta?”
“Dan apakah permasalahannya? Sangat layak jika sesosok puteri pualam itu membuat hatiku tercuri. Sangat layak pula jika nyanyian cinta itu kutembangkan dengan abstraksi warna-warna magenta yang ceria.”
“Tetapi, kau telah merubah diri dengan pilihan itu.”
“Cinta itu...,” aku menatap Bunda dengan senyum, “selalu mampu mengubah selera. Merubah kecenderungan, bahkan kebiasaan!” kugoreskan cat terakhir. Kuberesi peralatan yang berserakan, lalu kukecup pipi Bunda, orang tua semata wayangku, sejak Ayah memilih untuk pergi dari kehidupan kami. “Sudah malam, Bunda... saya telah mengantuk!”
“Syukurlah... tidurlah, besok kau bersekolah, Gie...”
Aku tersenyum. Ya, bahkan aku tak sabar menunggu esok tiba. Karena, di saat itu, aku akan bertemu denganmu, menikmati pendar pualam yang memancar dari wajahmu...
* * *

“Gue nggak ngerti sama tingkah cowok-cowok itu!” semburmu dengan suara nyaring, menggebrak gendangan telinga, namun jujur saja, terdengar merdu. Lantas dari kedua telapak tanganmu, yang juga bersinar bak pualam, serpihan kertas tersebar. Sobekannya melayang-layang, untuk kemudian melapisi lantai putih ruang kelas kita yang hari ini begitu senyap. Tak hanya itu, kedua kakimu pun menghentak-hentak, gemas. Ekspresi kemarahan yang childish. Ya, kau memang magenta, Putri Pualam....
“Kayak nggak punya malu aja! Tampang pas-pasan, duit recehan, tumpangan juga omprengan, eh... berani-beraninya ngajak ngedate gue... nggak ngaca banget, ya?!”
Aku mengangkat bahu. Ucapan semacam ini, sering mengusik kedamaian bernuansa eksotik dalam hatiku. Membuat tatanan fitrah yang berkurun masa ditanamkan oleh Ibunda dan kini telah merindang, sesaat terusik. Akan tetapi, justru kelantangan bernada sarkatis seperti itu, yang membuatku semakin ingin lebih lama menikmati indahnya pendar pualam itu....
“Lo tahu, kan Gie... gue ini level tinggi, nggak sembarang cowok bisa ngajak jalan gue. Dengar Gie... dia harus cowok yang benar-benar luar biasa....”
Sepasang matamu pun menerawang. Aku tertunduk, mendera napas. Namun gemintang yang tertangkap dari sudut kerlingmu, sungguh membuat jantung ini bekerja di atas batas normal.
“Gie... Lo dengar, kan?! Seperti apa cowok impian gue?”
“Seperti Raden?” tebakku. Raden adalah siswa paling tampan di sekolah kita. Wajahnya yang putih, dengan lekukan khas Semit, sering membuat para gadis berkelonjotan jantung hatinya.
“Raden memang tampan, tetapi... ia bodoh. Gue paling sebel sama cowok bego! Kayak kebo!” Kau bersungut-sungut.
Ya, aku sepakat denganmu. Raden adalah siswa yang bodoh—bahkan terbodoh. Kemarin ia hanya menduduki rangking terakhir di kelas kita. Tapi, tidak mesti menyebut dia sebagai kebo, bukan?
“Atau, seperti Zack?”
“Zack... Zack...,” mata gemintangmu kembali menerawang. Lalu bibirmu menyungging senyum. “Zack lumayan. Ia tak terlalu ganteng memang, tetapi ia macho, gentle. Lihatlah kalau dia sedang menaiki motor gedenya? Seperti Renegade....”
Ujung hatiku dicubit cemburu.
“Kau ingin ia menjadi kekasihmu?”
Kau menggeleng. Cubitan itu sedikit lerai. Terasa lega.
“Mengapa?”
“Ia... tidak rapi. Baunya sering bikin lambungku berontak, pengin ngeluarin isinya.” Kamu terkekeh, sinis. “Coba kalau ia mau sedikit saja mengolesi ketiaknya dengan deodorant....”
Aku melebarkan cuping hidung, risi dengan ucapanmu.
“Jadi, seperti apa cowok idamanmu?”
Kau menoleh ke arahku, melempar senyum angkuh. “Yang sempurna, Gie.. cowok yang sempurna. Seperti Arjuna yang memboyongku ke khayangan menaiki kereta kencana. Ia tampan, cerdas, berprestasi, rapi, lembut, wangi, suka berpuisi, kaya, romantis....”
Kuatur napasku agar tak tersedak. Rangkain ucapanmu yang bak mitraliur itu memurukkan segenap harap. Ya, jelas... lelaki yang kau idamkan untuk menjadi kekasihmu itu, jelas bukan aku....

* * *

Aku masih melukisi kanvas putih itu dengan warna-warna magenta. Membentuk gelombang bernapas cinta. Merangkai siluet lembut beraroma rindu. Mengukir lekuk bergetarkan harapan. Ya, Putri Pualam... aku mungkin akan tetap mengemas harapan itu dalam lukisan ini. Lukisan yang telah berbulan-bulan kutoreh bersama mimpi. Aku selalu berpacu dengan detik-detik waktu yang terlewat. Akan tetapi, aku tak juga mendapatkan titik purna. Aku tak pernah puas, tak pernah mampu melegakan rongga dalam hati, untuk sedikit merasa confident dan mempersembahkan karyaku ini kepadamu, Puteri Pualam....
Aku masih ingat dengan dering telepon darimu tadi sore. Dering yang disusul dengan celotehan riang, namun juga ketus, sinis, menghentak-hentak, yang menandakan galaunya hatimu. Meskipun, memang begitulah keadaanmu kesehariannya.
“Gue kira Joe ini cowok yang sempurna, Gie.”
“Apa yang kurang dari dia? Bukankah dia itu tampan, kaya, cerdas, romantis....”
“Tetapi, dia tak punya hati. Ia keras, ia seperti batu karang. Lo tahu, Gie... gue ini juga batu karang. Karang sama karang, jika berbenturan, pasti ancuur, kan?”
“Jika kalian sama-sama karang, alangkah eloknya jika kalian direkatkan untuk menjadi sebuah benteng yang kokoh...,” desahku.
“Benteng yang kokoh? Tidak bisa, Gie! Gue nggak bisa hidup dengan orang yang sukanya menang sendiri. Gue pengin bebas, lepas... akhirnya, gue putus dia!”
“Dia mau?!”
“Harus mau! Memangnya, siapa sih, dia? Mau mempertahankan gue? Gue mau terima dia saja, mestinya dia sudah sangat bersyukur!”
Begitulah kau, Puteri Pualam. Kau sering merasa ujub dengan keelokan parasmu. Dengan dahsyatnya daya tarikmu. Kau terlampau memandang tinggi dirimu.
Akan tetapi, bahwa kau memang elok, itu memang benar adanya. Dan keelokan itu telah menjelma sebagai batang-batang anak panah yang menebar ke segenap arah. Salah satu dari batang itu, menancap dalam hatiku. Begitu kuat. Meski aku sering bergolak ketika kau mengekhibisi kelebihanmu, menyakitiku dengan impianmu tentang lelaki yang sempurna, mengobrak-abrik fitrahku dengan gaya sarkatismu, aku tetap saja tak punya daya untuk menarik batang anak panah itu.
Aku kembali menggoreskan ujung kuas dengan tekanan lebih kuat, sehingga magenta yang terpajang, begitu terlihat menantang.
“Gie...!” suara Bunda. Beliau selalu saja setia menemani hari-hariku. Bahkan saat aku terjebak dalam perenungan yang tak bertepi. Perenungan yang hanya bisa kuvisualisasikan dengan lukisan-lukisan magenta yang menutup puluhan kanvas putih yang mulai menyesaki studio miniku.
“Jika kau memang sedang jatuh cinta, bukan dengan seperti itu caramu mengekpresikannya....”
Tarian tanganku melemah, untuk kemudian terhenti. Kutatap sang bunda yang berdiri tegak di depan pintu. Bundaku yang begitu lembut. Penuh kasih....
“Jadi, aku harus bagaimana?”
“Pertama, kau harus mendiagnosis, jenis cinta apa yang tengah kau rasakan....”
“Jenis cinta? Apakah cinta itu berjenis-jenis?”
“Memang tidak. Cinta itu, pada awalnya hanya sewarna, putih. Akan tetapi, ketika cinta bersentuhan dengan naluri, serta hasrat, cinta akan menjadi warna-warni, tergantung naluri dan hasrat macam apa yang mencampurinya.”
Dan warna yang mencampuri cintaku padamu... adalah magenta. Ya, karena kau memang berwarna seperti itu.
“Lantas, cinta itu harus kau analisa, apakah tepat jika bersemayam dalam jiwamu. Apakah kau akan semakin hidup dengan cinta itu, atau justru kian hari kian terabrasi, untuk kemudian mati. Jiwamu yang mati, Nak... Hasrat selalu membutakan cinta, sehingga warna aslinya tertutupi begitu kelam....”
Apakah cintaku padamu membunuh jiwaku, Wahai Puteri Pualam? Rasanya, aku harus banyak berdialog dengan jiwaku. Seberapa parah luka yang ia derita, karena setiap hari cintamu mencubit-cubitnya, menampar-namparnya, bahkan melemparkannya ke selokan di pinggir jalan....
Akan tetapi, itu semua tampaknya berawal dari kepengecutanku belaka. Karena hingga detik ini, aku tak mampu berterus terang kepadamu, bahwa aku mencintaimu. Aku tak berani... itukah yang membuat jiwaku lara?

* * *
“Gie... Gie... gue punya berita dahsyat!” mendadak kau berlari menghampiriku, ketika baru saja kuparkir sepeda motor bututku di tempat parkir sekolah kita. Dengan debaran tak menentu, aku mematung, menunggu sosokmu semakin dekat denganku. Kuraba pelan bungkusan dalam tasku. Semalam, kuberanikan menggoreskan beberapa huruf, tak banyak, hanya 8 huruf—I LOVE YOU—di salah satu lukisan magentaku, lukisan yang terbaik di antara puluhan lukisan yang kubuat sejak mulai mengenal dan dekat denganmu. Yakni saat kau, tanpa kunyana, mendadak duduk di sampingku, menyapaku.
“Lo kan, yang bernama Gie?”
Aku menggangguk, tak terlampau antusias. Pertama, aku terlanjur mengenalmu sebagai gadis angkuh yang suka mempermainkan para lelaki. Gadis keras hati yang mengganggp dirimu sebagai sosok yang paling jelita di kolong bumi. Kedua, aku pun tak punya minat untuk berdekatan dengan sesosok turunan Hawa, minimal di saat aku tengah berkonsentrasi mengejar impianku. Cukup sudah aku meresapi betapa sakitnya Ibu saat ayahandaku memilih hati yang lain, dan memutuskan untuk meninggalkan ibu dalam kesendirian.
“Gue suka sama puisi Lo yang dimuat di majalah...,” kau menyebut nama sebuah majalah remaja paling top saat ini. “Ternyata di kelas ini, ada juga sastrawan, ya?!”
Dan entah mengapa, sejak saat itu, kita menjadi dekat. Kau, tanpa ragu-ragu, menceritakan cowok-cowok yang tak pernah jeda memburumu. Mengapresiasi cowok ‘bernilai tinggi’ juga menyingkap borok-borok mereka yang menurutmu ‘nggak level’. Aku sungguh tak mengerti. Ketika rasa itu berkembang semakin dalam, saat ulu hatiku semakin tercubit-cubit ketika kau membanggakan cowok-cowok yang ‘bernilai tinggi’ itu, entah mengapa, aku justru semakin ingin dekat denganmu. Karena, sakit hati itu ternyata nikmat....
“Berita dahsyat apa?” tanyaku, datar.
“Gue udah jadian sama Reynaldi.”
“Reynaldi?”
“Lo nggak kenal?! Payah banget! Dia itu sutradara film-film remaja yang sedang ngetop. Dia mau ngorbitin gue, Gie... katanya, gue disuruh membintangi film remaja yang sedang dia garap.”
Aku menelan ludah. Selalu saja kau mengungkapkan sesuatu yang menyakiti perasaanku dengan begitu ringan. Tidakkah kau mampu membaca isi hatiku?
“Selamat deh...,” ujarku, lirih, datar.
“Tapi, Rein minta, gue nggak boleh dekat-dekat sama siapapun, termasuk sama Lo, Gie... Rein itu pencemburu berat. So....”
Aku memaksa tersenyum. Beruntung, aku berani menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaanku padamu. Jika tidak, aku akan mati dua kali. Mati karena patah hati, dan mati karena rendah diri. Satu yang sebenarnya mengganjal hatiku—yakni kabar santer bahwa Reinaldy adalah seorang playboy—tak membangkitkan minatku untuk berkomentar negatif. Kau sendiri seorang playgirl. Jika ‘jodohmu’ adalah playboy, itu sudah tepat. Tuhan Maha Adil.
“Tak masalah, aku biasa hidup dalam kesendirian,” ujarku sembari meraba bungkusan kain kanvas dalam tasku. Aku sudah menemukan jawaban, hendak kuapakan lukisan terbaikku itu yang semula kumaksudkan untuk menjadi perlambang ekspresi batinku. Lantas, aku pun melangkah tegap, beranjak meninggalkanmu. Entah mengapa, hari ini aku merasakan telah mendapatkan kembali kemuliaanku... Aku mampu menapak dengan confident.
* * *

“Kenapa kau rubah warna-warna magenta itu menjadi eksotik?” tanya bunda, saat aku kembali mengurung diri di studio miniku. Memulas kembali warna-warna yang telah mengering itu dengan cat cokelat muda.
“Karena aku telah berhasil mendiagnosis, cinta semacam apa yang sempat hadir dalam hatiku,” desahku. “Cinta yang memperdaya. Saat cinta itu hinggap, aku bahkan lupa, ada cinta lain yang begitu tulus menyelimutiku. Cinta yang mendekati warna putih.”
Bunda mendekatiku, membelai kepalaku.
“Bunda suka dengan lukisan eksotis, bukan? Besok, aku akan memajang seluruh lukisan ini, di kamar Bunda....”
Kini Bunda memelukku, erat....
“Bunda suka dengan lukisan-lukisanmu, Nak... tetapi Bunda berharap, suatu kelak, kau akan mempersembahkan lukisan-lukisanmu kepada wanita yang tepat. Istrimu yang diikat dengan komitmen sucimu.”

* * *
Sementara itu, di sebuah tempat di kolong langit....
Anggi, si puteri pualam itu barusan membanting pintu, mengusir sosok dandy yang mendatanginya malam itu. Suara mobil yang meraung-raung, menandakan kemarahan pemiliknya, Reinaldy, tak ia pedulikan. Ia pun masuk ke kamar. Menuju meja tulisnya. 3 bait puisi yang ia kliping dari sebuah majalah ia sentuh, ia belai dengan lembut. Air matanya mendadak menetes.
“Mengapa begitu sulit mendapatkan cintamu, Gie....”

Surakarta, 9 Oktober 2007


2 komentar untuk "Puteri Pualam"

Comment Author Avatar
wooooooowww.....*sambil koprool*
kerreen mbaak >.<
Comment Author Avatar
Intinya sama-sama suka tapi sama-sama nggak peka -_-"

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!