Benarkah Anakku Bodoh?
By Afifah Afra
Baru-baru ini terjadi perbincangan yang cukup hangat
di kalangan para orang tua. Temanya tak jauh dari sesuatu yang sedang ramai,
yakni UN dan kelulusan, yang disambung dengan pendaftaran sekolah. Ada yang
dengan bangga bercerita, “Anakku rata-rata 9 dan mau masuk sekolah terbaik.”
Ada yang kebingungan sambil mendumel, “Wah, nilai
anakku pas-pasan, alamat Papa-Mama-nya nih, yang pusing mencari sekolah.”
Ada pula yang marah besar karena si anak ternyata tak
lulus ujian. “Aku bilang apa, belajar … belajar! Malah main game melulu.”
Tampaknya, hal semacam itu terjadi hampir secara
merata di mana-mana. Yang jarang saya dapatkan adalah ungkapan orang tua kepada
anak dengan bahasa semacam ini, “Nak, kamu sudah berusaha maksimal. Apapun, itu
hasilnya. Ibu tetap bangga padamu, pada ikhtiarmu. Soal hasil, semua orang
memiliki tingkat kemampuan sendiri-sendiri. Kamu sudah berusaha semampumu, dan
bersikap jujur, bagi ibu itu sudah sebuah keberhasilan.”
Sekadar ingin mengetahui peta para pembaca blog ini,
Anda termasuk orang tua tipe mana? Atau, jika Anda belum menjadi orang tua,
kira-kira Anda akan menjadi tipe orang tua macam apa?
* * *
Selalu, pada setiap ‘uji kemampuan’ akan melahirkan
dua kubu: yang kalah, dan yang menang. Atau, jika mau ditambah satu kubu lagi:
kubu menengah, rata-rata, standard. Malah biasanya kubu yang sangat cemerlang
dan sangat suram ini jumlahnya hanya sedikit. Yang paling banyak adalah yang
standard.
Jadi, apa masalahnya?
Masalahnya, ketika uji kemampuan itu kemudian menggeneralisir,
alias menjadi satu-satunya uji kemampuan yang menggolongkan seseorang menjadi
kategori pintar, standard, dan bodoh.
Lantas, para orangtua akhirnya digiring pada asumsi
ini. Terjadilah gelombang reaksi yang seringkali lebih dari yang dibutuhkan.
Ada orangtua yang memaksa si anak les ini les itu, dalam rangka mendongkrak
kemampuannya. Ada pula yang akhirnya melegalkan cara-cara yang tak halal,
semisal mencari kunci-kunci jawaban meski untuk itu dia mengeluarkan biaya
tinggi, atau justru menyuruh si anak mencontek. Juga dijumpai, orang tua dan
guru, yang didukung sekolah, kongkalikong melakukan kecurangan.
Tujuannya satu: nilai anak terdongkrak
setinggi-tingginya. Gengsi orang tua, guru dan sekolah tetap terjaga.
Memprihatinkan!
* * *
Saya sendiri, mempercayai teori yang dikemukakan oleh
Albert Einstein, bahwa semua anak sesungguhnya terlahir dalam kondisi jenius.
Hanya, kejeniusan itu pastilah memiliki warna sendiri-sendiri. Oleh Howard
Gardner, seorang pakar psikologi perkembangan, warna itu kemudian dipetakan
menjadi 8 jenis kecerdasan, yang disebut dengan multiple intelligences. Apa saja delapan jenis kecerdasan itu,
silakan Anda browsing sendiri di internet, karena tersedia melimpah artikel
yang cukup bonafid.
Sayangnya, banyak para pendidik belum menjadikan
multiple intelligences (MI) ini sebagai tolok-ukur penilaian uji kemampuan
seseorang. Alih-alih menguji, menerapkan dalam kurikulum saja masih ‘pilih
kasih’.
Sebagai contoh, banyak anak dilabeli pintar, karena dia
mahir matematika, Bahasa Inggris, atau fisika. Sementara, yang suka masak,
pintar main bola, tak layak disebut pintar. Pelabelan itu mau tidak mau
melahirkan cita-cita yang seragam pada anak. Misal, dokter. Pada sebuah acara
akhirussanah (semacam wisuda) di sebuah TK misalnya, dari sekitar 60-an anak
yang diwisuda, sekitar sepertiga memakai kostum dokter yang menunjukkan
cita-cita mereka.
Padahal, cita-cita itu semacam visi. Jika visi hidup
seseorang itu seragam, lantas bagaimana dunia akan digerakkan? Akan terjadi ‘kenjomplangan’
peran. Memang betul, cita-cita tak selalu terwujud, karena pada kenyataannya,
fakultas kedokteran pun melakukan seleksi yang ketat. Tetapi, dari sekian
banyak yang tak diterima, sebagian besar akan menjalani studinya di jurusan
lain dengan setengah hati.
Jadi, menurut saya, sangat penting pemetaan tipe
kecerdasan anak dilakukan sejak dini. Orang tua semestinya melakukan eksplorasi
kepada anak, sehingga dia tahu betul, apa yang sebenarnya dibutuhkan seorang
anak.
Tak kalah penting, kita juga merindukan sebuah konsep
pendidikan yang benar-benar berbasis MI. Termasuk uji kemampuannya. Sehingga,
ke depannya, tak akan ada lagi anak yang dilabeli BODOH, karena semua anak
sesungguhnya pintar.
Juga tak ada lagi pendidikan yang hanya berorientasi
pada aspek kognitif. Pembentukan sikap, karakter alias kepribadian, jauh
dibutuhkan seorang anak daripada sekadar memahami teori. Daniel
Goleman bahkan dengan tegas-tegas mengatakan, bahwa IQ (Intelligent Quotient)
ternyata tidak terlalu memegang peranan penting dalam puncak kesuksesan
seseorang. Banyak orang yang ber-IQ tinggi gagal mencapai puncak prestasi,
dibandingkan dengan orang yang ber-IQ sedang-sedang saja namun ternyata
memiliki kecerdasan emosi yang lebih tinggi.
Sebut
saja Alfa, seorang anak SMP kenalan saya. IQ dia mengagumkan, termasuk kategori
jenius! Tetapi di kelasnya, ia termasuk anak yang prestasinya di bawah
rata-rata. Tulisan tangannya sangat jelek, dan penampilannya pun berantakan.
Bahkan banyak teman-temannya yang mengira bahwa dia itu gila, masya Allah! Oleh
karenanya, tak ada yang mau bergaul dengannya. Kecerdasannya yang jauh di atas
rata-rata justru membuat para gurunya bingung, dan teman-temannya menganggapnya
aneh.
Diceritakan dalam bukunya yang berjudul Emotional
Intelligence, bahwa Goleman memiliki seorang teman sekelas di Amherst
College yang telah meraih 5 kali nilai sempurna 800 untuk SAT dan tes-tes
prestasi akademik lain yang ditempuh sebelum masuk, yang menandakan kemampuan
intelektualnya memang begitu mengagumkan. Tetapi, ternyata ia harus
menghabiskan waktu selama 10 tahun untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah,
karena ia sangat hobby keluyuran dan begadang, sehingga harus bolos kuliah
karena tidur hingga siang.[1]
Konon, beberapa presiden Amerika Serikat,
semacam John F. Kennedy dan Franklin Delano Rosevelt, ternyata mereka ‘hanya’
memiliki IQ kelas dua, namun EQ-nya jelas kelas satu.[2]
Jadi IQ, alias kemampuan intelektual yang
tinggi itu bukan jaminan seseorang untuk meraih puncak prestasi. Sebaliknya,
kecerdasan emosi, berupa kerja keras, disiplin, tahan banting, pintar
memelihara hubungan dengan orang lain, juga kecerdasan spiritual, yaitu
kedekatannya dengan Allah SWT, ternyata lebih mampu membuat seseorang terdorong
untuk melakukan hal besar, yang akan mampu membuatnya menggapai tangga
tertinggi dari prestasinya.
Sedang menurut Prof. Dr. Dadang Hawari, bila
bangsa Indonesia ingin keluar dari krisis multi-dimensi yang berkepanjangan,
maka SDM—terutama pemimpinnya, selain memiliki IQ yang tinggi, mereka juga
harus memiliki EQ (Emotional Quotient, kecerdasan emosi), CQ (Creativity
Quotient, kecerdasan kreativitas) dan SQ (Spiritual Quotient,
kecerdasan spiritualitas, iman-takwa).
Dan SQ-inilah, yang menurut beberapa pakar,
justru menjadi puncak dari segalanya. Why? Karena tujuan hidup kan
mendapatkan puncak kebahagiaan—dunia dan akhirat. IQ dan EQ yang kuat akan
membuat orang mencapai puncak kesuksesan, SQ melengkapi menjadi puncak
kebahagiaan. Sukses tapi tidak bahagia, siapa sih yang mau?
suka sekali dg kalimat terakhir :)
BalasHapusYang kalimat sebelumnya nggak suka? #eh :-)
Hapuslove this mbak ;)
BalasHapusThank you very much :-)
HapusGreat! Izin nge-save ya, Bunda...
BalasHapusSilakan :-)
HapusPR besar buat para orang tua
BalasHapusWell!
HapusYap, semua anak adalah SPESIAL, tak ada istilah BODOH ^^
BalasHapus#Jadi ingat film Taare Zamen Par, mbak Fifah
Yang 'bodoh' biasanya yang tak tersentuh dan teroptimalkan potensinya
Hapus