Menikmati Perbedaan
Bayang-bayang
telah melewati sepanjang badan. Matahari telah kian menjauh dari titik tengah
langit ke ufuk barat, pertanda waktu asyar telah tiba. Saat itulah pasukan kaum
muslimin yang masih berada di perjalanan menuju Perkampungan Bani Quraidzah
mengalami perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan, harus terus melanjutkan
perjalanan, karena sebelum itu, Rasulullah memang telah berpesan agar mereka
tak shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraidzah.
Sementara itu, sebagian
sahabat menganggap bahwa pesan Sang Nabi sebenarnya bermakna tersirat, yakni bahwa
mereka harus melakukan perjalanan secara cepat, agar saat ashar tiba, mereka
telah sampai di Perkampungan Bani Quraidzah. Maka, tatkala di perjalanan
ternyata adzan ashar telah tiba, mereka pun mengambil air wudhu dan shalat
asyar di perjalanan.
Bagaimana
sikap Rasulullah SAW saat mendengar peristiwa tersebut? Ternyata Rasulullah
membenarkan keduanya, dikatakan oleh Abdullah bin ‘Umar r.a. mengisahkan bahwa Rasulullah
Saw. bersabda pada peristiwa Ahzab: “Janganlah
ada satu pun yang shalat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu
ada di antara mereka mendapati waktu ashar di tengah jalan. Maka berkatalah
sebagian mereka, “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan:
“Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.”
Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela
salah satunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitulah
Sang Insan Utama bersikap saat menghadapi sebuah perbedaan yang disebabkan
karena penafsiran yang beragam. Beliau sangat memahami, mustahil jika manusia
memiliki satu pola pikir yang sama, sementara Allah SWT sendiri telah
menciptakan manusia dengan keunikannya masing-masing.
Bahkan dua manusia yang terlahir
kembar identik pun, ternyata memiliki DNA yang berbeda, yang menyebabkan mereka
memiliki sifat yang berbeda. Manusia jumlah sel otak mencapai ratusan milyar,
sedangkan Islam menganjurkan kita untuk selalu mengoptimalkan otak kita. Jadi,
jika semua manusia mengoptimalkan ratusan milyar sel otak di kepalanya, pasti
akan muncul pemikiran yang beraneka ragam pula. Menyeragamkan pola pikir,
menurut hemat penulis, adalah upaya pengkerdilkan daya pikir manusia itu sendiri.
Karena itulah, Al-Islam sangat menghargai proses bersungguh-sungguh menggunakan
pikiran untuk memecahkan sebuah persoalan—atau yang biasa kita kenal dengan
istilah ijtihad. Di dalam ijtihad, saat benar, pahalanya dua, dan saat salah,
masih mendapatkan satu pahala.
Sayang
sekali, dalam tataran praktik, kita sering melihat perbedaan itu justru
memunculkan perpecahan. Saat awal penentuan ramadhan kemarin misalnya, dengan
jelas kita melihat beberapa kalangan yang saling menyalahkan dan bahkan saling
menghujat. Padahal, jika kita telisik, masing-masing memiliki dalil yang
sama-sama kuat. Terkadang, perbedaan itu juga menimbulkan perselisihan yang
menumpahkan darah, padahal Islam adalah agama yang sangat membenci kekerasan.
Bagaimana
agar perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan? Salah satunya adalah
Silaturahmi untuk tujuan saling mengenal dan memahami beragam karakter
sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami
menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal…”
(QS. Al-Hujurat: 13). Karena tak kenal, maka tak sayang. Saling debat, hujat
dan maki, biasanya berawal dari rendahnya frekuensi silaturahmi. Wallahu a’lam.
*) dimuat di Hikmah Ramadhan Solopos
Posting Komentar untuk "Menikmati Perbedaan"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!