Sang Penakluk Angin
By Yeni Mulati Sucipto
a.k.a. Afifah Afra
Siapa manusia
paling dermawan di muka bumi ini? Beliau adalah Rasulullah SAW, Sang Penakluk ar-riih al-mursalah—angin yang bertiup.
Pernahkah Anda melihat angin yang bertiup? Ya, angin sering menerbangkan segala
sesuatu yang dilewatinya. Pada angin yang bertiup dengan kekuatan besar, bahkan
tak hanya benda-benda ringan, tetapi juga rumah-rumah, bangunan, dan pohon-pohon
pun tercerabut. Kapal-kapal yang menggunakan layar akan bergerak karena tiupan
angin. Begitu pula kincir-kincir angin yang pernah menjadi sumber energi di
negeri Belanda beberapa abad silam.
Angin bertiup,
adalah ungkapan kedermawanan. Harta tak ditahan, tetapi dibiarkan tertiup angin,
ditebarkan kepada yang membutuhkan. Dan dalam masalah kemurahan hati, ternyata
Rasulullah SAW melebihi ungkapan tersebut. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah SAW adalah orang yang paling
dermawan. Dan sifat dermawannya itu lebih menonjol pada bulan Ramadhan, yakni
ketika dia ditemui oleh Jibril. Biasanya, Jibril menemuinya pada setiap malam
bulan Ramadhan, dibawanya mempelajari Al-Quran. Maka, Rasulullah lebih murah
hati melakukan kebaikan dari angin yang bertiup.” (H.R. Bukhari).
Ya, kedermawan
Rasulullah selama bulan Ramadhan, melebihi ar-riih
al-mursalah—angin yang bertiup. Setiap harta yang beliau miliki, langsung
mengarah kepada kaum dhu’afa melebihi kecepatan angin. Pernah suatu ketika, ada
seorang lelaki yang terus mendatangi Rasulullah untuk meminta sedekah hingga
tiga kali. Pada kedatangan keempat, Rasul sudah tak memiliki apapun, namun
beliau berkata, “Aku tidak mempunyai
apa-apa saat ini. Tapi, ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku.
Kalau aku mempunyai sesuatu kelak, aku yang akan membayarnya.” (HR.
Tirmidzi).
Apa gerangan
yang mendasari beliau bersikap demikian? Tentunya jiwa penuh welas-asih kepada
sesama. Welas asih sendiri muncul dari rasa empati.
Empati, secara
istilah dimaknai sebagai keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau
mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan
orang atau kelompok lain. Rasa empati tak akan muncul jika kita tidak pernah
merasakan apa yang terjadi pada orang lain. Misalnya, seseorang yang selalu
bepergian menggunakan kendaraan mewah dan ber-AC dingin, tentu akan sulit
berempati kepada orang-orang yang harus kepanasan di angkutan umum yang
berjejal penumpang. Untuk membangun empati, orang tersebut harus sekali sekali
turun dari mobilnya, dan merasakan hal yang sama dengan kebanyakan para
penumpang angkutan umum.
Pada saat
Ramadhan, kita diuji dengan rasa lapar dan haus. Pada hakikatnya, kita sedang
dikondisikan untuk merasakan apa yang kerap terjadi pada kaum dhuafa. Pengalaman berlapar-haus inilah
yang kemudian membangkitkan respon kognitif sekaligus afektif yang sering kita
sebut dengan kata empati. Sebagaimana kita tahu, rasa empati adalah syarat yang
paling kuat untuk membangun sebuah kedekatan antarpersonal. Tanpa empati, jiwa
welas-asih tak akan terbangun. Padahal, Rasulullah sendiri telah mewanti-wanti,
“Siapa yg tak mengasihi manusia, maka
Allah tak akan mengasihinya.” [HR. Tirmidzi No.1845].
Jadi, mari kita
berlomba dengan angin yang bertiup dalam masalah kedermawanan. Semoga Allah
menumbuhkan rasa welas asih di dalam
jiwa kita, yang menjadi lantaran turunnya kasih-sayang Allah kepada kita. Amin.
* Dimuat di Hikmah Ramadhan Koran Solopos
Posting Komentar untuk "Sang Penakluk Angin"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!