Pelangi Ibu
Cerpen ini dimuat di Majalah Annida tahun 1999, merupakan cerpen yang menjadi debut perdana saya di Fiksi Islami. Sengaja tidak saya edit lagi, untuk memperlihatkan gaya kepenulisan saya saat itu.
Sebelum itu, saya menulis cerpen-cerpen untuk majalah umum dengan tema yang identik dengan dunia remaja seperti percintaan, pacaran dll. Awal kuliah, saya mulai mengenal konsep Fiksi Islami, dan sempat beberapa tahun berhenti menulis, sampai akhirnya diperkenalkan dengan Majalah Annida. Selamat membaca!
* * *
Awalnya sederhana sekali. Ketika itu aku memberi Ibu
hadiah seekor ayam kedu. Ayam betina yang cantik, berbulu kombinasi abu-abu,
putih, dan coklat muda. Ayam yang kubeli seharga dua puluh ribu perak dan
kuberi nama Pelangi.
Respon Ibu pun tadinya biasa saja. Tak se-surprised
ketika Mbak Irna, kakakku yang sulung, menghadiahi seuntai kalung mutiara.
Selain harganya hampir terpaut seratus kali lipat, aku pun sangat tahu Ibu
tidak suka memelihara ayam. Ibu lebih suka dengan koleksi tanaman hiasnya. Cuma
entah mengapa, begitu melihat sosok Pelangi di Pasar Bandungan, ketika aku
iseng-iseng survei untuk sebuah kegiatan kampus di sana, aku tiba-tiba jatuh
cinta seketika dan berhasrat menghadiahkannya kepada Ibu. Tak peduli jika nantinya
akan disembelih atau diserahkan ke Mat Karpo, tukang kebun kami, yang jelas aku
memberikan hadiah itu dengan penuh cinta. Seekor ayam.
Itu satu setengah tahun silam, ketika aku baru mahasiswa
semester dua. Setelah aktif di kampus dengan seabrek kegiatan, baik Rohis maupun
di BEM, secara otomatis urusan si Pelangi pun terlupakan. Sampai keluhan itu
berdatangan. Bertubi-tubi.
“Ibu lebih mengutamakan si Pelangi daripada Andang dan
Evan, cucu-cucunya,” keluh Mbak Erna lewat telepon. “Masa ketika mudik kemarin
kami dicuekin…”
“Gila, kau beri guna-guna apa si Ibu, Fa? Mosok
Ibu lebih seneng sama ayam-ayam daripada aku dan anak-anak. Baru dua hari di
Jakarta, ibu kemut-kemut pengen pulang. Katanya keluarga Pelangi tidak
ada yang ngurusin. Kan, ada Mat Karpo dan Bi Iyem,” ujar Mas Wahyu, juga via
telepon.
Bukan cuma mereka berdua. Mas Hendy yang sudah dua tahun
merantau di Medan juga mencak-mencak. “Sialan! Jauh-jauh datang dari Medan,
dikalahkan oleh ayam!” tulisnya via e-mail.
Tadinya aku cuma tersenyum geli. Kupikir ketiga kakakku
yang sudah jadi orang itu cuma main-main. Masak sih ada Ibu yang lebih cinta
pada ayam daripada anaknya sendiri?
Kalaupun Ibu memang sayang sama Pelangi, diam-diam aku
bersyukur. Hadiahku yang cuma seharga 20 ribu itu berhasil mengalahkan
hadiah-hadiah borju kakak-kakakku. Mengalahkan kalung mutiara Mbak Irna, dokter
spesialis kandungan yang sudah punya RS bersalin sendiri di Surabaya.
Mengalahkan cincin berlian hadiah Mas Wahyu, si ahli komputer yang tinggal di
Jakarta, ataupun gelang cantik dari Mas Hendy, insinyur minyak yang lebih enjoy
di Medan daripada di tanah kelahirannya sendiri.
Bayangkan, seekor ayam dari mahasiswa seperti aku, yang harganya
hanya setaraf lima mangkuk bakso, berhasil mengalahkan hadiah-hadiah yang
sangat tak terjangkau oleh kantongku. Ajaib, bukan?
Tapi aku kena batunya. Keluhan-keluhan itu ternyata bukan
just kidding. Aku alami sendiri saat mudik agak lama sebulan yang lalu. Seminggu di rumah, aku dibuat cemburu
oleh ulah di gold child, Pelangi.
Ba’da Shubuh, Ibu asyik memberi makan si Pelangi yang
telah beranak-pinak. Ketika aku mendekat, tiba-tiba beliau menjadi juru bicara
yang mahir. Ajaib, karena selama ini beliau terkenal sangat pendiam.
“Pelangi sudah punya empat puluh anak. Lucu-lucu, bukan?
Si Burik, anaknya yang mbarep sudah mulai bertelur. Nah itu
Sawunggaling, seangkatan Burik, sudah jadi jago yang gagah. Kemarin jago Mat
Karpo dipatuk sampai mati. Dan itu Arjuna, idola ayam betina, si hidung belang.
Cakep kayak ibunya,” Ibu terkekeh.
Aku cuma tersenyum kecut. Semakin kecut ketika setelah
mengumbar kehebatan Pelangi’s Family, beliau seperti tidak menyadari
keberadaanku. Sibuk berat! Beliau berhenti cuma untuk shalat, mandi, dan tidur.
Makan pun harus diingatkan oleh Bi Iyem, melalui proses yang rumit.
“Ya, harus sabar, Den,” keluh Bi Iyem, “kalau tidak, Ibu
benar-benar marah dan nggak mau makan.”
“Ibu pernah mengusir tamunya karena merasa terganggu
keasyikannya memberi makan ayam-ayam itu, Den,” lapor Mat Karpo. Gawat!!
Pernah pukul 02.00 telepon di kosku berdering. Interlokal
dari Purwokerto. Dengan jantung bedebar, aku mengangkatnya. Siapa sih yang
sanggup tenang menerima telepon jarak jauh malam-malam seperti itu? “Afifah, khutuk
si Burik mati semua kena penyakit… aduh, piye Fah? Kamu kan anak
Biologi. Pokoknya besok pagi-pagi kamu harus pulang. Pakai kereta biar cepat!”
“Aduh Bu, besok Afifah ada mid…”
“Ibu
nggak mau tahu. Pokoknya kowe kudu balik. Mengobati ayam
lainnya. Kalau ketularan kan bisa mati semua.”
“Tapi,
Bu…”
“Tidak ada tapi-tapian, atau jatah uangmu bulan ini Ibu
hentikan!”
Aku cuma tertunduk lemas. Minggu-minggu sibuk, penuh
dengan kuis, midtest. Dan seabreg tugas Rohis serta BEM, harus
terkalahkan gara-gara ayam.
****
“Itu semua kesalahan kamu dan kakak-kakakmu, Fah…”
Aku terhenyak. Analisis Astri, temanku yang kuliah di
Psikologi itu jarang meleset. Tapi,
what’s wrong?
“Maksudmu,
As?”
“Ibumu
butuh teman. Beliau kesepian. Pelangi hanya pelarian. Ibu butuh untuk melampiaskan rasa
kangennya pada keempat anaknya yang kini jauh. Mbak Irna di Surabaya, Mas Wahyu
di Jakarta, Mas Hendy di Medan, dan kamu di Semarang. Ibumu kesepian. Kenyataan
bahwa Pelangi adalah hadiah dari putri bungsunya, membuat seakan-akan Ibu
mendapat pengganti.”
“Jadi di mata Ibu, aku adalah Pelangi?” Aku tersenyum
geli.
“Bisa jadi,” Astri menjawab serius. Senyumku surut.
“Ibu menyayangi semua anaknya. Rata, nggak pilih kasih.
Mengapa Ibu tidak tergila-gila pada hadiah kakak-kakakku?”
“Karena hadiah itu hanya benda mati, sedangkan Pelangi
adalah makhluk hidup. Beliau menemukan kasih sayang, keasyikan yang tidak
didapatkan dari keempat anaknya yang selalu sibuk dengan urusan masing-masing.”
Sekali lagi aku terhenyak. Sibuk dengan urusan
masing-masing? Betul sekali. Aku sendiri yang masih berstatus mahasiswa, masih
lajang saja jarang pulang. Bahkan libur panjang pun tidak. Padahal jarak
Semarang-Purwokerto cuma 6 jam jika ditempuh via bus. Kesibukan yang
bertumpuk-tumpuk memang sangat menyita waktuku. Tugas dakwah ataupun akademis
menuntutku untuk proaktif. Yah, tuntutan agar bisa tampil prima datang dari
berbagai sektor, membuat jam terbangku menjadi sangat tinggi. Sekedar menelepon
Ibu pun kadang tak sempat.
Bercermin dari kesibukanku, aku bisa membayangkan
kesibukan ketiga kakakku. Kami
semua setipe, gila kerja. Yang berprinsip bukan sekedar time is money, tapi
time is life. Itukah
penyebabnya mengapa Ibu merasa terabaikan dan menjadikan Pelangi sebagai
pelarian?
“Kayaknya ini masalah serius buatmu, Fah. Kamu harus
menyusun strategi! Jika tidak ingin…”
“Tidak ingin apa?” kejarku.
“Tidak ingin warisan Ibu jatuh ke Pelangi…”
Lucu ucapan Astri. Tetapi aku tidak bisa tertawa. Ini
serius, sangat serius. Kalau benar ucapan Astri, aku harus meninjau kembali
predikat da’iyah yang melekat pada diriku. Untuk apa aku mati-matian menjadi khadimah
ummat—pelayan masyarakat—jika
Ibu sendiri, orang tua semata wayang setelah Bapak meninggal lima tahun silam,
terabaikan?
****
Kulirik jam tanganku. Pukul 5 kurang. Setengah berlari
kumasuki luas halaman depan rumah. Halaman yang penuh dengan tanaman hias. Tapi
ada yang aneh. Yah, aku baru menyadari sekarang. Halaman memang bersih, rapi.
Tapi nilai artistiknya sudah terabaikan dan seratus persen menjadi tanggung
jawab Mat Karpo. Ibu biasa menata tanaman hias dengan aturan yang perfect. Aneka jenis kaktus harus di
tempat yang banyak cahaya matahari, sedangkan tanaman yang spongeus harus di tempat yang terlindung. Sekarang, kaktus dijejer
begitu saja, sebagian bahkan terlindungi oleh kerimbunan pohon mangga.
Ini jelas bukan kerjaan Ibu, perempuan yang perfeksionis
murni!
Aku menghela nafas panjang, sambil kembali melangkah.
Kuturuti saran Astri. Kusempatkan pulang di tengah kesibukanku. Besok pagi-pagi
benar aku harus kembali ke Semarang, ada rapat penting yang harus aku hadiri.
Persiapan stadium general, pembukaan mentoring mahasiswa baru.
Sebelumnya aku telah menghubungi ketiga kakakku. Surprise
untuk Ibu. Bayangkan! Tanpa mengabari sebelumnya, tiba-tiba keempat anaknya
datang serempak. Ibu mana yang tidak gembira? Setelah kuungkapkan hasil
analisis Astri, ketiga kakakku setuju. Siiip!
“Assalamu ‘alaikum…!” salamku.
“Wa’alaikumussalam…!” jawab Bi Iyem yang dengan terkejut
senang memelukku.
“Den Afifah… senang sekali Den datang. Libur lama, ya!”
“Nggak Bi, besok Fifah pulang. Mas Hendy sudah datang?”
“Lho, Den Hendy juga mau datang, tho? Kok nggak
cerita-cerita sih?”
“Jadi belum pulang, ya. Mbak Irna dan Mas Wahyu?”
“Lho, mau pulang juga?”
Kesimpulannya, belum ada yang datang. Ah, mungkin nanti
malam. Masa mereka ingkar janji?
“Bi, tahu kan Ibu suka pepes ikan mas dan puding nangka?”
“Ya,
Den.”
“Pokoknya surprise…,” aku tersenyum misterius.
“Oh... oh, pantesan. Tadi barusan Den Hendy telepon dari
Medan.”
“Oh, ya?”
“Katanya ada proyek penting yang nggak bisa ditinggalkan.
Beliau nitip pesan untuk Den Afifah… Berarti, sebenarnya beliau berencana
pulang, ya?”
Senyumku surut. Alamat rencana bisa berantakan, nih. Tapi
masih ada Mbak Irna dan Mas Wahyu sekeluarga. Tak apalah berkurang Mas Hendy
seorang.
“Udah deh, sekarang mulai masak saja. Aku capek banget
nih!”
Cepat aku berlari ke dalam. Kandang ayam! Tepat, Ibu ada
di sana. Bercakap-cakap,
memberi makan dan membelai….
Rasanya aku harus berjuang keras untuk merebut kasih
sayang beliau kembali. Tak lucu rasanya kalau harus bersaing dengan ayam.
“O, kowe tho Nduk…,” cuma itu komentarnya. Sejurus
kemudian beliau kembali asyik dengan keluarga si Pelangi. Lupa bahwa aku ada di sisinya. Aku hanya bisa
nyengir kecut.
****
Pukul 8 tepat. Masakan sudah siap. Aku berdandan rapi,
dan duduk manis di ruang tamu.
Telepon berdering.
“Hallo, assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumussalam…. Ini Afifah ya? Maaf, jaringan
komputer di kantor Mas Wahyu kena virus semua. Mas harus kerja lembur. Jadi….”
“Nggak bisa pulang? Mas ini gimana sih? Ini kan penting
sekali. Apa Mas nggak….”
“Ya, ya… mas tahu. Tapi Fah, ini juga penting. Bisa kamu
bayangkan kerja kantor kalau semua komputer rusak. Mas harus….”
“Oke, kalau semua itu lebih penting daripada Ibu!
Assalamu ‘alaikum!!” kuletakkan gagang telepon dengan kasar. Apa rencana yang
kupersiapkan harus gagal?
Kriiing!
Lagi-lagi telepon berdering. Pasti Mas Wahyu lagi. Dengan
segan aku mengangkatnya.
“Halo, assalamu’alaikum!”
“Wa ‘alaikumussalam. De Afifah, ya? Ini Mbak Irna.”
“Mbak Irna?” tiba-tiba sekujur tubuhku terasa lemas.
“Nggak… nggak bisa datang, ya Mbak??”
“Maaf banget, De. Ada yang sangat gawat. Mbak harus
pimpin operasi malam ini juga…”
Benar! Berantakan! Aku jatuh terduduk di meja makan.
Menatap pepes ikan yang tampak sangat sedap itu. Dari mushala kulihat Ibu masuk
ke kamar. Lalu kamar itu gelap. Mungkin
beliau tidur.
****
Interlokal dari Purwokerto, pukul satu malam. Mbak Nila yang membangunkan aku. Ia
lembur menggarap rencana strategis untuk pengembangan majalah di fakultasnya.
Cepat kuraih gagang telepon. Ada apa? Si Pelangi lagi?
“Den… gawat!”
Bi Iyem. Dadaku berdebar kencang.
“Ada apa, Bi?”
“Konsleting, Den! Kandang ayam kebakaran, semua ayam
mati!”
Bagi orang lain hal itu pasti biasa. Tak harus interlokal
malam-malam seperti ini. Tapi
untuk Ibu….
“Lalu,
Bi….”
“Ibu shock berat, beliau dibawa ke rumah sakit.
Jantungnya kumat.”
“Inna lillahi wa inna illaihi raaji’uun…” tubuhku
gemetaran, “Gawat nggak, Bi?”
“Dibawa ke UGD, Den….”
“Sudah telepon Mbak Irna?”
“Sudah, tetapi….”
“Mas Wahyu, Mas Hendy…?” kejarku emosi.
“Sudah, tapi mereka juga belum bisa pulang….”
Kutatap kalender di dinding kamar. Agenda buat besok: pukul
05.30 rapat koordinasi bidang An-Nisa Rohis, pukul 07.30 sampai 12.30 kuliah.
Ada mid semester Oceanologi dan Poultry Scince. Pukul
13.00 mentoring untuk adik kelas. Pukul 16.00 rapat BEM fakultas, persiapan Expo.
Pukul 18.30 ngisi kajian untuk ibu-ibu di mushalla, pukul 20.00 mabit
untuk membahas pengkaderan Rohis. Full!!
Tapi Ibu sakit karena Pelangi sekeluarga mati.
Bagi Ibu, Pelangi adalah Den Afifah. Burik adalah Den
Irna. Sawunggaling adalah Den Hendy, dan Arjuna adalah Den Wahyu....
Itu kata-kata Bi Iyem, sebulan yang lalu. Sekarang
Pelangi, Burik, Sawunggaling, Arjuna dan keturunannya sudah mati. Jangan-jangan
IBu juga menganggap Afifah, Irna, Wahyu, dan Hendy telah mati. Gawat!!
Cepat kuambil pakaian seadanya, kumasukkan ke tas ranselku serabutan. Kupakai jubah
hijau dan kerudung.
“Mau kemana, Fah?”
“Pulang, Ibu sakit keras. Pelangi mati….”
Tak perlu kujelaskan pada Mbak Nila. Semua tanggung jawabku. Aku harus pulang,
malam ini juga, untuk menunjukkan bahwa Afifah belum mati, bahwa Pelangi hanya
seekor ayam!
****
10 komentar untuk "Pelangi Ibu"
betapa dulu familiar dengan nama2 orang di FLP berkat annida dan karima :D
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!