Bisnis Sang Caleg - Cerpen Afifah Afra

Catatan: cerpen ini saya tulis 20 tahun silam, saat ramai-ramai jelang Pemilu 2004, dan dimuat di koran Solopos. Semoga masih relevan untuk saat ini. Selamat membaca!

Suminem, janda kaya yang barusan mendapat banyak warisan dari almarhum suaminya itu mendadak kebingungan ketika Parman, kemenakannya datang untuk meminjam uang. Sebenarnya bukan suatu hal yang aneh, karena selama ini, sang kemenakan memang sangat rajin meminjam uang. Biasanya, dia tak pernah menghiraukan soal pengembaliannya. Dan memang jarang kembali, karena jumlah yang dipinjam tidaklah besar. Setidaknya bagi dia. 

Meski dia tahu, uang itu larinya paling-paling ke bandar jap jiki atau kasir-kasir warung ciu yang remang-remang, atau malah dompet kumal pelacur murahan, namun ia tak terlalu ambil pusing. Wong lanang, masih muda, ganteng lagi ... ya begitu itu adatnya, demikian komentarnya selalu. Suminem memang terlalu bangga dengan kemenakan yang telah puluhan tahun dia asuh dan dia anggap sebagai anak sendiri, karena perutnya gabuk, tidak menghasilkan keturunan.

“Parman itu mirip bintang sinetron lho...,” ujarnya selalu, sambil mengunyah kinangnya yang kini berwarna kemerahan. Lipstik alami, begitu ia selalu berkata dengan terkekeh bangga ketika orang-orang memandanginya, meski dengan tatapan jijik karena ludah merahnya berserakan dimana-mana.

“Maksudnya panjenengan, bintang sinetron yang mana?”

“Ya, pokoknya yang main sinetron itu.”

Bagi Suminem, siapapun yang sampai masuk TV, baik wajah kebulean, mata sipit, sampai para pelawak yang giginya keluar bibir secara tidak proporsional, semua ganteng. Kalau tidak ganteng, mana mungkin masuk TV. Penilaian itu adalah harga mati baginya. Siapa membangkang, siap-siap saja ditolak mentah-mentah ketika mencoba mencari hutangan kepadanya.

Parman adalah kemenakan tersayang. Apapun akan dia berikan, apalagi hanya sekadar hutangan. 

Namun hari itu Suminem benar-benar dibuatnya kaget bukan alang kepalang.

Kowe minta duwit lima ratus juta, itu ndak sedikit. Malah banyak sekali. Buat apa? Apa kowe ingin bisnis. Dagang, buka toko, buat pabrik atau ....”

“Bisnis, Budhe ... benar. Bisnis, tetapi bukan berdagang. Juga bukan bikin pabrik.”

“Terus, apa? Mau jadi makelar mobil, kayak Lek Paiman?”

“Nggak. Keuntungan jadi makelar itu berapa? Kecciil. Nggak ada apa-apanya dibanding bisnis saya nanti.”

Kowe yakin, Le?”

“Yakin sekali. Dengan modal lima ratus juta, setahun dijamin balik. Tahun kedua sudah dapat mobil baru. Tahun ketiga, dapat rumah. Tahun keempat pesta pora, terus tahun kelima, dapat pensiunan yang bisa dipakai buat bisnis selanjutnya.”

“Bisnismu itu kemana saja, to?”

“Wah, kemana kita suka. Kita bisa jalan-jalan ke luar negeri, dengan fasilitas nomer satu, gratis.”

“Waaah ... ck... ck!”

“Juga bisa nonton sepak bola piala dunia, atau liga Spanyol. Nanti Budhe tak ajak kesana, biar bisa foto bareng Ronaldo atau Messi.”

“Yang benar, Le.” Dalam hal ini Parman cukup cerdas. Ia tahu, sang budhe, meski sudah janda tua yang bau tanah, sangat maniak dengan sepak bola.

“Lho, bener.”

“Pakdemu dulu dagang macam-macam, dimusuhi sirah dadi sikil, sikil dadi sirah ... tapi ya ndak sampai seenak itu. Wong sing jenenge Jakarta saja belum pernah main, apalagi Spanyol. Rencana mau naik haji, tapi keburu meninggal.”

“Waaah, itu sih... bisnisnya wong bodho. Bisnisnya orang bodoh. Kalau bisnisnya aku ini, bisnisnya orang pinter.”

“Tapi apa to, bisnisnya?”

“Budhe lihat saja nanti. Yang penting, pinjami saya uang.”

“Lima ratus juta? Wis gendheng kowe Le. Duwit saka ngendi? Uang darimana?”

“Lho, sawahnya budhe kan luaaas sekali. Pekarangan dan kebun juga. Sapi banyak, kambing lebih banyak lagi. Punya toko, punya warung makan, punya ....”

“Semua itu milik Pakdemu.”

“Tetapi Pakde kan sudah meninggal. Semua itu jadi milik Panjenengan sekarang. Ayooo budhe. Saya jamin, satu tahun uang kembali. Kalau perlu, tak kasih bunga tiga puluh persen.”

“Tenan lho?” Mata Suminem membelalak. “Tiga puluh persen?”

“Dan bonus, sepeda motor gratis.”

“Edan! Suugiih tenan.”

“Makanya, saya dipinjami.”

“Tapi balik, yoo?”

“Beres!”

“Bisnismu apa to Le?”

“Nanti Budhe juga tahu.”

Saking sayangnya, uang lima ratus juta akhirnya keluar juga. Parman jingkrak-jingkrak, tertawa ngakrak seperti Rahwana saat mendapatkan Shinta berada di keratonnya.

“Budhe lihat, dalam waktu setahun, duwit ini kembali!”

Suminem hanya manggut-manggut, seraya bertanya dalam hati, apa gerangan bisnis sang keponakan.

* * *

Tidak seperti biasanya yang acuh tak acuh terhadap hutang sang kemenakan, kali ini Suminem bertindak teliti. Ia tentu saja tidak mau uang 500 juta miliknya melayang begitu saja di bandar-bandar cap jiki, kasir warung ciu atau kantong pelacur murahan. Dia bisa bangkrut jika begitu. Bagaimana kalau almarhum suaminya bangkit dari kubur dan marah-marah padanya? Wong wedhok ora isa njaga duwit!

Selain itu, sebenarnya Suminem penasaran betul dengan bisnis Parman yang konon sangat menguntungkan itu. Dia memang hanya janda tua yang lulus SD saja tidak. Tetapi soal duit, siapa yang tidak mengenal Suminem? Suaminya, Paijo jelas tidak akan bisa sekaya itu jika tidak menikah dengan Suminem yang otaknya seperti kalkulator berjalan. Akhirnya ia memutuskan untuk menguntit kemana pun Parman pergi.

Kening tua itu berkerut dahsyat ketika melihat tingkah sang kemenakan. Dengan tanpa beban si Parman itu membagi-bagikan uang 500 juta itu. Semua orang yang ada di pasar, di warung kopi, di sawah, bahkan di masjid, semua dapat, meski cuma tiga puluh ribu atau lima puluh ribu per kepala.

Uedan! Bisnis kok malah bagi-bagi uang. Suminem benar-benar tak mengerti. Ia pun mencegat Parman yang tengah pulang dari aksinya.

Kowe iki bisnis apa, to Le?” (Kamu itu bisnis apa, to Nak?)

“Tenaaang, Budhe!” Parman klecam-klecem, tersenyum. “Tunggu aja hasilnya!”

“Ning awas lho, kalau uang itu tidak kembali!”

“Kembali ... pasti kembali. Tambah bunga 30 persen, dan sepeda motor baru, lho!”

“Tetapi ....”

“Wis, budhe tenang saja!”

* * *

Akhirnya Suminem tahu, Parman ternyata mencalonkan diri untuk menjadi caleg DPRD di kabupatennya. Kalau Caleg, Pemilu dan DPRD, Suminem jelas pernah mendengar. Namun bahwa menjadi caleg itu adalah bisnis, dan sangat menguntungkan, Suminem masih bingung. Kok bisa?! Cuma teriak-teriak di ruang sidang, tetapi bisa dapat mobil, rumah, jalan-jalan ke luar negeri, apa rak hebat?

Suminem pun cuma bisa deleg-deleg. Obrolan dengan seorang tukang ojek membuat kepalanya pusing.

“Kabarnya kemenakan panjenengan jadi caleg ya? Kabarnya bagi-bagi duit, ya?”

“Parman itu sedang bisnis.”

“Bisnis?”

“Ya. Dia minta bantuan modal ke saya, terus janji setahun lagi akan balik ke saya.”

“Berapa modalnya?”

“500 juta!”

“Ck... ck.”

Ia tidak mengerti kenapa tukang ojek itu geleng-geleng kepala. Ah, mungkin ia iri dengan bisnis Parman, terus berencana untuk meniru. Dasar penjiplak!

Investigasi Suminem terhadap Parman semakin menghasilkan kebingungan. Nama Parman memang akhirnya berkibar seperti bendera merah putih. Namun suatu hari, ada beberapa orang masuk ke kampung membawa poster yang kemudian ditempel di dinding balai desa.

Jangan Pilih Politisi Busuk! 

Sebuah tulisan besar-besar berwarna merah tertera di poster itu. Suminem semakin tak mengerti, ketika di bawah tulisan besar itu, tertera nama-nama berikut foto yang berjajar lengkap bersama keterangannya. Dan salah satu foto itu, ia kenali ... Parman.

Tergesa-gesa ia menemui Parman.

“Le, pokoknya kowe harus mengembalikan duit itu sekarang. Budhe ndak mau rugi. Bisnismu rak nggenah, cuma bagi-bagi duwit, terus sekarang malah ada yang menghujatmu!”

Di luar dugaan, Parman tertawa ngakrak. “Alaaah, itu kan kerjaannya orang-orang yang kurang gawean! Santai saja.”

“Politisi busuk itu apa? Kok kowe masuk di sana?”

“Pinjam duitnya lagi, Budhe ....”

“Apa? Duit lagi?!!” Mata Suminem membelalak. “Buat apa?”

“Biar bisnis ini makin lancar, Budhe.”

Parman berkacak pinggang. “Saya akan lapor polisi tentang pemasangan tulisan besar, itu pencemaran nama baik. Saya nggak terima. Penulisnya harus dilacak, biar masuk penjara!”

“Berapa duit yang kau butuhkan?”

“Lima puluh juta.”

“Gendeng!”

“Budhe,” Parman merajuk dengan wajah memelas. “Orang yang pasang poster tadi itu sirik sama saya. Dia ingin memftnah saya. Kalau dia ndak tak masukkan penjara, uang budhe yang 500 juta tadi bisa melayang.”

“Wah, ndak bisa itu....”

“Kalau begitu, ayoo pinjami Parman limapuluh juta lagi....”

Seribu satu omelan keluar dari mulut yang penuh dubang. Namun seorang Parman ternyata lebih berharga dari apapun di dunia ini bagi Suminem. Akhirnya, setumpuk uang ratusan ribu senilai limapuluh juta pun keluar juga. Parman kembali ngakak. Ternyata Budhenya ini benar-benar kaya.

“Tenang, nggak ada satu tahun, uang budhe akan kembali.”

“Bunganya 30 persen lho, Le!”

“Bereees!!”

* * *

Suminem tidak terlalu berharap dengan janji Parman, karena bisnis sang kemenakan itu benar-benar aneh. Memang, setelah pemilu, Parman dinyatakan menang. Namun berapa gaji dia selaku anggota DPRD? Cukup banyak, jauh lebih banyak dari gaji lurah atau guru SD. Namun untuk bisa mengembalikan uang 550 juta yang ia pinjam? Suminem tak banyak berharap, dan ia hanya misuh-misuh memaki Parman.

“Tahu gini, mending buat dagang, Le....”

Dan pisuhan itu mereda ketika setahun kemudian, Parman benar-benar datang, membawa uang sejumlah 525 juta rupiah. Uang cash, dibawa menggunakan koper.

“Ini uang Budhe saya kembalikan!” katanya dengan petantang-petenteng, bangga. “Limaratus lima puluh juta dan bunga seratus enam puluh lima juta rupiah. Aku ndak bohong, to?”

Suminem melongo. “Bisnismu ini hebat sekali!”

“Ya, hebat dong....”

“Kalau gitu, pemilu besok teman-temanmu suruh pinjem uang sama Budhe saja yaa? Bunganya boleh turun jadi duapuluh lima persen. Boleh diangsur... boleh dicicil... boleh....”

“Oke, Budhe!” teriak Parman sambil tertawa terbahak-bahak. Sementara Suminem sibuk menghitung keuntungan yang akan diperoleh. Betapa mudah menjadi kaya....

Surakarta, Januari 2004


8 komentar untuk "Bisnis Sang Caleg - Cerpen Afifah Afra"

Comment Author Avatar
mantab....jd pengen belajar bekin cerpen euy
Comment Author Avatar
Menyalakan bola lampu di kepalaku, Mbak ...
Terima kasih
Comment Author Avatar
Bagus banget cerpennya, Mbak. Miris juga bacanya, tapi begitulah yang banyak terjadi di negara kita....
Comment Author Avatar
@All: jika politik bengkok, puisi yang meluruskan, kata JFK. Karena saya bukan penyair, saya memilih cerpen :-)
Comment Author Avatar
sebuah ide cerita yang bagus namun masih belum bisa dijadikan tauladan
Comment Author Avatar
jangan dijadikan teladan, ini kan sindiran pedas
Comment Author Avatar
ya mungkin maksudnya tauladan untuk tidak ditiru / diikuti

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!