Kisah Backpacker: Tanjung Bira Hingga Puncak Tertinggi Jawa
Sebuah Review Novel Altitude 3676 Karya Azzura Dayana
Oleh Afifah Afra
Lahirnya sebuah
karya, memang cermin zamannya. Apa yang terjadi pada sebuah masa,
terdokumentasi dari karya-karya yang tercipta di masa tersebut. Maka, pekerjaan
seorang penulis, khususnya fiksi, sebenarnya tak sekadar menjahit kata menjadi
lembaran cerita yang enak dibaca dan karenanya membuat kita terhibur. Tetapi,
seorang penulis sejatinya juga pendokumentasi kehidupan.
Bahwa pernah ada
sebuah masa saat anak-anak muda di negeri ini ‘keranjingan’ ber-bacpacker, salah satunya berhasil
dijepret oleh Azzura Dayana, novelis muda yang tinggal di tepi Sungai Musi,
Palembang, dan dicetak dalam sebuah potret karya bertajuk “Altitude 3676
(Takhta Mahameru)”. Tajuk tersebut adalah judul baru dari edisi lama “Takhta
Mahameru”, sebuah novel yang berhasil memenangkan sayembara novel yang diselenggarakan Harian Republika sebagai
juara kedua. Ketika novel tersebut di-republish
oleh Penerbit Indiva Media Kreasi, novel tersebut diganti judul menjadi “Altitude
3676”, dengan tetap menyertakan judul lama sebagai identitas, karena novel ini
memang telah dikenal cukup luas di kalangan para pembaca novel Indonesia.
Altitude artinya ketinggian, 3676 meter adalah ketinggian dari Gunung Semeru,
alias Mahameru, puncak tertinggi di Pulau Jawa.
Azzura Dayana
memang sedang berada di track para
juara. Edisi republish ini kembali berhasil menggondol predikat Fiksi Dewasa
Terbaik di ajang penghargaan “IKAPI-IBF Award 2014” di Senayan, Jakarta, 1 Maret
kemarin. Sementara, di Anugerah Pena 2013 yang diselenggarakan FLP di Bali
kemarin, novel ini ikut menjadi nominator novel terbaik. Apa sebenarnya yang
membuat novel ini mendapat sambutan
positif bukan hanya dari kalangan pembaca, tetapi juga juri berbagai event?
Novel ini
bercerita tentang 3 tokoh, yang masing-masing menggunakan sudut pandang orang
pertama dalam bertutur: Raja Ikhsan, Faras dan Mareta. Pada sebuah perjalanan,
Faras bertemu dengan Mareta, dan akhirnya menjadi teman perjalanan yang menyenangkan.
Mereka bertemu di Borobudur, lalu menuju Sulawesi Selatan, Tanjung Bira. Untuk
apa Faras melakukan perjalanan begitu jauh, meninggalkan rumahnya di lereng Gunung
Mahameru? Ternyata Faras mengikuti jejak yang tertinggal dari sebuah email.
Faras begitu ingin bertemu dengan sosok yang mengiriminya email. Tentu bukan
karena kebetulan si pengirim email adalah seorang Raja Ikhsan yang beberapa
kali bertemu dengannya saat melakukan pendakian di Mahameru (lebih lazim
dikenal sebagai Gunung Semeru). Tetapi karena suatu sebab….
Bagian inilah
yang paling mengesankan saya membuat saya terhenyak dan nyaris menahan napas
dari novel ini.
Raja Ikhsan,
sosok yang ‘remuk-redam’, meninggalkan ingar-bingar kehidupan perkotaan dan
mencoba mencari kedamaian di sejuknya Ranu Pane dan Ranu Kumbolo. Di tempat itulah dia bertemu dengan seorang gadis 'ndeso', 'hanya' lulusan SMA, namun pintar, puitis dan menyukai sajak-sajak Kahlil Gibran. Gadis itu bernama Faras, yang berkali-kali harus berhadapan dengan Ikhsan, si bad boy yang menyebalkan.
Meski menyebalkan, pertemuan itu meninggalkan kesan di hati keduanya. Namun, persoalan sepenting apa yang akhirnya membuat Faras rela mengejar Ikhsan dengan cara mengikuti jejak yang tertinggal lewat email? Email tanpa berita apapun, kecuali foto-foto lokasi yang diyakini Faras sedang dikunjungi Ikhsan.
Sebegitu istimewakah sosok Ikhsan di mata gadis selugu Faras?
Meski menyebalkan, pertemuan itu meninggalkan kesan di hati keduanya. Namun, persoalan sepenting apa yang akhirnya membuat Faras rela mengejar Ikhsan dengan cara mengikuti jejak yang tertinggal lewat email? Email tanpa berita apapun, kecuali foto-foto lokasi yang diyakini Faras sedang dikunjungi Ikhsan.
Sebegitu istimewakah sosok Ikhsan di mata gadis selugu Faras?
Kisah Backpacker
Daya tarik dari
novel ini selanjutnya adalah perjalanan Faras dan Mareta yang enak disimak. Bagi
yang menggemari aktivitas backpacker, ini bab yang paling menggirangkan. Saya
sendiri menikmati betul bagian ini. Makasar dan Tanjung Bira dipaparkan lumayan detil dalam novel ini, termasuk adat-istiadat masyarakat
Bugis yang mengagumkan. Juga pembuatan perahu pinisi yang legendaris, serta kecintaan masyarakat bugis terhadap laut. Sayangnya, justru narasi yang terlalu panjang ini seperti
agak menutupi usaha Yana dalam mengeksploitasi Ranu Pane, Ranu Kumbolo serta
berbagai lokasi di Gunung Mahameru yang semestinya menjadi setting dominan di
novel ini.
Bisa membaca
Altitude tanpa skip, itu pertanda bahwa saya bisa masuk ke dalam novel ini,
menikmati setiap diksinya, dan berkelindan dalam setting dan tenggelam dalam
kisahnya. Tetapi, beberapa kali harus mengernyitkan kening, karena dalam
beberapa kerikil kecil seakan menjadi pengganjal kehalusan kisah ini. Nama
Faras, bagi saya aneh. Orang Jawa, apalagi ndeso, jarang yang menggunakan nama
itu. Mengapa tidak Saras atau Saraswati? Lebih ‘njawani’. Logat dan bahasa Jawa
yang digunakan juga beberapa terasa kurang pas. Faras yang digambarkan sangat
lembut dan santun, mestinya tidak berbahasa ngoko, tetapi krama halus.
Faras yang ‘pasrah’
terlalu baik, dan nyaris tak punya perlawanan juga menggemaskan. Jika ada
sedikit gejolak yang dimunculkan, mungkin akan terasa lebih manusiawi dan
diterima nalar, ketimbang saat dia ditampilkan ‘suci tanpa noda’.
Lepas dari
berbagai kekurangan, saya suka dengan novel ini, dan yakin bahwa Azzura Dayana
memiliki masa depan yang sangat cerah di dunia kepenulisan, khususnya fiksi, di
Indonesia, bahkan dunia.
Posting Komentar untuk "Kisah Backpacker: Tanjung Bira Hingga Puncak Tertinggi Jawa"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!