Siti Mau Jadi Pengusaha
Serial Parodi Siti
Hari
terakhir bulan April! Siti melangkah gontai, keluar dari pabrik tempatnya
bekerja. Berkali-kali dia berpapasan dengan para buruh, di antaranya Wanti dan
Gandari. Mereka menyapanya, dan seperti biasa, topik pembicaraannya seputar 1
Mei.
“Besok
libur, lho, Sit! Nggak perlu takut ancaman potong gaji kalau mau ikutan demo,”
kata Gandari, sambil mencebilkan bibirnya yang dicat lipstik murahan warna
merah ngejreng.
“Ayo,
Sit… teman-teman di sini diajak demo,” ujar Wanti. Tampaknya dia lebih tulus
dibandingkan Gandari si biang onar. “Mosok tiap hari nasib kita ya gini-gini
terus. Nggak pernah bisa sejahtera.”
“Lha,
gimana mau sejahtera, wong memang lagi seperti ini kondisinya,” tukas Gandari.
“Kondisi politik nggak menentu, pemimpinnya nggak becus mengurus rakyat. Sibuk
mempertahankan kekuasaan sambil bagi-bagi duit money politic.”
“Gandari
benar juga,” ujar Sumini yang mendadak ikut nimbrung. “Bagaimana mungkin
pemerintah serius memikirkan nasib kita, para buruh, jika saat mereka maju jadi
pemimpin saja sponsornya para pengusaha.”
“Lha,
kok bisa?” Wanti melongo.
“Alaah,
kamu kayak nggak tahu aja. Mas Guntur, yang barusan terpilih jadi anggota
dewan, kemarin dikasih dana ratusan juta sama si Bos, lho…” kata Gandari. “Aku
kan deket sama Bos, jadi tahu apa yang terjadi.”
“Trus,
duitnya buat apa sama Mas Guntur?”
“Mosok
nggak ngerti. Kemarin kamu dapat amplop, nggak, pas pemilu?” Gandari menatap
Wanti, galak. “Aku sih dapat lima amplop dari lima Caleg. Lumayan, bisa buat
ganti HP baru, hihihi. Tapi tahu nggak, kemarin aku Golput.”
“Mosok
semua amplop kamu terima, Gan?” Sumini geleng-geleng kepala. “Kelewatan, kamu!
Setelah itu Golput, pula. Ter-la-lu. Memangnya dari sekian calon, nggak ada
yang benar-benar baik?”
“Lha,
aku kudu realistis, to, Sum… mereka kan mau dekat sama rakyat pas pemilu saja.
Habis itu mereka cuek, sibuk nyari duit buat ganti biaya nyalon yang selangit.
Ataupun kalau mereka dapat sponsor orang kayak bos, apa mereka bisa independen
membela kepentingan buruh kecil kayak kita?” suara Gandari makin sengit. “Jadi,
mumpung ada kesempatan ngambil manfaat dari mereka, ya aku manfaatin saja.
Nggak usah sok suci, lha wong zaman sekarang nyari yang haram saja susah,
apalagi yang halal.”
“Wis-wis,
diam!” sungut Siti. “Nggak usah banyak omong, kalau omongan kita justru membuat
semangat orang yang mau melakukan perbaikan jadi ciut. Aku tak akan ikutan demo
buruh besok, karena mulai besok aku bukan lagi buruh.”
“Apa
maksudmu, Siti?” Wanti kaget.
“Aku
keluar dari pabrik ini!” wajah Siti tampak yakin.
“Keluar,
atau dikeluarkan?” sindir Gandari. “Kok berita yang aku dengar, kamu
dikeluarkan, ya Sit. Kamu kan memang sudah lama jadi musuh Si Bos. Wah, kalau
aku jadi kamu, daripada ditendang, sudah jauh-jauh hari aku mengundurkan diri.
Lebih gagah dan terhormat.”
“Aku
tidak dikeluarkan!” tegas Siti. “Aku keluar.”
“Jadi,
mulai besok kamu nggak lagi buruh? Karena itu kamu nggak lagi ikutan demo
buruh?” tanya Sumini.
“Kalau
begitu, mulai besok, kamu memang bukan buruh lagi, tetapi pengangguran.
Sayangnya tidak ada hari libur khusus untuk pengangguran, hahaha.”
“Gandari,
mulai besok aku bukan lagi buruh. Juga bukan lagi pengangguran. Tetapi,
pengusaha. Jelas?”
* * *
Seperti
biasa, yang jadi tempat curhat Siti adalah Mbak Garsini. “Delapan jam lebih
saya habiskan setiap hari di sana, sementara yang saya dapat ndak cucuk dengan kebutuhan. Saya jadi mikir,
apa semurah itu harga saya? Mosok kerja mati-matian, duit yang dibawa pulang
masih jauh dari UMR. Kok seperti sapi perahan saja.”
Mbak
Garsini sengaja diam beberapa saat, membiarkan Siti terus bicara.
“Sebenarnya,
saya tetap mau jadi pekerja, asal manusiawi, Mbak. Kalau memang kondisi
perusahaan sedang buruk, tentu saya mau mengerti jika gaji buruh ditekan
sedemikian rupa. Tetapi, saat ini perusahaan sedang berjaya. Labanya meningkat
berlipat-lipat. Bos pergi liburan ke luar negeri terus, gonta-ganti mobil
mewah, main cewek, beli rumah megah di mana-mana. Apa nggak sakit hati?”
“Terus,
kalau kamu berhenti jadi buruh, kamu mau kerja apa, Sit?”
“Umurku
belum ada dua puluh lima, Mbak… masih kuat. Meski cuma lulusan SMA, aku juga
bisa berpikir, bisa mencoba-coba cari peluang dan memanfaatkannya. Aku mau
mencoba berwirausaha. Ada kok, sedikit modal, hasil dari menabung selama
bertahun-tahun.”
“Itu
bagus, Sit. Mbak sangat mendukung. Jumlah pengusaha di negara kita masih sangat
kecil, baru sekitar 1,5 persen lho. Padahal, untuk menjadi negara yang maju
secara ekonomi, paling tidak jumlah pengusahanya harus 2% dari total
penduduknya. Itu pun syarat minimal. Di China dan Jepang, malah jumlah penduduk
yang punya usaha mandiri mencapai 10%. Padahal, jumlah penduduk Indonesia ini
sangat besar, pasar yang potensial sekali untuk digarap. Sumber daya alam
bangsa kita juga sangat melimpah. Bahan-bahan bisa dibeli dengan murah.”
Siti
mengangguk-angguk.
“Tapi,
Sit… kamu tahu, menjadi seorang pengusaha itu butuh semangat, ketekunan, keberanian
mengambil resiko, kreativitas dan perjuangan yang lebih, malah berlipat-lipat
lebih banyak dari sekadar menjadi buruh. Apa kamu siap?”
“Saya
akan berusaha, Mbak.”
“Kamu
juga harus fokus, berani gagal, terus mengasah kemampuan dan inovasi, serta
bekerja lebih keras dan giat lagi.”
“Insya
Allah akan saya coba.”
* * *
1 Mei….
Siti
tak ikut demo seperti biasa, meski tahun ini 1 Mei adalah tanggal merah. Tak
perlu takut gaji dipotong. Tak perlu takut intimidasi. Tak perlu takut ditekan.
Tetapi,
siapa lagi yang bisa mengintimidasinya sekarang? Dia sudah benar-benar bebas,
tanpa harus ada tanggal merah. Ya, Siti sekarang seorang pengusaha.
Ssst,
pengusaha apa sih? Yuk, kita lihat perusahaan Siti.
Perusahaan
itu ada di halaman rumahnya. Dia menggelar tikar. Di pojok kanan, beberapa
panci, piring, gelas, mangkok, tumpukan daun pisang dan sebagainya. Sebuah
kertas karton ukuran A3 dibentangkan, dan ada tulisan dari spidol hitam: NASI
LIWET MBAK SITI. Tiga orang pelanggan sedang menyantap lahap nasi liwet buatan
Siti, dibantu ibunya, dengan lahap.
“Sit,
aku ikut sarapan, ya!” tiba-tiba sekitar selusin manusia datang. Senyum Siti
melebar, mereka adalah teman-temannya saat masih menjadi buruh. Mereka mau demo
hari buruh.
“Biarpun
sekarang saya bukan lagi buruh, saya tetap mendukung perjuangan kaum buruh.
Nah, sebagai bentuk dukungan, hari ini kalian saya kasih diskon 50%!” kata
Siti.
“Kok
nggak gratis aja?” celetuk Wanti.
“Wah,
nanti saya bangkrut, dong… kalau gratisan.”
“Mantap!
Makasih diskonnya, Sit.”
Ya,
jalan jadi pengusaha masih panjang. Ujian dan hambatan pasti akan menghadang.
Tetapi, setidaknya Siti sudah berani mencoba.
Posting Komentar untuk "Siti Mau Jadi Pengusaha"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!