Jangan Malu Bilang Aku Tidak Tahu
Aku memang tidak tahu. Dan aku tak akan berusaha untuk sok tahu, karena kesoktahuanku, bisa jadi akan menyesatkanmu. Terlebih, seringkali kau menganggap aku adalah rembulan, yang bersinar menawan. Kau mungkin lupa, satu sisi terang rembulan, ternyata menyisakan sisi gelap di belakangnya. Rembulan tak bisa jadi panutan, terlebih, dia hanya ketitipan sinar mentari.
Terkadang, ketidaktahuan itu menjadi hijab yang menyelamatkan. Allah, Sang Pencipta Semesta memberikan keterbatasan, justru agar kita bisa hidup nyaman. Mata kita terbatas memandang, sebab jika mata kita mampu menembus segala benda, betapa takutnya kita karena bisa melihat tulang belulang mengerikan saat lewat di kuburan. Atau betapa ngerinya, karena saban melihat comberan, kita akan melihat jutaan kuman. Bahkan kita pun tak akan mampu minum dengan nyaman, karena secangkir air putih kita kira aman, ternyata ditempati pula oleh hewan renik yang menjijikkan.
Ketidaktahuan, seringkali menyelamatkan. Sementara, tahu yang hanya sesingkap, bisa membuat hidup jadi kalap. Kau tentu ingat kisah si kucing penjaga yang malang? Suatu hari, tuan si kucing dan istrinya hendak bepergian. Dititipkanlah anak mereka kepada si kucing. “Jagalah anakku baik-baik, ya?” Si kucing yang sangat taat itu menyanggupi.
Ternyata, apa yang terjadi? Saat si tuan pulang, dia melihat si kucing ada di beranda depan dengan tubuh bergelimang darah. Kilatan-kilatan prasangka menggosongkan logika, terjadilah mekanisme pembajakan emosi yang letal. Si tuan sangat marah, karena dikiranya si kucing barusan menerkam bayi mereka. Tanpa berpikir panjang, si tuan menghunus parang. Dibunuhnya si kucing penjaga.
Dan, alangkah kagetnya sang tuan, begitu masuk ke dalam, mereka melihat seekor ular tergeletak berlumur darah, dalam kondisi mati. Sementara si bayi segar bugar, tak ada luka sedikit pun. Histeris si tuan menubruk bangkai kucingnya. Sesal begitu kesat. Si kucing sudah berkelahi melawan ular yang hendak menggigit bayinya. Namun kesoktahuan si tuan telah membinasakan sang pahlawan.
Aku tidak tahu, bukan sebuah kalimat yang memalukan jika kita memang tak tahu. Bukankah Rasulullah SAW juga mengatakan begitu ketika ditanya oleh Malaikat Jibril, “Fa akhbirnii ‘anis-saa’ah—beri tahun aku tentang (kapan datangnya) hari kiamat!”
Jawab Rasul, “Mal mas-uulu ‘anha ya’lama minas-saa-il, yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Ya, Rasulullah tidak malu untuk menjawab tidak tahu atas pertanyaan yang dia memang tak tahu jawabannya, tanpa takut kehilangan pamor. Rasul tak akan merancang jawaban-jawaban semacam kiamat akan terjadi pada hari ke sembilan, bulan ke sembilan, tahun seribu seratus sembilan puluh sembilan!
“Aku tidak tahu”, sama sekali bukan sebuah frasa yang memalukan, jika kita memang tak tahu, bukankah begitu, Kawan. Kau pernah berkata dahulu, bahwa manusia terbagi menjadi empat tipe. Pertama: orang yang tahu bahwa dia tahu. Ini adalah orang yang memang memahami permasalahan secara mendalam, dan memandang dari segala sudut pandang. Orang seperti ini harus kita dekati, agar kita kecipratan pengetahuan dari beliau-beliau ini.
Kedua: orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. Orang semacam ini juga terhormat, karena dia memahami dirinya sendiri, tidak sok tahu. Biasanya, orang tipe ini akan sangat menghargai orang-orang yang memang tahu. Dan, tenanglah! Orang-orang semacam ini, biasanya juga akan mencari tahu, dan suatu saat dia akan tahu pula.
Ketiga: orang yang tak tahu bahwa dia tahu. Ini tipe manusia minder. Punya pengetahuan, tetapi merasa tak konfiden. Terkadang, orang macam ini ‘mengesalkan’, tetapi jauh lebih mengesalkan adalah tipe keempat: orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Termasuk tipe ini—barangkali—adalah orang yang sebenarnya hanya sedikit tahu, tetapi merasa sangat tahu. Betapa berbahayanya jika dunia dikuasai oleh orang-orang semacam ini.
Ya, betul sekali, Kawan! Kita memang diminta berhati-hati dalam menyampaikan sebuah informasi. Bahkan, jika kita ‘tahu’ sesuatu pun, tidak lantas kita diperbolehkan mengumbar ketahuan itu. Karena, informasi yang dangkal dan tak pada konteksnya, seringkali justru menyesatkan. Ingat hadits ini?
Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: "Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan." (HR.Muslim dan Abu Dawud).
Suatu saat Anda mendengar ibu dan ayah Anda bercakap-cakap tentang pembunuhan. Misalnya begini percakapannya. “Wah, si Darma ini benar-benar mental jagal. Dalam sehari, dengan tenang dia membunuh 10 jiwa.”
“Darma? Yang terlihat penakut itu?”
“Iya…, Darma yang penakut telah membunuh 10 jiwa.”
Anda tertarik dengan percakapan orang tua Anda. Lalu, di sekolah Anda akan bercerita, “Darma, tetangga saya, ternyata seorang pembunuh. Dia membunuh 10 orang….”
Maka, menyebarlah sebuah isu. Darma pembunuh. Telah membunuh 10 orang. Padahal, yang dimaksud oleh ayah Anda, Darma memang membunuh 10 jiwa, tetapi bukan jiwa manusia, melainkan jiwa ayam! Duh… duh….
Ketika masih lajang, saya juga pernah diisukan sudah menikah. Beberapa sahabat saya yang tinggal di luar kota protes keras, karena tidak diundang. Saya bingung sekali. Usut punya usut, ternyata ada karyawan di tempat saya bekerja saat itu, yang namanya mirip dengan saya dan memang baru saja menikah. Nah!
Konteks hadits tersebut memang sangat dahsyat, Kawan. Sekadar mendengar informasi, tanpa cek dan ricek serta melakukan proses pendalaman, seringkali justru membuat segala sesuatu menjadi kisruh. Bayangkan, jika Anda mendengar informasi dari dokter, bahwa harapan hidup si X tinggal 25%, dan Anda dengan bangganya mengatakan hal tersebut kepada si X!
Jadi, si Pendusta, dalam hadist tersebut, bukan hanya orang yang menyampaikan informasi yang salah, tetapi juga informasi yang tak terlalu dia pahami latar belakangnya; informasi yang sebenarnya rahasia tetap disebarkan juga; informasi yang masih sepotong-sepotong, dan sebagainya.
Saat ini, saya sering melihat teman-teman meng-RT dan men-share link yang dibacanya tanpa pendalaman. Apakah itu termasuk dalam kategori seperti termaktub di atas? Silakan ditelaah sendiri. Saya takut menjadi ‘sok tahu’ saat mengatakan bahwa para pelaku aktivitas di atas masuk kategori ‘pendusta’. Wallahu a’lam.
Catatan Ramadhan, 13 Juli 2014
4 komentar untuk "Jangan Malu Bilang Aku Tidak Tahu"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!