Kamu Berasal dari Adonan Donat
“Ma, cara bikin manusia itu gimana, sih?” Widya terkejut, mendengar pertanyaan itu
terlontar dari mulut Angga, anaknya yang saat itu masih TK. Ia benar-benar tak
menyangka bawa anaknya bisa bertanya semacam itu. Ia pun bingung bukan main.
“Gimana
cara bikin manusia, Ma?” desak Angga.
“Ng ...
gini ... gini lho!” mendadak Widya seperti menemukan sebuah jawaban cemerlang.
Saat itu, ia tengah sibuk membuat adonan donat. Cepat Widya meraih segumpal
adonan, lalu membentuknya menjadi semacam kepala, badan manusia, dan kaki.
“Jadi,
manusia itu dibikin dari adonan donat?” Angga bingung.
“Iya, ya, seperti ini cara bikinnya,” ujar Widya,
asal.
“Trus,
kok aku dulu bisa keluar dari perut Mama?”
Widya
semakin panik. Karena terdesak, ia pun mengeluarkan jurus pamungkasnya. Ia
menatap Angga dengan galak.
“Anak kecil tak boleh tahu! Sudah,
main saja sana keluar!”
Melihat
Angga masih terlihat bingung, Widya pun meraih selembar uang lima ribuan, dan
menyerahkan ke Angga.
“Sudah,
jajan saja sana, beli kue.”
Angga
tentu saja langsung jingkrak-jingkrak sembari keluar membawa uang itu ke warung
dekat rumahnya.
*
* *
Peristiwa
ibu yang menjawab bahwa anaknya terbuat dari adonan donat, benar-benar aku lihat sendiri di depan mataku. Jawaban asal itu sebenarnya hanya sebuah
gambaran, betapa banyak orang tua yang merasa tidak siap mengikuti perkembangan
pemikiran anak-anaknya. Padahal, anak-anak kita bukanlah makhluk yang tak bisa
merespon apa yang mereka dapatkan di lingkungan mereka. Mereka memiliki otak
yang tengah dalam perkembangan sangat pesat.
Sangat wajar jika kemudian mereka memikirkan, mengapa begini, mengapa
begitu, dan jika ada sosok yang semestinya memberikan jawaban yang mereka
inginkan, sosok itu adalah orang tuanya.
Sangat
disayangkan jika Widya justru terkesan menghindar. Ia tak hanya memberikan
konsep yang salah, tetapi ia sebenarnya sedang mematikan daya kritis si anak.
Tentu hal tersebut sangat berbahaya bagi perkembangan intelektualitas si anak.
Mengapa
Widya tak memberikan jawaban yang sebenarnya saja? Bahwa manusia itu diciptakan
dari gumpalan daging dan darah, yang tadinya kecil, lalu lama-lama membesar dan
menjadi manusia? Ketika manusianya sudah semakin membesar, maka rahim ibunya
tak kuat lagi menampung, sehingga ia keluar dari sebuah lubang yang berada di
bagian bawah perut ibunya.
Kita tak
perlu secara detil menjelaskan, cukup dengan logika sederhana yang mudah
dipahami anak, namun tidak sesat. Mengapa ia justru seakan menyuap si anak, dan
bahkan memberinya uang jajan agar segera pergi dan tak bertanya lagi?
Inilah
pentingnya bagi setiap ibu untuk senantiasa belajar, memahami sebuah
permasalahan meskipun secara global. Logika yang kita selusupkan ke otak anak,
akan membentuk cara berpikir si anak yang benar, dan ini akan mempermudah anak
untuk mendapatkan informasi-informasi baru selanjutnya.
Saya
pernah juga mendapat pertanyaan yang cukup aneh. Anis, anak saya yang sekarang
(saat naskah ini ditulis, 2013)
berusia 8 tahun,
bertanya, “Ummi, apa
setiap perempuan itu besok akan memiliki suami?”
Apakah saya panik mendengar pertanyaan itu? Awalnya, jujur saja, iya. Tidak saja saya menyadari
bahwa ternyata Anis kecil yang seakan baru kemarin saya timang-timang itu,
sekarang mulai bertanya soal pernikahan. Tidak saja bahwa
menurut saya, meskipun sudah berusia 8 tahun, saya rasa pertanyaan itu terlalu
dewasa untuknya. Saya lupa, bahwa anak sekarang sangat berbeda dengan anak-anak
zaman dulu. Anak sekarang, dengan berbagai fasilitas komunikasi yang sangat
canggih, sudah sangat mengerti berbagai dinamika yang terjadi di sekitarnya.
Mereka melihat, mendengar, mencium, meraba, mencecap, dan mengolah apa-apa yang
mereka dapatkan itu di otak mereka.
Jadi,
itu sebenarnya pertanyaan
yang sangat wajar. Melihat bahwa di dalam sebuah keluarga selalu ada
ayah dan ibu, tentu ia akan berpikir, kapan ia menjadi seorang ibu. Ia
juga sering saya ajak ke pesta
pernikahan, bahkan beberapa kali menjadi ‘patah’
(pengapit) pengantin.
“Kebanyakan
begitu, Sayang. Sebagian besar, perempuan besok ketika sudah dewasa, akan mendapatkan suami,
karena Allah menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan.”
“Kira-kira,
suamiku besok siapa,
ya?” tanya Anis lagi, dengan mata membulat.
“Allah
sudah menentukan siapa suamimu, Sayang.
Tetapi karena kamu masih kecil, suamimu masih disimpan Allah, belum
dipertemukan denganmu. Dia tentu ada di
dunia ini, tetapi kita semua tak tahu siapa dia.”
Saya
coba jelaskan dengan logika berpikir yang sederhana, namun benar adanya. Saya
tak mendamprat Anis dengan sentakan, “Anak kecil nggak boleh memikirkan hal
itu!”
Anis
pun, tampaknya puas dengan jawaban saya.
Tak
perlu takut dengan kekritisan pola pikir anak-anak yang beranjak dewasa. Yang penting, sebagai orang tua, mari kita belajar
dan terus belajar, bagaimana cara menghadapi mereka dan bersikap secara tepat.
betul juga ,, bingung kalau anak kecil bertanya yang bukan seharusnya ..
BalasHapusYang penting jangan reaktif, dan dipikirkan dulu jawaban kita, apa ada peluang menciptakan kesalahan yg mengendap permanen di benak si anak atau tidak...
Hapus