Indonesia yang (Berpotensi) Terbelah


Ini mungkin tulisan yang kesekian yang Anda baca soal kegelisahan seorang warga negara terhadap fenomena yang sedang berlangsung akhir-akhir ini. Pilpres. Luar biasa gema hajatan yang satu ini. Bahkan hiruk pikuk Piala Dunia pun seakan tenggelam oleh kehadiran ajang ini. Demikian pula gema Ramadhan yang nyaris kalah oleh info copras-capres. Tak di warung angkringan, pos ronda, atau pun tempat nongkrong dunia maya—media sosial, semua terfokus pada hajatan ini.

“Baru kali ini sepanjang sejarah ber-facebook saya memblokir teman….”
“Kalau gerah dengan status-status saya, unfriend saja….”
“Ya ampuuun, kapan hiruk-pikuk ini berlalu. TL isinya copras-capres melulu.”
Jika Anda cermati lini masa di beberapa situs media sosial, kalimat-kalimat tersebut tampaknya cukup banyak distatuskan oleh para pengguna Medsos.

Ya, sekali lagi, suasana Pilpres kali ini memang sangat—jauh berbeda dengan ajang-ajang sejenis beberapa masa silam. Anda pasti sepakat, bahwa Pilpres 2014 ini memang panas. Mengalahkan hawa kemarau yang selalu bikin gerah. Pak Nasihin Masha, dalam kolom resonansi Republika, bahkan menyebut Pipres kali ini memang terpanas di sepanjang sejarah reformasi[1]. Nah, sepanjang umur saya yang tak terlalu tua (35 tahun tapi ngaku muda, hehe), Pilpres kali ini benar-benar paling panas. Tak hanya antar timses yang saling bertarung, tetapi para pengikutnya pun begitu. Yang mengenaskan, pertarungan itu bukan lagi pertarungan ide dan gagasan, tetapi seringkali justru pertarungan untuk hal-hal yang tidak relevan, semisal soal fisik, bahkan juga pasangan hidup.

Pak Nasihin menyebutkan 3 alasan, yakni 1) Pilpres hanya diikuti oleh dua kandidat; 2) pengelompokan politik yang secara historis selalu berhadapan; dan 3) pembelahan para jenderal purnawirawan yang seperti terjadi saat mereka masih aktif. Menurut Pak Nasihin, ketiga hal tersebut menyumbang peran besar terhadap pergesekan masyarakat kita. Dan Pak Nasihin menyebutkan, bahwa butuh katalisator yang bisa menyatukan dua kubu tersebut, yang disebutkan beliau sebagai sosok negarawan baru, sebagaimana Abraham Lincoln, presiden America Serikat paling legendaris.

Usai membaca tulisan Pak Nasihin, yang meskipun singkat namun sangat bernas itu, membuat saya berpikir cukup lama. Mengapa Pilpres hanya diikuti dua kandidat? Kemana sosok-sosok yang sebelum ini banyak beredar, seperti Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Pramono Edhie Wibowo, Gita Wiryawan, Wiranto, hingga Abu Rizal Bakrie. Keseriusan mereka tentu terlihat, bahkan di antara mereka ada yang sudah gencar beriklan.

Bisa jadi, Pileg yang ternyata menunjukkan tak ada parpol yang mendapatkan suara dominan (bahkan PDIP yang diprediksi akan menang mutlak karena sejak awal mengusung Jokowi sebagai capres pun ‘hanya’ mendapat suara di bawah 20%), akhirnya membuat elit-elit Parpol akhirnya berhitung kesempatan dan resiko. Akhirnya, terbentuklah dua kubu besar, yang secara hitung-hitungan kekuatan, terlihat seimbang. Pasangan Jokowi-JK didukung oleh empat parpol dengan memperoleh dukungan 39,97 persen suara atau 207 kursi DPR. Sementara  pasangan Prabowo-Hatta memperoleh dukungan 48,93 persen suara atau 292 kursi DPR. Meski suara untuk Pileg kadang tidak sama dengan Pilpres, dengan peta dukungan yang tak terlalu berbeda signifikan, memang kedua kubu itu relatif berimbang.

Dengan hanya ada dua kubu, biasanya pergesekan memang menjadi lebih kuat. Ini ditambah dengan kenyataan bahwa kubu-kubu itu, memang didukung oleh dua kelompok yang secara historis, menurut Pak Nasihin Masha, memang selalu berhadapan. Dalam hal ini, kubu Islam-Politik berhadapan dengan kubu nasionalis-sosialis. Gerindra, sebagai parpol asal Prabowo, sebenarnya juga masuk kategori Nasionalis. Demikian juga Golkar—dan Demokrat, yang baru-baru ini merapat ke kubu No. 1. Tetapi, jangan lupakan, bahwa 3 parpol pendukung Koalisi Merah Putih adalah parpol berbasis massa Muslim, yaitu PKS, PPP dan PAN.

Kubu Koalisi Merah Putih mengklaim dirinya mewakili Umat Islam, meski sebenarnya tak mutlak, karena di Kubu Jokowi juga didukung beberapa elemen yang bisa dikatakan mewakili muslim, seperti PKB. Akan tetapi, karena beberapa tokoh penting PKB juga bergabung di kubu Prabowo—seperti Mahfudz MD, bisa dikatakan masa PKB juga terpecah.

TERBELAH

Fenomena yang cukup menarik juga, adalah terbelahnya para jendral purnawirawan, yang menurut Pak Nasihin sama dengan pembelahan jendral pada saat masa aktifnya. Jika teman-teman mengamati, di tubuh TNI dikenal dengan istilah TNI Hijau dan TNI Merah Putih. Kedua kubu ini konon selalu bersaing memperebutkan hegemoni. TNI Hijau dikenal dekat dengan kalangan islam. Jendral-jendral yang masuk di kubu ini antara lain Prabowo, Kivlan Zein, Feisal Tanjung dll., sementara kubu merah putih antara lain LB Murdani. 

Dalam Pilpres ini, jendral hijau merapat di kubu Prabowo, dan jendral merah putih merapat di kubu Jokowi. Maka, perang bintang pun sempat kita lihat di media-media beberapa hari yang lalu, menambah ‘serunya’ panggung Pilpres kali ini.

Ternyata, tak hanya para jendral purnawirawan yang terbelah. Ilmuwan, pers, bahkan tokoh agama pun terbelah. Tokoh-tokoh yang pada pemilu-pemilu sebelumnya tampak ‘malu-malu’, saat ini dengan terbuka menyatakan dukungannya, dan bahkan menggunakan simbol-simbol kandidatnya sebagai pic profil di akun-akun medsosnya.

Tak ayal, polarisasi dukungan ke kedua belah pihak pun terasa sangat kuat. Kedua pihak sama-sama mengaku saling menjadi korban fitnah, kampanye hitam dan sebagainya. Pendek kata, pertarungan dua kubu ini dalam menuju RI1 bisa dikatakan SANGAT SENGIT.

WASPADALAH!

Di satu sisi, fenomena ini tentu memperlihatkan ‘kegairahan’ politik masyarakat yang naik. Tetapi, di sisi lain, mencemaskan. John Sydenham Furnivall menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan masyarakat majemuk (plural society). Menurut J. S. Furnivall, masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu keadaan politik. Kita tahu, di Indonesia ini, terdiri dari ratusan suku bangsa, bahasa, budaya, dan bahkan agama. Sementara, secara vertikal, Indonesia juga dihuni oleh masyarakat yang sadar atau tidak sadar menghidupkan sistem kelas sosial yang cukup kuat—ningrat dan rakyat jelata; ndoro dan kawula; bahkan juga stratifikasi berdasarkan pengalaman agama, semacam santri dan abangan.

Adapun menurut Cliford Geertz, masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing sub sistem terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Ikatan primordial, sesungguhnya sudah ‘dicoba’ dilenyapkan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, tetapi entah mengapa, saat ini justru menjadi salah satu komoditas politik.

Lihatlah! Saat ini, alih-alih menyatukan, para tokoh politik bahkan melanggengkan dan seperti sengaja menonjolkan perbedaan itu. Ada capres yang mencoba menampilkan diri sebagai rakyat jelata, dan menuduh lawannya sebagai bermental ‘ndoro’. Sebaliknya, ada yang mengklaim kubunya lebih Islamis dan kubu lain kurang Islamis.

Masyarakat majemuk adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa kita tampik. Kemajemukan juga bukan lantas membuat kita berupaya menyeragamkan, karena perbedaan adalah rahmat. Saya pribadi menolak ide-ide pluralisme, karena yang beda tetaplah beda; keyakinan tetap keyakinan, tak bisa dipaksakan untuk melebur jadi satu. Akan tetapi, memang betul, bahwa pada sebuah masyarakat majemuk, diperlukan semacam common will—kehendak bersama—semacam keinginan untuk hidup bersama, beserta segenap aturan main yang adil. Rasulullah SAW, pernah mencontohkan ketika beliau menandatangani Piagam Madinah yang isinya merupakan perjanjian untuk hidup berdampingan secara damai dengan kalangan non muslim di Madinah. Meski akhirnya ada pengkhianatan Piagam Madinah di Kubu Yahudi, tetap saja  upaya membentuk semacam common will itu dicontohkan oleh Rasulullah.

Di lingkungan kampung saya sekarang ini, kultur masyarakatnya relatif lebih beragam, baik agama maupun etnik. Tetapi, saya dan keluarga bergaul tanpa membeda-bedakan agama. Kami tahu batas-batas aqidah, tetapi dalam soal muamalah—khususnya kemasyarakatan, kami tetap bergaul baik dengan tetangga yang keturunan Tionghoa, beragama Kristen, dan sebagainya. Kami juga memiliki beberapa klien yang beragama selain Islam, dan selama ini hubungan kami secara horizontal cukup baik.

Beberapa tahun terakhir ini, saya juga mencoba membina persahabatan dengan beberapa teman yang secara politik berbeda aliran, secara pemahaman agama berbeda, tetapi dengan sebuah common will, semua berjalan baik-baik saja.

Perbedaan, bukan sesuatu yang justru dijadikan sarana berpecah-belah, selama kita semua berupaya untuk menjembatani. Perbedaan, juga bukan untuk dihilangkan, karena yang beda itu unik. Kita hanya membutuhkan sebuah common will dan upaya kuat untuk konsisten dengan common will tersebut. Damai itu indah, bukan?




[1] http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/06/19/n7f2iq-kita-butuh-negarawan-baru

Posting Komentar untuk "Indonesia yang (Berpotensi) Terbelah"