DINAMIKA PENERBIT AL QURAN DI ERA DIGITAL
Sebenarnya saya
agak menyayangkan perubahan fokus Penerbit Asy-Syaamil dari penerbit buku-buku
populer (dan mayoritas fiksi Islami), menjadi penerbit yang fokus memproduksi
Al-Quran. Hal ini tentu berkaitan dengan sejarah penerbit Asy-Syaamil yang
merupakan penggagas dan pionir dalam penerbitan genre fiksi Islami. Saya
sendiri, termasuk penulis yang ‘diorbitkan’ oleh Asy-Syaamil.
Masih teringat di benak, sekitar 15 tahun silam, saya dihubungi oleh Uda Halfino Berry dari Asy-Syaamil, beliau mengabarkan bahwa naskah saya layak terbit. Saya terpana dan berkali-kali harus meyakinkan diri sendiri bahwa saya tidak sedang bermimpi. Dan, memang saya tak bermimpi, karena buku perdana saya “Genderuwo Terpasung”, ternyata memang terbit. Uniknya, editor kumpulan cerpen saya saat itu adalah The Tina Rakhmatin, yang beberapa tahun kemudian ternyata ditakdirkan berjodoh dengan Uda Halfino. Barakallah untuk sepasang sejoli ini, semoga bahagia hingga di surge. Amiin J
Masih teringat di benak, sekitar 15 tahun silam, saya dihubungi oleh Uda Halfino Berry dari Asy-Syaamil, beliau mengabarkan bahwa naskah saya layak terbit. Saya terpana dan berkali-kali harus meyakinkan diri sendiri bahwa saya tidak sedang bermimpi. Dan, memang saya tak bermimpi, karena buku perdana saya “Genderuwo Terpasung”, ternyata memang terbit. Uniknya, editor kumpulan cerpen saya saat itu adalah The Tina Rakhmatin, yang beberapa tahun kemudian ternyata ditakdirkan berjodoh dengan Uda Halfino. Barakallah untuk sepasang sejoli ini, semoga bahagia hingga di surge. Amiin J
Akan tetapi,
Asy-Syaamil—yang pada tahun 2008 berubah nama menjadi PT Sygma Examedia Arkanleema,
dengan Syaamil Quran sebagai brand untuk produk Al-Quran—tentu punya
pertimbangan lain. Menurut data dari Biro Pusat Statistika, pada tahun 2010,
jumlah penduduk muslim di Indonesia adalah 207.176.162. Padahal, Al-Quran
adalah kitab suci yang menjadi panduan kaum muslimin dalam beribadah. Kitab
suci menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh kaum muslimin. Akan tetapi, kedekatan
masyarakat muslim di negeri ini dengan A-Quran ternyata masih sangat minimalis.
Menurut survei dari Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), Kaum Muslimin di Indonesia
yang bisa membaca Al-Quran dengan baik baru sekitar 20%. Oleh karena itu, menerbitkan
Al-Quran, tentu sebuah pekerjaan yang sangat mulia. Dalam sebuah hadist,
Rasulullah bersabda “Sebaik-baik kalian
adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.” (H.R. Al-Bukhari).
Belajar dan mengajarkan Al-Quran, tentu membutuhkan sarana, dan sarana yang
terpenting adalah kitab suci itu sendiri.
Karena itu, sikap
yang diambil oleh Syaamil Quraan, tentu sangat bisa dimaklumi, bahkan didukung
penuh. Apalagi, sama seperti tatkala menjadi pionir dalam menerbitkan buku-buku
fiksi Islami, totalitas Asy-Syaamil dalam menceburkan diri di dunia penerbitan
Al-Quran memang tak main-main. Terbukti, produk-produk yang dikeluarkan Syaamil
Quran ternyata dengan cepat menguasai pasaran. Desain yang manis, inovatif,
serta lengkap, membuat kegiatan tilawah Al-Quran menjadi terasa lebih bersemangat.
Adalah sebuah
hal yang jamak di bangsa bermental follower
seperti Indonesia ini, ketika akhirnya penerbit lain pun akhirnya berlomba-lomba
menerbitkan Al-Quran, dengan berbagai macam inovasinya. Baiklah, kita tak perlu
memandang negatif, karena dengan besarnya jumlah umat Islam di Indonesia—dan juga
dunia, tentunya kebutuhan pengadaan kitab suci Al-Quran akan sulit sekali jika
harus dipenuhi oleh beberapa penerbit. Asal kualitas dari Al-Quran terjaga, dan
penerbit tidak memandang Al-Quran sebagai sebuah komiditi yang menguntungkan
belaka, tentu tak ada yang bisa membatasi keinginan pihak-pihak yang ingin
berjuang bersama memajukan Islam dengan cara memproduksi panduan hidup agama nana
gung ini. Jika sampai saat ini masih ada segelintir penerbit yang sekadar
melirik produksi Al-Quran ini ’hanya’ sekadar karena tertarik dengan kelegitannya,
mari kita doakan agar mereka mendapat hidayah.
Kitab suci
diturunkan tidak dalam bentuk buku seperti yang sekarang kita kenal. Oleh
karena itu, para ulama salaf berpendapat, bahwa Al-Quran bukanlah makhluk,
melainkan kalam alias firman Illahi. Pembukuan Al-Quran tidak dilakukan di
zaman Rasulullah, tetapi dimulai di masa Abu Bakar as-Shidiq, sebagai respon
atas wafatnya 70 penghafal Al-Quran pada perang Yamamah melawan Musailamah
Al-Kadzdzab. Umar bin Khatab meneruskan pekerjaan mulia ini, dan pada zaman
Usman bin Affan, pembukuan Al-Quran kembali disempurnakan.
Mencetak
Al-Quran, tentu merupakan bagian dari upaya penyelamatan Al-Quran. Akan tetapi,
perlu ditegaskan, bahwa tanpa kandungan ayat-ayat-Nya yang mulia, sesungguhnya
kitab yang keluar dari mesin cetak, lalu dijilid dan didistribusikan itu,
sesungguhnya hanya kertas biasa. Al-Quranlah yang menjadikannya mulia. Oleh
karena itu, perlu dihayati oleh siapapun yang bergelut dalam bisnis
cetak-mencetak Al-Quran, bahwa apa yang mereka lakukan bukan sekadar berjualan
kertas yang dijilid. Tetapi, sesungguhnya mereka sedang menjadi salah satu agen
penerus dari risalah Islam nan agung ini. Kesadaran penuh bahwa mereka sedang
mengemban sebuah misi suci, seyogyanya menjadikan membuat penerbit dan
percetakan Al-Quran itu tak sekadar berbisnis, namun juga idealis. Dan misi
suci itu menjadikan mereka berupaya keras menyajikan terbaik, mengupayakan
sebisa mungkin agar produk yang berkualitas itu bisa dijangkau oleh masyarakat,
sehingga bisnis itu pun menjadi berlimpah berkah.
Sebuah penerbit
Al-Quran akhirnya harus meyakini, bahwa mereka sebenarnya sedang terjun di
dalam sebuah proses ‘marketing ideologi.’ Mereka sedang menjadi agen-agen
pemasaran sebuah tatanan nilai yang telah bertahan hingga ribuan tahun, dan
diyakini bisa memberikan keselamatan dunia dan akhirat. Keyakinan tersebut
harus mengkristal, menjadi sebuah aqidah yang kuat dan tak lekang oleh godaan
duniawi.
Tampaknya, di
Syaamil Quran, misi suci ini disadari betul, sehingga Syaamil Quran pun
menginisiasi Gerakan Quran Epicentrum.
Seperti tercantum dalam website Syaamil Quran, Quran Epicentrum adalah ide
sekaligus gerakan dan sarana untuk berupaya membumikan Al – Quran dengan cara
menyebarkan Al–Quran dan nilai–nilainya secara mudah dan menyenangkan, sehingga
terbentuk masyarakat Qurani yang menjadi dasar terbentuknya peradaban qurani di
tengah–tengah masyarakat. Quran
Epicentrum diharapkan menjadi salah satu alternatif solusi bagi
permasalahan umat saat ini.[1]
Inovasi yang Terus Menerus
Sekitar sepuluh
tahun silam, kita melihat produk Al-Quran yang beredar terkesan itu-itu saja.
Akan tetapi, lima tahun terakhir, kita melihat perkembangan produk Al-Quran
yang semakin ‘keren.’ Bukan sekadar dari kemasan yang makin cantik, tetapi juga
tata letak huruf yang makin manis. Dan, seperti saya sebut di atas, harus
diakui, bahwa Syaamil Quran adalah pionir dalam bidang ini. Saya salut, karena
hingga kini, Syaamil masih terlihat konsen dan serius dalam berinovasi
menerbitkan kitab Al-Quran dengan aneka pengembangannya tanpa sedikit pun
mengubah keotentikan kandungan Al-Quran itu sendiri.
Akan tetapi,
bukan berarti tak ada tantangan berarti yang menghadang laju penerbitan
Al-Quran. Era digital telah membuat semua berubah dengan sangat cepat. Saat
ini, Al-Quran sudah bisa di-download dengan mudah dan gratis di android, atau
dibaca secara online. Meski orang mungkin masih akan mengoleksi mushaf Al-Quran
di rumahnya, harus diakui, bahwa orang yang membaca Al-Quran dari tablet atau
ipad, kian hari kian banyak.
Lalu, bagaimana
sebuah penerbit Al-Quran bisa bertahan?
Pertama, tentu
penerbit harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Kita tahu, raksasa
Kodak ‘terguling’ dari posisi utama produsen kamera karena gagap mengatasi
perkembangan zaman. Apa yang dilakukan Syaamil Quran dengan merilis produk
Syaamil Tabz adalah langkah yang brilian—dan lagi-lagi menjadi pionir. Ke
depan, perlu dirancang sebuah software Al-Quran yang terintegrasi satu sama
lain antara Al-Quran, Ulumul Quran, Tafsir dan sebagainya yang superlengkap dan
mudah. Alangkah asyiknya jika kita bisa membaca Al-Quran dari sebuah gadget
yang canggih, lalu dari ayat tersebut kita langsung bisa mencari penjelasan
mulai dari arti, asbabun nuzul, hingga tafsir dari berbagai ulama—mulai Ibnu
Katsir, Fii Zilalil Quran, Jalalain hingga tafsir dari ulama terkini seperti
Tafsir Al-Azhar, misalnya. Betapa kita bisa meringkas ratusan kitab dalam satu
software dan mempelajari secara mudah.
Kedua, penerbit
Al-Quran harus menjadi pionir dalam usaha-usaha pembumian Al-Quran. Sangat
menarik jika penerbit Al-Quran juga mengembangkan sendiri metode belajar
Al-Quran dari dasar sebagaimana yang kita kenal selama ini semacam Iqro,
Qiroati, Ummi dan sebagainya. Untuk pembumian Al-Quran tersebut, penerbit bisa
bekerja sama dan bahkan ikut mendorong terbentuknya Taman-taman Pendidikan Al-Quran
(TPA) yang profesional. Jika kita amati, masa kejayaan TPA saat ini seperti
mengalami antiklimaks, maka perlu ada stimulus yang kuat agar TPA bisa menjadi
agen-agen pembumian Al-Quran hingga ke gang-gang kampung.
Ketiga, perlu
diupayakan distribusi yang lebih luas. Mengingat Indonesia adalah negara
berpenduduk Islam terbesar di dunia, maka kontribusi untuk dunia tentu sangat
penting. Penerbit Al-Quran harus mulai berupaya melakukan penerjemahan ke
bahasa-bahasa asing, misal Inggris, Mandarin, Jerman, Jepang dan sebagainya.
*) Artikel ini diikutkan dalam Lomba
Blog #PameranBukuBdg2014 IKAPI Jabar dan Syaamil Quran
[1] http://syaamilquran.com/tentang-kami
3 komentar untuk "DINAMIKA PENERBIT AL QURAN DI ERA DIGITAL"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!